Mohon tunggu...
Ahmad Rizqi
Ahmad Rizqi Mohon Tunggu... Jurnalis - Penulis / Editor

Pemimpi, Pekerja Seni dan Inovasi Teknologi

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cerpen | Akhir Perjalanan

16 Januari 2020   08:44 Diperbarui: 16 Januari 2020   08:47 112
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

"Biarkan peredaran darahmu lancar," katanya lagi sambil berlalu dari hadapanku. Bukan aku tidak tahu soal itu. Memang setelah berjalan atau berlari jauh, kaki sebaiknya diselonjorkan untuk melancarkan peredaran darah. Tapi, kenapa di hadapan laki-laki ini aku kelihatan begitu bodoh.

Sebenarnya aku tidak begitu mengenal Gun. Aku sering melihatnya di ruangan senat apabila aku akan ke sanggar. Diam-diam aku menyukainya, karena melihat sosoknya yang tegap. 

Dalam kedinginan sikapnyakadang-kadang aku melihat keteduhan pada matanya. Kalaupun secara tak sengaja kami bertatapan, aku hanya dapat menangkap senyum tipis pada bibirnya, dan akupun  akan cepat berlalu dari hadapannya.

Gun anak fakultas hukum. Dia juga anggotapecinta alam di kampusku. Aku sering menerima informasi-informasi tentang Gun lewat Santi sobat karibku yang juga anggota pecinta alam.

"Ngaku aja terus terang, De. Kamu naksir Gun, kan?" Pernah Santi menodongku ketika secara tak sengaja ia menangkap basah aku yang sedang memperhatikan Gun.

"Ngaco!" jawabku pendek ketika itu. Tetapi Santi terus-menerus mendesakku.
"Gun itu fans-nya banyak. Cakep-cakep lagi. Lalu apa yang bisa aku banggakan? Aku nggak punya apa-apa, San."
"Kamu terlalu merendah, De. Kamu punya kepintaran, kemandirian. Tampang? Aku berani jamin, nggak ada seorang pun yangnggak setuju bahwa kamu itu imut-imut." Waktu itu aku tertawa mendengar ucapannya.

Keluargaku, Santi, aku menggumam dalam hati. Tidak banyak lelaki yang mau berkawan intim dengan gadis dari keluarga berantakan. Apalagi Gun, sulit kuraih. Aku tersenyum kecut.

"Ayo kawan-kawan, kita siap-siap lagi," Gun menyandang ransel di punggungnya. "Jangan terlalu banyak istirahat, agar besok kita bisa sampai di Pangandaran," katanya lagi sambil mulai melangkah.

Aku bangkit. Sudah tiga hari kami menyusur pantai sepanjang Cipatujah -- Pangandaran. Pola hidup masyarakat sepanjang pantai yang kami lewati, sangat menarik perhatianku. Menyusuri pantai belum pernah aku lakukan. Tapi ada Gun. Aku takut perasaanku akan kacau jika berdekatan dengannya.

"Jangan pikirkan dia. Kalau kamu bener-bener nggak naksir dia, kamu bisa ikut kegiatan ini. Alam adalah hidupmu, De. Tidakkah kamu membayangkan nikmatnya tidur beralaskan pasir pantai beratapkan langit bertabur bintang?"

Hampir aku ngakak mendengar kalimat-kalimat Santi yang berbau sastra itu. Itulah masalahnya, aku memang naksir Gun. Cuma aku tidak mau berterus-terang pada siapa pun. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun