Jika ada ungkapan, "Jangan cuma kasih ikan, kasih kailnya," maka di Desa Kemiri, kailnya adalah infrastruktur dan jaringan sosial. Akademisi yang turun ke lapangan melihat betapa pentingnya dua elemen ini dalam mengentaskan kemiskinan multidimensi (Pratama, 2019).Mereka tidak hanya berbicara soal jalan desa yang butuh pengaspalan ulang, tetapi juga "jaringan sosial." Di Kemiri, akademisi memperkenalkan pendekatan Social Network Analysis (SNA) untuk memetakan siapa saja yang paling aktif di masyarakat. Dengan data ini, mereka bisa menunjuk influencer lokal yang membantu menyebarkan informasi penting, seperti bagaimana cara membuat pakan tambahan dari roti afkir (Budi Prayitno et al., 2011).
Masalahnya, jaringan sosial ini tidak selalu bekerja optimal. Bayangkan situasi saat jaringan influencer sapi lebih sibuk memikirkan tahlilan daripada membagikan tips sukses peternakan. Di sinilah akademisi berperan sebagai penghubung yang menciptakan ekosistem kolaboratif, baik itu antara pemerintah, koperasi susu, hingga peternak kecil (Aisyah et al., 2022).
"Kalau bisa bikin TikTok tentang sapi, kenapa gak bikin grup WA untuk koordinasi hasil ternak?" canda salah satu akademisi saat penyuluhan.
Akademisi Jadi Konsultan Cinta, Ekonomi, dan Teknologi
Selain membahas teknologi dan sosial, peran akademisi kadang melampaui batas tugas resmi mereka. Ada kalanya mereka menjadi konsultan cinta... ya, cinta pada pekerjaan. Peternak yang mulai kehilangan semangat diperkenalkan kembali pada pentingnya peran mereka dalam roda ekonomi desa.
"Kalau kamu berhenti memerah susu sapi, siapa yang bakal kasih susu segar ke tetangga?" celetuk seorang akademisi dengan humor sarkastik namun menohok (Binar Gumilang, 2022).
Akademisi juga membantu para peternak memahami pentingnya diversifikasi pendapatan. Tidak hanya bergantung pada susu, mereka diajarkan memanfaatkan hasil sampingan, seperti kotoran sapi yang bisa diolah menjadi biogas atau pupuk organik. Dengan cara ini, mereka tidak hanya meningkatkan pendapatan, tetapi juga mengurangi jejak karbon (Anandiya, 2023).
Teknologi Digital, Sapi, dan TikTok : Transformasi Desa Kemiri
Dalam dunia yang semakin terhubung, teknologi digital juga mulai masuk ke Desa Kemiri. Akademisi tidak hanya membantu peternak memahami pentingnya inovasi pada manajemen sapi, tetapi juga menunjukkan bagaimana teknologi sederhana seperti ponsel pintar bisa menjadi alat pengubah keadaan.Salah satu inovasi yang diperkenalkan adalah aplikasi sederhana untuk mencatat produksi susu harian. Dengan fitur pengingat berbasis aplikasi, para peternak tidak lagi perlu mengandalkan ingatan mereka yang kadang terbagi antara sapi dan sawah.
Tentu, penerapan teknologi ini tidak selalu mulus. Ada saja peternak yang bercanda, "Kenapa aplikasi ini tidak ada fitur buat curhat juga? Kan kadang sapi ngambek, kita ikut galau." Akademisi menjawab dengan senyuman, tetapi tanggap: setiap inovasi harus mempertimbangkan aspek budaya dan keterbukaan masyarakat (Budi Prayitno et al., 2011).
Edukasi Generasi Muda Desa Kemiri sebagai Peternak Masa Depan
Salah satu tantangan besar yang dihadapi Desa Kemiri adalah regenerasi peternak. Generasi muda cenderung enggan mengikuti jejak orang tua mereka dalam mengelola peternakan. Melalui kolaborasi dengan sekolah-sekolah lokal, akademisi mulai memperkenalkan peternakan modern kepada siswa dengan cara yang menarik.
Dalam sebuah program bernama "Sapi Goes to School", siswa diajak belajar langsung di peternakan. Mereka tidak hanya mengenal sapi sebagai "mesin susu", tetapi juga sebagai bagian dari ekosistem yang berkelanjutan. Dengan pendekatan yang menyenangkan, anak-anak desa mulai melihat bahwa menjadi peternak tidak hanya mulia tetapi juga bisa menghasilkan pendapatan yang menjanjikan.
"Kalau dulu anak muda ingin jadi dokter atau insinyur, sekarang mereka bilang ingin jadi peternak yang bisa bikin susu Kemiri terkenal!" kata seorang kepala sekolah (Indratmi et al., 2018).