Mohon tunggu...
Muhammad Rizqi Hengki
Muhammad Rizqi Hengki Mohon Tunggu... Penegak Hukum - Calon Pegawai Negeri Sipil pada Mahkamah Agung Republik Indonesia

Just an ordinary man, don't expect too much from me. Focus on Criminal Law and Anti-Money Laundering Science. Find me on Instagram @mrizqihengki

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Perselisihan Hasil Pemilihan Umum: Secercah Harapan Untuk Mahkamah Konstitusi

28 Maret 2024   09:20 Diperbarui: 28 Maret 2024   09:33 138
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tanggal 14 Februari 2024 lalu, masyarakat Indonesia baru saja melaksanakan pesta demokrasi Pemilihan Umum (Pemilu) serentak untuk memilih Calon Presiden dan Wakil Presiden, Calon Anggota DPR RI, DPD RI, DPRD Provinsi serta DPRD Kabupaten/Kota.

Sebagaimana diketahui, berdasarkan Keputusan Komisi Pemilihan Umum Nomor 360 Tahun 2024 tanggal 20 Maret 2024, telah ditetapkan bahwa Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden nomor urut 2 (H. Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka) menjadi pemenang dengan jumlah suara sah sebanyak 96.214.691 (58,59%).

Sedangkan Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden nomor urut 1 (H. Anies Rasyid Baswedan, Ph.D dan Dr. (H.C.) H. A. Muhaimin Iskandar) mendapatkan suara sah sebanyak 40.971.906 (24,95%) dan Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden nomor urut 3 (H. Ganjar Pranowo, S.H., M.I.P dan Prof. Dr. H. M. Mahfud MD) mendapatkan suara sah sebanyak 27.040.878 (16,47%).

Dalam tulisan ini akan dibatasi dengan hanya membahas Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) Presiden dan Wakil Presiden saja.

Siapa yang Berwenang Memutus PHPU?

Mahkamah Konstitusi (selanjutnya disebut MK) berdasarkan Pasal 24C ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 memiliki kewenangan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.

Merujuk pada pengertiannya, perselisihan hasil Pemilu pada dasarnya adalah perselisihan antara KPU dengan peserta Pemilu.

Bentuknya baik perselisihan hasil Pemilu anggota DPR dan DPRD, perselisihan hasil Pemilu anggota DPD, maupun perselisihan hasil Pemilu Presiden dan Wakil Presiden dengan KPU.

Poin-poin penyelesaian perselisihan hasil Pemilu Presiden dan Wakil Presiden yang termuat dalam Pasal 475 UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum adalah sebagai berikut:

1. Dalam hal terjadi perselisihan penetapan perolehan suara hasil Pemilu Presiden dan Wakil Presiden, pasangan calon dapat mengajukan keberatan kepada MK dalam waktu paling lama 3 hari setelah penetapan hasil Pemilu Presiden dan Wakil Presiden oleh KPU.

2. Keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya terhadap hasil penghitungan suara yang memengaruhi penentuan terpilihnya pasangan calon atau penentuan terpilihnya pasangan calon atau penentuan untuk dipilih kembali pada Pemilu Presiden dan Wakil Presiden.

3. MK memutus perselisihan yang timbul akibat keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) paling lama 14 hari sejak diterimanya permohonan keberatan oleh MK.

4. KPU wajib menindaklanjuti putusan MK.

5. MK menyampaikan putusan hasil penghitungan suara kepada MPR, Presiden, KPU, pasangan calon, dan partai politik atau gabungan partai politik yang mengajukan calon.

Secercah Harapan Untuk Mahkamah Konstitusi

MK akan berperan penting dalam terselenggaranya Pemilu tahun 2024, hal ini dikarenakan Pemohon PHPU tak jarang mendalilkan telah terjadi pelanggaran secara Terstruktur, Sistematis, dan Masif (TSM) dalam Pemilu.

Terstruktur berkaitan dengan kewenangan, sistematis berkaitan dengan kebijakan, sedangkan masif berkaitan dengan dampak yang dihasilkan.

TSM ini diambil dari kerangka Hak Asasi Manusia (HAM) dikarenakan berkaitan erat dengan 'magnitude' Pemilu yang menyangkut suara jutaan warga negara.

Tantangan PHPU menjadi semakin besar akibat jangka waktu yang diberikan kepada MK untuk menangani perkara sangat terbatas.

Selain itu, komposisi hakim konstitusi yang ada saat ini tidak menjamin MK dapat bersikap netral dalam menangani perkara PHPU.

Hak angket juga dianggap penting untuk mengevaluasi penyelenggaraan Pemilu.

Ketidakpercayaan masyarakat terhadap MK juga masih cukup tinggi setelah lahirnya Putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023 yang dianggap oleh banyak kalangan terdapat konflik kepentingan (conflict of interest).

Sekalipun, Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) telah menjatuhkan sanksi berat antara lain mencopot Anwar Usman dari jabatannya sebagai Ketua MK dan melarang yang bersangkutan untuk turut menangani perkara PHPU.

Hal ini dinilai tidak cukup untuk mengembalikan kepercayaan masyarakat secara penuh terhadap lembaga yang disebut sebagai pengawal konstitusi (the guardian of constitution).

Terlebih, sampai saat ini belum ada satupun perkara PHPU yang dikabulkan oleh MK sejak tahun 2004.

Patut disadari bahwa dalam kontestasi politik, sudah pasti akan menimbulkan pengkotak-kotakan. Harapannya setelah MK memutus perkara PHPU, semua pihak dapat menerima hasil tersebut dengan legowo.

MK sebagai garda terdepan dengan berbagai pengalamannya harus dapat bersikap transparan, akuntabel, dan mampu menetralisir ketegangan, pertanyaan yang tidak bersayap, serta ketokan palunya dapat mengendalikan dan meredakan segala ketegangan.

Salah satu elemen penting dalam penyelenggaraan Pemilu adalah tercapainya keadilan Pemilu (electoral justice) sebagaimana diatur dalam Pasal 22E ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 (yang dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil).

Dokumentasi KOMPAL
Dokumentasi KOMPAL

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun