“Pulanglah,” ujar gadis itu. “Aku tahu kau kurang tidur, jadi istirahatlah.”
Mila menggeleng. “Profesor sudah memintaku untuk–“
“Kau tidak usah mencari muka di depan Profesor, Anak Baru.”
Mila menatap ke arah sumber suara. Si Merah memelototinya dengan mata biru lensa kontak, sangat kontras dengan rambutnya. Matanya seolah bicara: dasar-tukang-penjilat.
“Sudah, sudah. Kita kan sudah cukup tidur tadi malam, Lagipula ini tugas kami. Kau pulang saja.” Si Kelinci mencoba melerai.
“Tidak apa-apa,” ujar Mila tenang. “Toh suatu saat saya akan melanjutkan proyek kalian, jadi ada baiknya kalau tahu tentang proyek ini dari awal.” Mila balas menatap si Merah dengan: lalu-kau-mau-apa.
Si Kelinci menghela napas. “Baiklah kalau begitu. Bisa sedikit menghemat waktu sepertinya. Terima kasih, ya.” Si Kelinci tersenyum, memamerkan giginya. Kalau dia punya telinga panjang, dia sudah mirip kelinci betulan.
Si Kelinci kembali ke mejanya. Mila mulai menyalakan komputer. Tiba-tiba seseorang meletakkan secangkir kopi di meja. Mila menyeringai kesal. Siapa lagi, sih?
“Untukmu,” kata Si Tinggi yang sebelumnya mengatakan akan memfotokopi sesuatu. “Morning coffee.” Dia nyengir.
“Aku,” ujar Mila. “Sudah minum terlalu banyak kopi sampai hanya tidur satu jam. Apa menurutmu aku perlu kopi lagi?”
Si Tinggi melongo sesaat, kemudian buru-buru mengambil cangkir itu dan kembali ke mejanya tanpa berkata apa-apa.