Dari defininisi yang dikemukakan diatas bisa dicermati adanya perbedaan dengan perspektif fikih yang telah diuraiakan dalam kiab kitab hingga tampaknya para ulama mendefinisikan bahwa perkawinan semata-mata dalam konteks hubungan biologis saja.
Prinsin-prinsip Perkawinan menurut M.Yahya Harahap asas-asas yang dipandang cukup prinsip dalam UU Perkawinan adalah:
- Menampung segala kenyataan yang hidup dalam masyarakat bangsa Indonesia.
- Sesuai dengan tuntutan perkembangan zaman.
- Tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga bahagia yang kekal.
- Perkawinan harus dilakukan berdasarkan hukum agama dan kepercayaan masing masing.
- UU Perkawinan menganut asas monogami akan tetapi terbuka peluang untuk melakukan poligami selama hukum agama mengizinkannya.
- Perkawinan dan pembentukan keluarga dilakuan oleh pribadi yang telah matang jiwa dan raganya.
- Kedudukan suami dan istri dalam keluarga adalah seimbang
Jika disederhanakan, asas perkawinan itu menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 ada enam. (1) Tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia dan kekal, (2) Sahnya perkawinan sangat tergantung pada ketentuan hukum agama dan kepercayaan masing-masing, (3) Asas monogami, (4) Calon suami dan istri harus telah dewasa jiwa dan raganya (5) Mempersulit terjadinya perceraian, (6) Hak dan kedudukan suami istri adalah seimbang.
Rukun dan syarat perkawinan ada lima, calon suami-istri, wali, dua orang saksi, dan sighat. Dalam buku ini ditekankan menganai mahar sabagai syarat sah perkawinan para ulama menetapkan mahar hukumnya wajib didasarkan al-Quran ,sunnah dan ijma. Meski demikian mahar itu wajib namun dalam penentuannya tetaplah harus mempertimbangkan asas kesederhanaan dan kemudahan dan tidak boleh memberatkan calon suami dan tidak boleh juga mengesankan asal ada atau apa adanya, sehingga calon istri tidak merasa di lecehkan atau disepelekan.
Perspektif Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tidak mengenal adanya rukun perkawinan. Undang-Undang Perkawinan hanya memuat hal-hal yang berkenaan dengan syarat-syarat perkawinan. Yang tercantum dalam Bab II pas 6 dan 7. Perspektif KHI
Berbeda dengan UU No 1/1974, KHI ketika mem-bahas rukun perkawinan tanpakya mengikuti sistematika fikih yang mengaitkan rukun dan syarat. Ini di muat dalam pasal 14. Kendatipun KHI menjelaskan lima rukun perkawinan sebagaimana fikih, ternyata dalam uraian persyaratannya KHI mengikuti UP yang melihat syarat hanya berkenaan dengan persetujuan kedua calon mempelai dan batasan umur.Yang menarik, pada pasal-pasal berikutnya juga di bahas tentang wali (pasal 19), saksi (pasal 24), akad nikah (pasal 27), namun sistematikanya diletakkan pada bagian yang terpisah dari pembahasan rukun. Sampai di sini, KHI tidak mengikuti skema fikih, juga tidak meng-ikuti UU No 1/1974 yang hanya membahas persyaratan perkawinan menyangkut kedua calon mempelai.
Dalam perspektif Islam, peminangan itu lebih mengacu untuk melihat kepribadian calon mempelai wanita seperti ketakwaan, keluhuran budi pekerti, kelembutan dan ketulusannya. Kendati demikian bukan berarti masalah fisik tidak penting.
Di dalam UUP, peminangan ini tidak dikenal. Alasannya mungkin karena peminangan tidak dapat disebut sebagai peristiwa hukum. Kendatipun UUP tidak mengaturnya, para pengkaji hukum Islam menyebut syarat perkawinan yang ada di pasal 6 dan 7 sebenarnya secara implisit mengatur peminangan tersebut. Salah satu syarat perkawinan adalah adanya persetujuan kedua calon mempelai.
Berbeda dengan UU No 1/1974, Kompilasi Hukum Islam tampakya mengapresiasi dengan cukup luas peminangan in. Seperti yang terlihat dalam pasal 1 bab 1 huruf a, peminangan didefinisikan sebagai kegiatan upaya ke arah terjadinya hubungan perjodohan antara seorang pria dan wanita dengan cara-cara yang baik (ma'ruf).
Pencegahan dan pembatalan perkawinan menurut Perspektif Fikih. Fikih Islam tidak mengenal adanya pencegahan dalam perkawinan. Berbeda dengan pembatalan, istilah ini telah dikenal dalam fikih Islam dan kata batal itu sendiri berasal dari bahasa Arab. Di dalam fikih sebenarnya dikenal dua istilah yang berbeda kendati hukumnya sama yaitu nikah al-fasid dan nikah al-batil. Al-Jaziry ada menyatakan bahwa nikah fasid adalah nikah yang tidak memenuhi salah satu syarat dari syarat-syaratnya, sedangkan nikah batil ialah apabila tidak terpenuhinya rukun. Hukum nikah al-fasid dan batil adalah sama-sama tidak sah. Baik pencegahan dan pembatalan tetap saja berakibat tidak sahnya sebuah perkawinan.
Jika dianalisis diaturnya masalah pencegahan dan pembatalan dalam UU perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam merupakan sebuah upaya efektif untuk menghindarkan terjadinya perkawinan yang terlarang karena melanggar syarat-syarat yang telah ditentukan oleh agama. Pencegahan perkawinan diatur dalam UU No 1/1974 dalam pasal 13 yang bunyinya: