Ariana membaca surat itu dengan alis yang perlahan berkerut. Ia mengangkat wajahnya, menatap Kenandra dengan bingung.
"Ini bukan tulisanku," katanya tegas, suaranya sedikit gemetar.
Kenandra mengangguk.
 "Aku tahu. Aku mengenal tulisan tanganmu, dan ada banyak detail di sini yang tidak sesuai dengan caramu menulis. Tapi yang penting sekarang, apakah kau tahu siapa yang mungkin melakukan ini?"
Ariana menunduk, jemarinya gemetar di pangkuannya.
"Aku tidak tahu," gumamnya.
"Tapi aku yakin ini bukan kebetulan. Seseorang ingin menjatuhkan aku, atau... kita."
"Aku juga yakin begitu," jawab Kenandra, nada suaranya dipenuhi ketegasan.
"Dan aku yakin siapa pelakunya."
Mata Ariana melebar, tetapi ia tetap diam. Dalam hatinya, ia tahu siapa yang dimaksud oleh Kenandra, tetapi ia terlalu takut untuk mengatakannya. Ia tidak ingin menambah kerumitan dalam keluarga ini.
"Aku akan menangani ini," lanjut Kenandra.
"Kau tidak perlu khawatir. Aku hanya ingin memastikan bahwa kau tahu aku tidak akan percaya pada gosip seperti ini."
Kata-kata itu membuat hati Ariana sedikit lega. Ia mengangguk pelan.
"Terima kasih, Kak Ken."
Kenandra menatap gadis itu dengan penuh perhatian, seperti ingin mengatakan sesuatu lagi, tetapi ia menahan diri. Hubungan mereka sudah cukup rumit tanpa ada tambahan perasaan yang tidak diinginkan. Ia akhirnya berdiri, menyimpan surat itu di sakunya.
"Aku akan memastikan ini tidak terjadi lagi."
Setelah Kenandra pergi, Ariana duduk sendirian di taman, pikirannya penuh dengan pertanyaan dan kecemasan. Ia merasa seperti berjalan di atas tali tipis yang bisa putus kapan saja.
Sementara itu, Liliana merasa puas dengan hasil aksinya. Ia tahu bahwa surat itu telah menciptakan kegemparan di rumah. Tetapi ia tidak menyadari bahwa Kenandra sudah mulai menyusun rencana untuk membongkar semua kebohongannya.
Kenandra menemui salah satu pelayan kepercayaannya, Pak Darto, seorang pria tua yang telah bekerja untuk keluarga mereka selama lebih dari dua dekade. Ia menunjukkan surat itu kepada Darto dan bertanya apakah ada yang melihat siapa yang meninggalkannya di ruang kerjanya.
Pak Darto, meskipun ragu, akhirnya mengaku bahwa ia melihat Liliana keluar dari ruang kerja Kenandra beberapa saat sebelum surat itu ditemukan.
"Tapi, Tuan Ken, saya tidak ingin menuduh tanpa bukti," katanya dengan nada penuh kehati-hatian.
"Bukti sudah cukup jelas," jawab Kenandra.
"Terima kasih, Pak Darto. Tolong, jangan ceritakan ini kepada siapa pun untuk saat ini."
Dengan informasi itu, Kenandra semakin yakin bahwa Liliana adalah pelakunya. Namun, ia tahu bahwa ia harus bermain dengan cerdas. Liliana adalah tipe orang yang akan berusaha mencari cara untuk menyelamatkan dirinya sendiri jika ia merasa terancam.
Kenandra memutuskan untuk menghadapinya secara langsung tetapi dalam situasi yang terkontrol. Ia mengatur pertemuan keluarga kecil di ruang tamu, mengundang Ariana, ibu tiri mereka, dan Liliana. Di depan semua orang, ia menunjukkan surat itu.
"Surat ini ditemukan di ruang kerja saya beberapa hari lalu," katanya dengan suara tenang tetapi tegas.
"Dan saya punya alasan untuk percaya bahwa ini adalah upaya untuk memfitnah."
Liliana, yang awalnya tampak tenang, mulai gelisah. Ia mencoba menutupi kecemasannya dengan senyuman kecil.
"Kak Ken, kenapa kau menyebutnya fitnah? Mungkin saja itu benar."
"Aku yakin itu tidak benar," jawab Kenandra dengan tatapan tajam.
"Aku juga yakin siapa yang bertanggung jawab atas semua ini."
Liliana membuka mulutnya untuk membalas, tetapi Kenandra memotongnya.
"Jangan berbohong, Liliana. Aku punya saksi yang melihatmu meninggalkan ruang kerjaku sebelum surat ini ditemukan."
Ruangan itu hening sejenak. Wajah Liliana memucat, tetapi ia segera memasang ekspresi marah.
"Kau menuduhku tanpa bukti yang jelas!" serunya.
"Cukup jelas bagiku," jawab Kenandra.
"Aku tidak akan membiarkanmu terus menerus menyakiti Ariana, atau siapa pun di keluarga ini, dengan fitnah dan intrikmu."
Ibu mereka, yang sejak tadi diam, akhirnya angkat bicara.
"Liliana, apa yang dikatakan Ken benar? Apa kau benar-benar melakukan ini?"
Liliana menggertakkan giginya, menolak untuk menjawab. Tetapi sikapnya sudah cukup menjadi bukti bagi semua orang di ruangan itu.
"Aku hanya ingin perhatianmu, Kak Ken," gumam Liliana akhirnya, suaranya penuh emosi.
"Kau selalu peduli pada Ariana, sementara aku tidak pernah dianggap. Apa aku tidak berhak untuk merasa cemburu?"
Semua orang terdiam, termasuk Kenandra. Tetapi alih-alih merasa simpati, ia hanya merasakan kekecewaan yang mendalam.
"Cemburu bukan alasan untuk menghancurkan hidup orang lain, Liliana. Kau perlu bertanggung jawab atas perbuatanmu."
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI