Perlu kita ketahui bahwa Pelaporan SPT PPh 2024 paling lambat dilakukan pada April 2025, jadi November sampai  April 2025 nanti kita masih punya kesempatan untuk menyusun laporan dengan detail berdasarkan pelaporan terkait pelaporan SPT PPh 2024, jadi kita harus mengetahui secara mendalam tentang PPh Badan 2024 ini sebagai berikut :
Definisi
Yang pertama-tama kita akan mengetahui definisi dari badan,apasih badan dalam perpajakan itu?dalam sistem perpajakan indonesia  definisi Badan dalam Perpajakan yaitu Badan adalah sekumpulan orang atau modal yang merupakan persatuan baik yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha. Beragam bentuk  Badan usaha yaitu perseoran terbatas, CV, BUMN/BUMD dan lain sebagainya. Jadi Setiap badan usaha yang ada diwajibkan memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) khusus badan, yang berbeda dari NPWP pribadi. NPWP, atau Nomor Pokok Wajib Pajak, merupakan identitas bagi wajib pajak dalam rangka pelaporan dan pembayaran kewajiban perpajakan. Dengan adanya NPWP khusus, pelaku usaha dapat menjalankan kewajiban perpajakan secara terpisah dari kewajiban pajak individu, sehingga transparansi dan akuntabilitas perpajakan dapat lebih mudah tercapai.
Subjek Pajak Badan
Pajak merupakan sumber pendapatan utama negara, dan salah satu komponennya adalah pajak badan yang dikenakan pada berbagai entitas bisnis atau organisasi. Mengenai subjek pajak badan, hal ini terbagi menjadi dua kategori utama, yaitu badan dalam negeri dan badan luar negeri. Bagaimana kriteria dan perbedaannya?
Subjek pajak badan dalam negeri adalah badan yang didirikan atau berkedudukan di Indonesia. Badan ini biasanya memiliki domisili di wilayah tertentu di Indonesia dan akan diarahkan ke Kantor Pelayanan Pajak (KPP) yang menaungi wilayah tersebut.
Sementara itu, subjek pajak badan luar negeri adalah badan yang tidak didirikan atau tidak berkedudukan di Indonesia. Meskipun begitu, badan luar negeri ini tetap dikenai pajak jika menjalankan usaha atau kegiatan di Indonesia melalui Badan Usaha Tetap (BUT) atau menerima penghasilan dari Indonesia tanpa melalui BUT. BUT sendiri merupakan instrumen yang memungkinkan pemerintah Indonesia memajaki badan luar negeri yang mendapatkan penghasilan dari Indonesia. Oleh karena itu, baik yang memiliki BUT maupun tidak, badan luar negeri yang memperoleh penghasilan di Indonesia tetap termasuk dalam subjek pajak badan.
Dengan adanya ketentuan ini, diharapkan penerimaan pajak dari badan dalam negeri dan luar negeri dapat terus meningkat dan berkontribusi bagi pembangunan Indonesia.
Konsep Penghasilan
Konsep Penghasilan dari sisi perpajakan yaitu merujuk pada undang- undang pajak penghasilan, yang sekarang dari undang-undang No. 36 Tahun 2008 sudah di rubah ke undang-undang No. 7 Tahun 2021. Dalam undang -undang ini pasal yang berkaitan dengan penghasilan mencangkup beberapa ketentuan utama yaitu,(1) dalam pasal 4 ayat 3 UU PPh mengatur jenis- jenis penghasilan yang bukan objek pajak, jadi pada pasal ini penghasilan yang masuk dalam kategori ini tidak dikenakan pajak, (2)penghasilan yang merupakan objek pajak yang dikenakan PPh final, yang dijelaskan dalam pasal 4 ayat 2 UU PPh. Pajak final ini diatur lebih lanjut dalam peraturan pemerintah, memastikan bahwa wajib pajak memiliki panduan yang jelas mengenai pajak final yang berlaku.Â
Objek Pajak Non Final
Objek pajak non final adalah berbagai jenis penghasilan yang belum dikenakan pajak secara final dan masih bisa dikenakan tambahan pajak pada tahap pelaporan tahunan, yaitu seperti royalti, sewa, dan penghasilan sehubungan penggunaan harta. Contoh yang relevan adalah royalti ini adalah hak cipta, misalnya seorang pencipta lagu yang lagunya dinyanyikan oleh penyanyi lain maka penyanyi yang menyanyikan lagu tersebut harus membayar royalti, nah bagi pencipta lagu yang menerima royalti,itu yang disebut objek pajak non final.
Selain itu sewa  tanah, bangunan, atau sewa diluar tanah dan bangunan ini juga termasuk objek pajak non final. Kemudian yang termasuk keuntungan karena penjualan atau pengalihan harta termasuk:(1) keuntungan penjualan atau pengalihan harta termasuk keuntungan karena pengalihan harta kepada perseroan dan persekutuan serta badan lainnya sebagai pengganti saham/penyertaan modal.(2)keuntungan yang diperoleh perseroan, persekutuan dan badan lainnya karena pengalihan harta kepada pemegang saham.(3)keuntungan karena likuidasi, penggabungan, peleburan, pemekaran, pemecahan atau pengambil alihan usaha. jadi pajak objek non finalpun mengatur apa saja undang-undang bisa turun ke PMK(Peraturan Menteri Keuangan), apa saja yang termasuk objek pajak non final dari Undang-undang maupun dari PMK sampai pada PP(peraturan pemerintah) Juga ada yaitu pengalihan harta perusahaan Kepada pegawainya. Jadi perpajakan itu ada dasar hukumnya yang diatur secara jelas yang sudah diatur dalam undang-undang.
Jenis- jenis pajak non final yaitu dividen dengan nama dan dalam bentuk apapun termasuk dividen dari perusahaan asuransi kepada pemegang polis dan pembagian SHU koperasi, bunga, dikonto, dan imbalan karena jaminan pengembalian utang, hadiah  dalam event-event itu termasuk objek pajak, penerimaan kembali pembayaran pajak yang telah dibebankan sebagai biaya, keuntungan karena pembebasan utang, keuntungan karena selisih kurs mata uang asing, premi asuransi, iuran yang diperoleh perkumpulan dari anggotanya yang menjalankan usaha pekerjaan bebas, dan yang terakhir yaitu tambahan kekayaan neto yang berasal dari penghasilan yang belum dikenakan.Â
Nah itu lah jenis-jenis dari objek pajak non final, sekarang kita masuk ke 0bjek pajak tambahan UU No. 36 tahun 2008, kan jaman sekarang marak ya penghasilan dari usaha yang berbasis syariah yang memiliki landasan filosofi yang berbeda dengan kegiatan usaha yang bersifat konvensional namun penghasilannya tetap merupakan objek pajak ,jadi pemerintah itu tidak mau membatasi apa itu objek pajak imbalan bunga maupun surplus bank indonesia.
PPh Final
Pengertian dari PPh Final itu sendiri adalah jenis PPh yang mengenakan pajak tidak atas dasar penghasilan neto melainkan atas dasar penghasilan bruto(tanpa dikurangi dengan biaya). Pemerintah mewajibkan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) dengan omzet lebih dari Rp500 juta per tahun untuk membayar Pajak Penghasilan (PPh) final. Ketentuan ini diatur untuk memperjelas bahwa PPh final dikenakan atas penghasilan bruto, bukan penghasilan bersih. Artinya, pajak dihitung berdasarkan total omzet tanpa dikurangi biaya operasional.
Menurut aturan yang berlaku, UMKM yang telah mencapai omzet tahunan di atas Rp500 juta diwajibkan menyetorkan pajak sebesar 0,5% dari omzet tersebut. Contohnya, jika suatu UMKM memiliki omzet Rp500 juta dalam setahun, maka pajak yang harus disetor adalah 0,5% dari omzet bruto tersebut.
Kebijakan ini disebut PPh final karena pajak yang dibayar dari penghasilan tertentu tidak akan diperhitungkan lagi dalam Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT) atau digabungkan dengan objek pajak lainnya. Meskipun demikian, data penghasilan yang terkena PPh final tetap dilaporkan dalam SPT tahunan, namun tidak dihitung ulang untuk keperluan kredit pajak.
Dengan adanya aturan PPh final ini, UMKM diharapkan lebih memahami kewajiban pajak yang harus dipenuhi setiap tahunnya seiring dengan meningkatnya omzet.
Kesimpulannya adalah Pemahaman mendalam mengenai Pajak Penghasilan (PPh) Badan menjadi krusial dalam menghadapi pelaporan Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan PPh 2024, yang wajib disampaikan paling lambat April 2025. Pengetahuan ini dinilai sangat penting bagi badan usaha untuk menyusun laporan pajak dengan lebih akurat, serta memastikan kepatuhan terhadap peraturan pajak yang berlaku.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H