Liliana menyadari bahwa waktunya untuk bertindak lebih agresif semakin mendesak. Ia merasa posisinya di keluarga ini akan tergoyahkan jika ia tidak segera menghancurkan Ariana secara total. Di matanya, keberadaan Ariana bukan hanya ancaman bagi rencana pribadinya tetapi juga simbol kelemahan yang tidak bisa ia terima.
Pada saat yang sama, Ariana berusaha menjaga jarak dari konflik. Ia mulai lebih sering mengunci diri di kamarnya, melukis untuk mengalihkan pikirannya. Warna-warna yang ia pilih untuk karyanya semakin gelap, mencerminkan beban yang ia rasakan. Namun, melukis hanya memberikan pelarian sementara. Bisikan-bisikan di rumah terus menghantui pikirannya.
Kenandra, di sisi lain, tidak tinggal diam. Ia mulai menyelidiki sumber rumor yang menyebar di rumah mereka. Dengan kecerdasannya, ia dengan cepat menyusun potongan-potongan informasi yang mengarah pada Liliana. Namun, Kenandra tahu bahwa menghadapi Liliana secara langsung lagi tidak akan menyelesaikan masalah. Ia membutuhkan bukti yang kuat untuk menghentikan permainan adik tirinya itu.
Sementara itu, Liliana memutuskan untuk mengambil langkah yang lebih drastis. Ia memalsukan surat dengan tulisan tangan Ariana, seolah-olah surat itu adalah pengakuan cinta untuk Kenandra. Surat itu dengan cerdik ia tinggalkan di ruang kerja Kenandra, tempat yang tidak terlalu mencurigakan tetapi cukup strategis untuk ditemukan oleh para pekerja rumah tangga.
Ketika surat itu ditemukan, desas-desus yang sudah mereda kembali menyala dengan lebih kuat. Kali ini, gosip yang beredar tidak hanya tentang Ariana tetapi juga tentang Kenandra. Para pekerja rumah tangga mulai berspekulasi bahwa ada hubungan terlarang di antara mereka, sesuatu yang tidak bisa dimaafkan.
Kenandra yang mendengar rumor ini segera menghubungi salah satu pekerja kepercayaannya untuk mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi. Ketika ia akhirnya melihat surat itu, ia langsung mengenali bahwa itu adalah jebakan. Tulisan tangan itu memang menyerupai milik Ariana, tetapi ada detail kecil yang membuatnya yakin bahwa surat itu palsu.
Dengan surat itu di tangannya, Kenandra menghadapi Ariana. Ia menemukan gadis itu di taman belakang, duduk di bangku dengan wajah yang tampak lelah.
"Ariana," panggil Kenandra pelan.
Ariana mendongak, matanya yang biasanya lembut kini dipenuhi kelelahan.
"Ada apa, Kak Ken?"
Kenandra duduk di sebelahnya, lalu menunjukkan surat itu.