Tiba di suatu hari, dimana ketika itu aku sedang tertidur pulas di kamar. Terdengar seperti ada keributan yang terjadi di rumah, aku terbangun dari tempat tidur dan mengintip dari sisi kamar. Ternyata ayah dan bunda sedang bertengkar. Nenek yang selalu tidur di kamar dan sering sakit pun tidak bisa melerai ayah dan bunda, apalagi diriku yang bingung harus melakukan apa saat itu. Aku hanya bisa menangis dan tersungkur lemah di kamar. Ketika aku mengintip lagi, pertengkaran sudah berakhir dan terlihat bunda yang sedang menangis di sofa. Aku menghampirinya sambil menghapus air mata dan pura-pura tidak tahu apa yang telah terjadi.
Bunda bercerita dan mencurahkan isi hatinya kepadaku, aku bingung harus menanggapi apa ketika bunda sedang bercerita. Pada akhirnya, aku hanya mendengarkan dan menenangkannya dengan mengambilkan segelas air putih. Keadaan keluargaku semakin hari tidak baik-baik saja, aku tidak rela ayah pergi meninggalkan keluarga begitu saja. Namun, di satu sisi aku merelakan kepergiannya. Karena aku tidak ingin bunda disakiti lagi dengan ayah untuk kedua kalinya. Saat ini, aku harus mulai berpikiran dewasa dan meringankan beban keluarga. Walaupun sebenarnya aku menyimpan banyak luka. Tidak hanya itu, perlahan-lahan impian dan cita-citaku juga mulai memudar dan menghilang.Â
Ketika di malam hari, aku merenungkan masalah keluarga. Terasa rindu dengan ayah dan kakek memuncak ketika aku mengeluh tentang hidup dalam sepertiga malam doaku. Aku menginginkan kasih sayangnya kakek kembali, begitupun ayah, walaupun memiliki sifat seperti itu, aku tetap menyayangi ayah, bagaimanapun juga ayah tetap orang tuaku. Aku membutuhkan dan menginginkan mereka kembali. Dan saat ini, aku merindukan kehadiran mereka.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H