Meski begitu, Desa Kemiri kerap kali terlupakan. Padahal, desa ini adalah salah satu titik perbatasan yang sering dilewati banyak orang, terutama wisatawan yang menuju Taman Nasional Bromo Tengger Semeru. Bayangkan saja, jarak dari Desa Kemiri ke Bromo hanya sekitar 45 menit!
Namun, ironisnya, wisatawan yang tiba di Bandara Abdulrachman Saleh---yang begitu dekat dengan Desa Kemiri---lebih memilih menginap di Kota Batu sebelum melanjutkan perjalanan ke Bromo.
Padahal, jika Desa Kemiri dikembangkan sebagai destinasi wisata, banyak peluang ekonomi yang bisa terbuka.
Coba bayangkan: wisata petik jeruk di ladang, pengalaman memerah sapi seperti di pedesaan Eropa, hingga homestay yang menawarkan ketenangan di tengah alam.
Dengan memanfaatkan potensi ini, Desa Kemiri bukan hanya akan dikenal sebagai desa pertanian tetapi juga sebagai destinasi wisata yang menjanjikan.
Potensi ini jelas tidak hanya membantu ekonomi desa, tetapi juga memberikan alternatif pengalaman wisata bagi turis yang ingin merasakan suasana pedesaan asli Indonesia.
Desa Kemiri, dengan segala keindahan dan potensinya, adalah berlian yang hanya butuh sedikit polesan untuk bersinar.
Masa Depan Ada di desa : Saatnya Kembali ke Desa!
Sebagai generasi muda, kita sering kali berpikir bahwa masa depan ada di kota. Tapi setelah melihat sendiri bagaimana Desa Kemiri mengelola potensi pertaniannya, kami jadi yakin bahwa masa depan sebenarnya ada di desa.
Dengan inovasi dan kolaborasi, desa bisa menjadi pusat ketahanan pangan, bahkan membantu menstabilkan ekonomi nasional.
Melihat potensi besar yang dimiliki Desa Kemiri, kami sadar bahwa desa adalah masa depan.
Tumpang sari jeruk dan cabai bukan hanya strategi pertanian, tetapi juga simbol dari bagaimana kreativitas dan kerja keras bisa melampaui tantangan seperti inflasi.