Mohon tunggu...
Ahmad Rizqi
Ahmad Rizqi Mohon Tunggu... Jurnalis - Penulis / Editor

Pemimpi, Pekerja Seni dan Inovasi Teknologi

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cerpen | Akhir Perjalanan

16 Januari 2020   08:44 Diperbarui: 16 Januari 2020   08:47 112
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

"Aku tahu, kamu lelah menghadapi macam-macam masalah dalam keluargamu. Jiwamu capai, batinmu butuh sandaran. Kenapa kamu tidak bagikan kepada yang lain, yang kamu percayai agar kamu merasa sedikit lega? Kenapa, De?"

"Tidak ada orang yang bisa aku percaya!" sergahku kesal.
"Kamu merasa dirimu kuat. Jadi kamu sudah tidak butuh siapa pun, hah!" Anto menatapku tajam. Terasa menusuk.
"Persetan! Aku memang masih mampu mengatasi semua ini," kubalikkan badanku dengan kasar.
"Salahkah kalau ada seseorang yang ingin ikut memperhatikanmu, meringankan bebanmu?" pedas sekali kata-katanya. "Kamu memang sombong."
Aku berlari meninggalkan Anto. Harga diriku hancur-lebur.

Mungkin benar, aku memang sombong seolah mampu mengatasi semua masalah tanpa bantuan siapapun. Aku memang sulit mempercayai seseorang. Kupikir Anto  juga tahu, kenapa aku bersikap demikian. Aku berlari menjauhi tempat kawan-kawanku.

Tuhan, bantu aku menghalau gelisah di batinku. Aku menelungkupkan kedua telapak tanganku ke wajah.  Tak terasa titik-titik airmata membasahi tanganku. Kuseka ingus yang keluar dari hidungku.

"Boleh aku menemanimu?" Gun. Selalu saja aku tidak menyadari kehadirannya. Dengan kasar kuseka airmata yang masih membasahi pipiku.
"Menghadaplah ke mari, De."

Aku diam. Setengah memaksa kedua lengan Gun menarik bahuku sehingga aku berhadapan muka dengannya. Apa yang dia mau, pikirku tak mengerti.
"Pandanglah aku,. De!" pintanya halus di telingaku.

Ya, Tuhan. Dihadapkan pada situasi begini aku bisa terlena. Dengan kasar kubalikkan badanku. Aku malu. Aku yakin Gun telah berhasil mengetahui rahasia keluargaku.

"Jangan berikan ibamu padaku, Gun," terasa lemah suaraku.
"De, tiap manusia punya masalah. Karena itu Tuhan menciptakan manusia-manusia lain agar mereka saling tolong-menolong. Aku ingin menolongmu. Tidak bisakah kamu mepercayai aku?" Aku diam. Gun menghela napas dalam-dalam kemudian menghembuskannya kuat-kuat. "Begitu rendahkah aku di matamu?" Aku tercekat.

"Bukan kamu, Gun. Tapi aku yang begitu rendah di matamu," tukasku.
"Jangan berkata begitu, De. Sudah lama aku melihat matamu yang selalu murung, berkabut. Aku ingin menyingkapkan kabut itu. Tapi kamu tak perna memberi kesempatan."

Aku menatapnya tak percaya.

"Sikapku memang tak bisa dibilang hangat. Tapi aku selalu memperhatikanmu diam-diam. Salahkah aku bila aku ingin mengetahui dirimu lebih jauh. Tidak lewat kamu, karena kamu sulit kudekati. Selalu menghindar. Tapi lewat Anto yang kutahu dekat dengan keluargamu."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun