Mohon tunggu...
Muhammad Rizqi Gumilar
Muhammad Rizqi Gumilar Mohon Tunggu... karyawan swasta -

senyum trus....

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Catatan Hati Seorang Akhie 17 : Derai Rindu

16 September 2013   17:56 Diperbarui: 24 Juni 2015   07:48 164
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

“Kim, ana mah orang biasa, bukan ustadz, akhwat tadi mah ustadzah, jenggot ana aja baru dicukur kemarin. Ana malu.” Kembali aku menarik nafas, terasa berat. Belum mencoba tapi aku merasa seperti sedang ditimpa beban yang amat berat dan melelahkan.

“Hih, antum nih payah. Jenggot aja dipikirin.” Keluh Abdul Hakim. “Iya setidaknya jenggot kan simbol Islam.” Kataku membela diri.

“Kata siapa simbol islam? Mana dalilnya? Illat hadits tentang jenggot antum tahu enggak, akhie?” Aku tak ingin berdebat. Aku sadar diri tak mencoba untuk berdebat dengan seorang ustadz semodel Abdul Hakim, sahabatku.

“Akhie, kita tuh di Alazhar tidak sempit pikirannya. Jadi, jangan antum kira akhwat teman ana tuh menolak hanya gara-gara jenggot.” Aku mengangguk-angguk ucapan Abdul Hakim.

“Kim, ana kayaknya bisa percaya diri kalau ana sudah S2. Ana mau S2 dulu terus nikah deh. Ana takut kalau nikah dulu, ana enggak bisa kuliah lagi, soalnya focus hidup ana jadi berubah untuk keluarga.” Kembali aku membela diri.

“S2? Akhie.. akhie.. Apologi antum tuh terlalu lemah. Emang antum kira orang yang sudah menikah tidak bisa S2? Malah hidup dan kuliah antum lebih fokus nantinya. Rencana ana sendiri setelah nikah bulan besok, langsung mau ngambil S2 bareng istri di UMM.”

“Kim, akhwat tadi tuh anak orang kaya ya? Duh, harus berapa juta ana ngeluarian duit buat nikah. Mahal, Kim.” Aku tersenyum kelu.

“Yaaah antum. Gitu aja kok repot. Nikah sama akhwat mah beda kali dibanding nikah sama wanita biasa. Lagian antum jangan pusingin hal teknisnya deh, itu mah gampang. Yang harus antum pikirin tuh kesiapan antum sendiri.” Ia terdiam sejenak.

“Lagi pula akh, biaya besar yang harus kita keluarkan untuk meminang seorang wanita menunjukkan keseriusan kita dan bentuk penghargaan antum kepada wanita. Hidup memang membutuhkan biaya besar, Akh. Yawdah antum pikirin aja dulu tawaran ana. Kesempatan jarang datang dua kali. Ana mau ke teman-teman ana dulu.” Abdul Hakim nampak terlihat tua di mataku. Dewasa sekali cara berpikirnya. Ia semakin terlihat lebih matang dibanding diriku.

Abdul Hakim meninggalkanku dalam kebimbangan. Aku merasa ada yang kurang dengan kedewasaanku. Entahlah…

---***---

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun