Mohon tunggu...
Rizka Khairunnisa
Rizka Khairunnisa Mohon Tunggu... -

Serial "POTONGAN" terbit setiap pekan. Bisa dibaca juga di http://rizukanisa.tumblr.com/

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Potongan #3 - Gagal Lagi

15 Juli 2016   09:28 Diperbarui: 19 Juli 2016   08:51 94
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

“Huh! Bikin kesal saja!”

Mila menoleh ke arah sumber suara. Si Merah tampak bersungut-sungut.

“Kenapa?” tanya Si Tinggi.

“Adikku,” dengus Si Merah. “Dia ingin pergi ke Seoul. Ada acara tanda tangan penyanyi idolanya.”

“Lalu?” Si Kumis ikut nimbrung.

“Acaranya baru besok pagi. Tapi dia sudah pergi barusan. Katanya supaya dapat tempat. Entah dia tidur di mana nanti malam.” Si Merah tampak jengkel sekali.

 Mila kembali menatap komputernya. Bukan sesuatu yang menarik untuk disimak.

“Remaja perempuan yang sudah jatuh cinta dengan artis sulit idolanya dikendalikan,” kata Si Kumis. “Sepupu perempuanku tidur di tenda selama 3 malam demi mendapat antrian awal saat menonton konser. Gila.”

“Temanku lebih parah lagi.” Si Tinggi tak mau kalah. “Setiap ada acara tv yang mengundang penyanyi idolanya, dia pasti datang sebagai penonton. Tidak peduli kapan atau bahkan harus bayar tiket mahal pun dia tidak pernah lewatkan. Sampai bolos masuk sekolah sekalipun dia lakukan.”

 “Tapi,” Si Kelinci mulai bersuara. “Setiap remaja perempuan pasti pernah punya selebriti idola, dan selalu ingin melihatnya kapanpun ada kesempatan. Aku juga pernah seperti itu. Karena saat SMA terlalu banyak waktu luang. saat masuk kuliah pasti langsung berhenti karena sibuk dan tidak punya waktu.”

Si Merah menggeleng-geleng. “Saat SMA aku tidak separah ini. Apa ini hukuman bagiku karena kehidupanku di masa lalu? Argh!”

Si Tinggi mengelus dagunya. “Lalu apa yang akan kau lakukan?”

Si Merah menghembuskan napas berat. “Aku akan menjemputnya besok. Akan aku seret dia sambil menarik rambutnya tidak peduli apapun.”

Si Tinggi dan Si Kumis bergidik ngeri. Si Merah jarang main-main dengan kata-katanya.

“Maaf,” Mila berkata pelan. “Aku ingin tanya sesuatu.”

Semua mata mengarah pada Mila. “Hah!” kata Si Kumis. “Aku kira kau hanya akan bertanya pada Google.”

Mila tidak menanggapinya. “Kalau ada orang asing yang tidak pernah kita temui sebelumnya, lalu dia bilang ‘kau tidak tahu aku?’, ‘kau tidak suka menonton acara tv?’ itu biasanya orang seperti apa?”

Semua diam, tampak berpikir. “Apa dia memakai topi, masker, atau sebagainya untuk menutup wajahnya?” tanya Si Tinggi.

Mila menggeleng.

“Lalu dia bilang apalagi?” tanya Si Kelinci.

“Dia hanya pergi dan bilang mau membeli makanan yang sama denganku.”

“Sudah jelas!” suara Si Kumis menggelegar. “Dia hanya pura-pura dan ingin berkenalan denganmu. Dia minta nomor HP-mu tidak?”

Mila menggeleng. “Aku pergi ketika dia masuk minimarket. Aku tidak melihat dia lagi.”

“Kalau begitu kita tidak tahu,” kata Si Tinggi. “Tapi yang jelas, kalau dia memang artis, dia setidaknya memakai topi atau masker karena tidak ingin kehadirannya diketahui publik. Tapi sebaiknya kau berhati-hati. Siapa tahu dia berniat jahat.”

Si Merah mendengus. “Jawaban pertanyaanmu tidak ada di Google, heh?”

Mila menatap Si Merah dingin. Kemudian memutar bola matanya kesal.

“Ah, iya. Bukankah Mila juga akan pergi ke Seoul besok?” Si Kelinci sepertinya ingin memecah ketegangan.

“Lalu?” tanya  Mila.

“Kalian kan bisa pergi bersama.”

Sayang, usahanya gagal.

