Mohon tunggu...
Rizqi Nurhidayat
Rizqi Nurhidayat Mohon Tunggu... Mahasiswa - Universitas Airlangga

Seorang mahasiswa

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

KKN: Ancaman dalam Negeri yang Butuh Perhatian Lebih

16 Juni 2022   23:32 Diperbarui: 16 Juni 2022   23:44 207
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Korupsi, kolusi, dan nepotisme di Indonesia terjadi tidak hanya dalam kalangan pejabat tinggi. Dari masyarakat itu sendiri sudah terbentuk perilaku seperti ini, seperti perbuatan menyontek saat sedang ujian berlangsung yang biasa dilakukan oleh siswa bahkan mahasiswa sekalipun. Korupsi tidak hanya mensugesti untuk diri remaja namun juga bertentangan dengan hukum (Cohen dkk, 2017) dalam  (Yuliasar, 2021). 

Studi kasus yang disurvei oleh (Sihombing, 2018) untuk mengetahui persepsi anak muda terhadap integritas dapat ditunjukkan dengan karakter individu yang konsistensi, yang jujur, koherensi antara prinsip dan tindakan, tanggung jawab, berkeadilan, berkepercayaan, berkomitmen, adanya rasa hormat dan tanggung jawab dalam (Yuliasar, 2021). Hal ini sejalan pula dengan hasil penelitian bahwa perilaku rasa malu mencerminkan sikap moral dan etis terhadap perilaku anti korupsi.

 Menurut Triyana & Heryadi (2020) cara siswa bersikap menilai satu keadaan atau perilaku pelanggaran sehingga tidak melakukan penyalahgunaan sumber daya, pencurian, penipuan dan korupsi yang merupakan tindakan atau perilaku yang bertentangan dengan nilai-nilai anti korupsi adalah makna dari persepsi etis siswa dalam (Yuliasar, 2021). 

Pendidikan anti korupsi membimbing para generasi bangsa menjadi manusia yang berakhlak dan pastinya berbudaya anti korupsi, berwatak anti korupsi, bertanggungjawab terhadap problematika korupsi, dan bersosialitas dalam upaya pencegahan korupsi. 

Disadarai atau tidak, korupsi juga sering dialami oleh para generasi muda. Pada saat-saat tertentu generasi muda dapat menjadi korban korupsi, pelaku korupsi, atau ikut andil dalam melakukan atau terlibat perkara korupsi, dan sangat memungkinkan juga menjadi pihak yang menentang korupsi. 

Menurut Achmad A.A (2017) dalam pemberian pemahaman dan pengetahuan kepada anak usia dasar (MI/SD sederajat) tentang penanaman antikorupsi begitu juga penanamannilai-nilai positif lainnya, ada lima metode yang dianggap efektif untuk digunakan dalam penanaman anti korupsi yaitu; pertama metode pengawasan, kedua pembiasaan, ketiga keteladanan, keempat reward and punishment, kelima metode dialog.

 Perilaku anti korupsi sangat terkait dengan dua faktor, yakni faktor internal dan faktor eksternal. Kemendikbud (2011) dalam Yuliasar (2021) menjelaskan faktor internal merupakan penyebab korupsi yang datang dari diri pribadi sedangkan faktor eksternal adalah faktor penyebab terjadinya korupsi yang disebabkan dari luar. 

Faktor internal terdiri dari; 

(1) aspek moral, misalnya lemahnya keimanan, kejujuran, rasa malu,

(2) aspek sikap atau perilaku misalnya pola hidup konsumtif dan 

(3) aspek sosial seperti keluarga yang dapat mendorong seseorang untuk berperilaku koruptif. 

Sedangkan faktor eksternal bisa dilihat dari; (1) aspek ekonomi, misalnya pendapatan atau gaji tidak mencukupi kebutuhan, 

(2) aspek politis misalnya instabilitas politik, kepentingan politis, meraih dan mempertahankan kekuasaan, 

(3) aspek manajemen & organisasi yaitu ketiadaan akuntabilitas dan transparansi,

(4) aspek hukum, terlihat dalam buruknya wujud perundang-undangan dan lemahnya penegakkan hukum serta

(5) aspek sosial yaitu lingkungan atau masyarakat yang kurang mendukung perilaku anti korupsi. Oleh karena itu, pendidikan berkarakter di sekolah sangatlah penting. 

Dalam pendidikan berkarakter, semua materi harus dilibatkan, termasuk materi-materi pendidikan itu sendiri, yaitu dari isi kurikulum, proses pembelajaran dan penilaian sampai etos kerja seluruh warga sekolah/lingkungan. Pendidikan berkarakter sering dimaknai sebagai suatu perilaku warga sekolah yang harus menerapkan pendidikan berkarakter itu sendiri. 

Dengan pendidikan karakter di sekolah, diharapkan akan mengurangi perilaku korupsi. 

Abidin (2017) sebuah tindakan meminta (pemerasan)/memperoleh/memberi (penyuapan) imbalan uang, barang, atau keistimewaan (nepotisme) bagi layanan yang sudah seharusnya diberikan atau menggunakan kekuasaan/wewenang untuk mencapai tujuan yang tidak sesuai dengan standar etik/moral atau peraturan perundang-undangan bagi kepentingan pribadi (personal, keluarga dekat, kawan dekat) sering diartikan sebagai perilaku korupsi perilaku. 

Maka langkah selanjutnya adalah pemerintah harus melaksanakan pendidikan anti korupsi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun