Sementara itu, cabai yang ditanam secara tumpang sari di antara pohon-pohon jeruk memberikan panen harian yang dapat digunakan untuk membiayai kebutuhan operasional perkebunan.
Dengan kombinasi ini, kebun Pak Lurah seperti memiliki dua "mesin ATM" yang bekerja bergantian, memberikan hasil jangka pendek dari cabai dan hasil jangka panjang dari jeruk.
Selain itu, di perkebunan tersebut, Pak Lurah juga menanam bawang merah dan bawang putih dengan siklus panen pendek yang berkisar 35 -- 70 hari. Hasil dari bawang ini juga bisa menjadi penghasilan tambahan di sela panen cabai.
Inflasi dan Ketahanan Pangan Indonesia : Desa sebagai Jawaban
Ketika harga cabai di pasar melambung tinggi, siapa yang paling diuntungkan? Tentu saja para petani cabai. Namun, manfaat ini dapat lebih optimal jika dikelola dengan strategi yang tepat.
Dengan memanfaatkan sistem tumpang sari, warga Desa Kemiri tidak hanya dapat memenuhi kebutuhan lokal, tetapi juga memberikan kontribusi signifikan pada pasar yang lebih luas.
Desa Kemiri membuktikan bahwa inovasi lokal bisa menjadi solusi dalam menghadapi fluktuasi harga pangan.
Studi yang dilakukan oleh Pirngadi et al. (2023) serta Adi Saputri et al. (2022) mengungkapkan bahwa harga cabai cenderung berfluktuasi karena faktor cuaca yang tidak menentu dan distribusi yang kurang efisien.
Fluktuasi ini kerap menjadi tantangan besar bagi konsumen, tetapi sekaligus peluang bagi petani yang mampu mengelola produksi dengan baik.
"Inilah esensi pertanian sebenarnya : menanam sekali dan memanen berkali-kali," ujar Pak Lurah, mengingatkan warga tentang potensi besar yang bisa dimanfaatkan dari kombinasi inovasi dan kerja keras.
Jika pola ini diterapkan oleh seluruh masyarakat desa, ketahanan pangan yang stabil dan berkelanjutan tidak lagi menjadi sekadar impian.
Produksi lokal yang melimpah dapat menjadi senjata utama untuk melawan inflasi bahan pokok sekaligus meningkatkan kesejahteraan petani.