“Siapa? Aku dengan dia?” suara Si Merah meninggi. “Tidak akan pernah,” teriaknya.

Si Merah meninggalkan ruangan. Para laki-laki hanya menggeleng-gelengkan kepala sedangkan Si Kelinci menatap prihatin Mila yang bahkan tidak peduli dengan kemarahan Si Merah.

______________________________

“Ah, Pak Burhan! Di Sini!” Mila melambaikan tangannya. Pak Burhan tersenyum dan menghampiri Mila.

“Sudah lama menunggu?” Pak Burhan duduk di kursi di depan Mila.

Mila menggeleng. “Maaf mengganggu Bapak, saya seharusnya menelpon Bapak dari jauh-jauh hari,” ujar Mila.

“Bapak yang seharusnya minta maaf, tidak menghubungi kamu sampai kamu harus jauh-jauh ke sini. Maafkan saya yang sudah tua ini.” Pak Burhan tertawa renyah. Mila tersenyum simpul.

“Jadi, ada kabar terbaru, Pak?” tanya Mila.

Pak Burhan menghembuskan napas perlahan. “Saya belum mendengar Bapak Menlu ada rencana kunjungan ke Korea. Karena Bapak Dubes hanya pernah menyebutkan kalau kunjungan ke negara Asia dalam waktu dekat adalah Bangladesh dan India untuk kerjasama ekonomi. Akhir-akhir ini kerjasama dengan negara Korea lebih aktif dilakukan oleh pihak Menteri Luar Negeri dan Dubes Korea di Indonesia.”

Mila mengangguk-angguk. “Jadi dalam waktu satu sampai dua bulan ke depan Bapak Menlu tidak akan ke Korea?” Mila kembali memastikan.

“Sepertinya begitu. Kalau Bapak Menlu akan melakukan kunjungan, biasanya beritanya sudah menyebar setidaknya tiga minggu sebelumnya.”

“Bagaimana dengan kunjungan mendadak?”

Pak Burhan menopang dagunya. “Kunjungan mendadak biasanya diberitahu satu hari sebelumnya, tapi hanya terjadi kalau ada masalah urgen yang berkaitan dengan keamanan warga negara, bencana alam, atau yang lainnya. Tapi karena di Korea yang seperti itu jarang terjadi, jadi… ya….”

“Saya mengerti.”

Pak Burhan menyandarkan punggungnya ke kursi. “Tapi, kenapa kamu ingin ketemu Bapak Menlu? Kalau memang ada aspirasi yang disampaikan, bisa lewat saya tau Kedutaan.”

“Saya perlu bertemu secara personal dengan Bapak Menlu,” jawab Mila.

“Oh, kamu kenal beliau secara personal?” Pak Burhan tampak terkejut.

“Tidak,” Mila menggeleng. “Dulu waktu saya masih sekolah, beliau walikota tempat saya tinggal. Bapak tahu sendiri beliau kemudian menjadi gubernur dan lepas dari jabatan gubernur setelah dua periode menjadi menteri seperti sekarang. Kebetulan saat masih menjadi walikota, saya kenal dengan anaknya. Tapi saya kehilangan komunikasi dengannya sekitar tiga tahun belakangan, lewat teman-teman sekolah juga saya tidak bisa menemukan dia. Jadi saya ingin mencarinya melalui Bapak Menlu. Mustahil memang, tapi saya akan tetap mencoba,” tutur Mila panjang.

Pak Burhan mengangguk-angguk paham. “Bagaimana kuliahnya? Lancar?”

Mila tersenyum. “Lancar, Pak. Terima kasih banyak atas bantuannya. Karena jasa Bapak, saya jadi bisa sedikit beradaptasi di sini.”

Pak Burhan tertawa. “Itu memang tugas saya sebagai Atase Pendidikan. Tidak usah kuatir, kamu bukan yang pertama. Banyak mahasiswi yang seperti kamu. Untuk sekarang, baik-baiklah di kampus yang sekarang. Belajar yang rajin. Kalau prestasimu di sini bagus, siapa tahu dapat beasiswa untuk melanjutkan S3 di top fifty.”

“Siap, Pak.” Mila mengangguk hormat. 

Pak Burhan beranjak berdiri. “Sebelumnya maaf, Atase Ekonomi sedang ada masalah, saya harus membantunya. Jadi saya pergi dulu.”

Mila ikut bangkit dan mengatupkan tanggannya tanda minta maaf. “Terima kasih banyak, Pak. Maaf kalau saya merepotkan.”

“Ah, sudah. Tidak apa-apa.” Pak Burhan menepiskan tangannya. “Saya pergi dulu, ya.”

“Baik, Pak. Sekali lagi terima kasih banyak.”

Pak Burhan sudah berlalu. Tingal Mila sendirian di kedai itu. Mila duduk kembali di kursinya, menyandarkan punggung dan menengadahkan kepala. Dia menghirup napas pelan, dan membuangnya dengan kencang.

“Gagal lagi…”

Mila memandang langit-langit kedai. Saat itu masih siang hari, cuaca lebih hangat dibanding tempat tinggal Mila. Lampu tidak menyala, tapi Mila seolah disorot oleh lampu besar hingga pandangannya menjadi kabur. Mila memejamkan matanya. Sebulir air menyembul dari ujung matanya, mengalir menuju pelipis hingga hilang dibalik rambutnya.

Kriiing… kriiing…

Mila membuka mata. Mencoba menerka siapa yang menghubunginya di saat seperti ini sambil.

“Ya?”

“Mila, kamu masih di Seoul?”

Suara Si Kumis. “Hm-mh,” jawab Mila.

“Boleh aku minta tolong? Tidak, si tikus merah yang minta tolong.”

Mila mengangkat sebelah alisnya karena heran. Sepertinya ada gempa bumi atau korsleting listrik di kepala gadis berambut merah itu.

“Apa?” Kalau menyusahkan lebih baik langsung kututup saja teleponnya, pikir Mila dalam hati.

Si Kumis mendeham. “Kau tolong jemput adiknya tikus ini. Dia tidak bisa ke Seoul sekarang, dia sedang ujian susulan karena minggu kemarin terlambat datang. Sekarang dia tidak bisa ke mana-mana. Acaranya selesai siang ini, tolong jemput dia dan bawa kemari. Kalau tidak dijemput, entah ke mana lagi bocah itu akan pergi. Nanti ongkos pulangnya aku ganti,” jelas Si Kumis. “Bisa?”

Mila berpikir sejenak. Kalau hanya menjemput anak SMA saja sepertinya tidak akan membuat repot. “Oke.”

“Ah, syukurlah.” Si Kumis seperti habis lolos dari kejaran polisi. “Nanti aku kirim alamatnya dan foto anak itu. Terima kasih, Mila.”

Klik.

Mila meletakkan handphone-nya di meja. Dia menundukkan badannya, bertumpu pada kedua siutnya. Mila menghela napas lagi. Kali ini sambil memandang lantai. Setidaknya ada yang bisa dia lakukan hari ini untuk melupakan masalahnya sejenak.

______________________________

Ternyata menjemput anak SMA tidak sesederhana yang Mila kira. Ada puluhan, bahkan mungkin seratus siswi SMA yang mengikuti acara jumpa fans dengan membawa atribut macam-macam dan berteriak tanpa henti. Mila mencari gadis dengan seragam hitam dan rok abu-abu, tapi tidak ada satupun yang memiliki wajah seperti adik Si Merah. Jika memang sudah datang lebih awal seharusnya dia ada di barisan depan, tapi hanya ada gadis-gadis yang memakai kostum aneh seperti Avengers dan baju tradisional Korea. Mila bingung apakah ini acara jumpa fans atau cosplay. Mila sudah menelepon Si Kumis tapi tak kunjung diangkat. Mila terus-terusan mendengar nada tunggu telepon sambil mengamati wajah gadis-gadis SMA satu persatu.

Mila berdiri paling belakang dan agak jauh dari barisan di depannya. Tiba saatnya untuk high-touch, yaitu sang penyanyi akan melakukan tos dengan kedua tangan bersama semua fans yang hadir, satu persatu. Semua yang hadir langsung ribut membuat barisan antrian yang mengular. Sepertinya hanya Mila saja yang tidak bergeming dari tempatnya berdiri. Dia masih memperhatikan satu persatu gadis di dalam mal itu.

Saat beberapa gadis dengan kostum aneh maju ke depan, tiba-tiba terdengar teriakan.

”Kim Yura! Kim Yura! Bangun! Kau kenapa?”

Mila melongokkan kepalanya ingin tahu apa yang terjadi. Seorang gadis berbaju tradisonal pingsan di atas panggung.

“Dia baru saja melakukan high-touch dengan penyanyinya dan tiba-tiba pingsan,” bisik seorang gadis pada temannya.

Mila mengernyitkan dahi. Kim Yura adalah nama adik Si Merah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun