Antara Gugur Bunga dengan Lentera yang Padam
Lantunan dzikir dan suasana tenangnya malam menghiasi suasana hati ku di kala aku sedang menantikan waktu Isya, tepat pada hari ini di hari Jumat bulan Maret yang lalu aku sedang bersila di atas karpet masjid sembari mengharap guruku yang sedang melantunkan dzikir dan kemudian dilanjutkan dengan Muqaddimah.Â
Saat itu aku dengarkan penjelasan dari Guruku isi dari kitab kuning seketika duniaku hilang entah kemana pandangan dan telinga ku hanya tertuju pada satu titik yaitu kepada guruku yang sedang menerangkan penjelasan darinya memanglah sangat lurus dan mudah untuk dimengerti tak heran jika orang-orang sangat menghormatinya dan banyak yang bertanya atau berkonsul kepadanya termasuk aku sendiri, bagiku dia merupakan guru terbaik yang pernah aku temui, dia ahli dzikir, ahli sedekah, dan ahli ilmu.
Namun seketika sesuatu mulai berubah ketika guruku mulai jatuh sakit, saat itu bertepatan pada bulan Zulkaidah yang pada bulan Masehi nya yakni bulan Juni, aku dengar kabar bahwa guruku sakit paru-paru basah, pertama kali mendengarnya aku merasa terkejut dan aku menganggapnya hanya penyakit biasa, namun seiring dengan berjalannya waktu, entah mengapa waktuku mulai direbut oleh tanggung jawabku sebagai siswa dan juga sebagai pengurus organisasi yang tak kunjung membuatku diam sejenak dimajelis ilmu, sehingga mulai dari saat itu aku jarang sekali bertemu dengan guruku lagi, walaupun sebenernya hati ini ingin sekali berjumpa dengannya.
Waktu dan kesibukanku seolah-olah menjadi benteng penghalang antara diriku dengan guruku, jangankan ingin berjumpa dengannya, bahkan waktu dan kesibukanku melarangku untuk mengucapkan salam kepadanya, seolah olah tanganku sudah asing lagi untuk menggenggam tangannya yang begitu suci.Â
Sebenarnya aku pernah bertanya kepada diriku sendiri, apakah ini karena diriku senditi yang tidak bisa mengatur waktuku sehingga aku meninggalkan kewajibanku untuk menuntut ilmu agama ? Tapi seolah olah tanggung jawabku sebagai pengurus organisasi mengikatku untuk tidak bisa bertemu dengan guruku.
Aku bingung memilih antara tanggung jawab dengan mencari ilmu, dan ternyata aku hanya memilih salah satu dari itu, yakni aku melaksanakan tanggung jawabku dan meninggalkan yang 1 nya lagi, seiring dengan berjalannya waktu, hari Jum'at pun berlalu selama 2 Minggu, hingga setelah itu kehadiranku dipertanyakan oleh salah satu satu seorang jama'ah, "Ki, apa kabar ? Kemanaaja, jarang lihat kamu ada dipengajian, nanti ikut yaa pengajian...".
Aku pun bingung untuk menjawabnya, sedangkan di organisasi ku sedang banyak sekali yang harus aku urusi sehingga waktu malam pun aku pakai untuk menyelesaikan tugasku di organisasi, sehingga aku menjawab hanya dengan senyuman dan sedikit kata "iya Pak insyaallah kalau ada waktu".
Hari pun berjalan seperti biasanya selama 3 Minggu, hingga akhirnya aku pun dilepaskan oleh tanggung jawabku untuk pergi berjalan kemasjid untuk menuntut ilmu di hari Jum'at itu, ternyata tak kusangka tampak wajah guruku yang mulai mengurus dikarenakan penyakitnya yang semakin parah, mukanya ibaratkan tulang yang hanya dilapisi kulit tanpa adanya daging.
Beda sekali dengan keadaannya saat sehat dahulu, hingga akhirnya diakhir muqodimah beliau mengatakan "di setiap malam Sabtu insyaallah saya akan menyempatkan diri, memaksakan diri hanya untuk menjalani kewajibanku sebagai seorang pendakwah, karena sejatinya dakwah adalah hidupku, aku tidak bisa meninggalkannya".
Hatiku berkata " Ya Allah muliakanlah guruku ini disisimu, dia ikhlas menjalankan tugasnya sebagai sorang guru, sehatkanlah dia kembali agar dia bisa mengajar seperti biasanya dengan disertai nikmat sehat".
Hari-hari pun berlalu, aku pun diberatkan lagi oleh tanggung jawabku di organisasi, sehingga aku pun tidak bisa bertemu dengan guruku lagi, namun disuatu saat... ternyata ibuku pergi bersama dengan jema'ah akhwat yang lainnya untuk menjenguk guruku yang keadaannya sepertinya semakin parah, dan ternyata benar saja setibanya ibuku dirumahku, ibuku menceritakan semua keadaannya, ibuku bilang bahwa guruku keadaannya semakin parah.
Berjalan dari rumah menuju masjid saja badannya sudah tidak kuat, dan kini beliau pun sudah tidak mengajar lagi di sekolah Al-Azhar, begitupun juga dihari Jum'at ia sudah tidak kuat lagi untuk mengisi kajian, dan benar saja aku pun sudah tidak melihatnya sholat berjamaah dimasjid lagi, begitu parah sakitnya dan begitu keras perjuangannya untuk menegakan amal ma'ruf yaitu memperjuangkan untuk terus mengisi kajian.
Hingga suatu saat aku pun mendengar kabar bahwa beliau ternyata mulai dirawat dirumah sakit, dan jama'ah DKM Al-Muttaqin pun seringkali mendoakan kesehatan nyadisetiap setelah menyelesaikan sholat fardhu berjamaah, hari-hari pun berlalu begitu cepat, aku bayangkan hal itu seperti kilat, dan 1 Minggu ibaratkan seperti hanya 1 hari, bukan karena waktunya yang berlalu dengan lebih cepat.
Namun karena kesibukan dirikulah yang membuatku lupa dengan waktu, hingga suatu ketika aku dengar kabar bahwa keadaan guruku ternyata semakin hari semakin parah, bahkan hingga dinyatakan koma selama berada dirumah sakit, hatiku saat itu terjatuh dari ragaku, denyut jantungku berdetak kencang tak menentu, air mataku tak mampu lagi melewati pagar pengehalangnya.
Namun apalah daya, aku hanyalah seorang manusia biasa yang belum mampu membanting tulang, aku hanya bisa mendoakan nya disetiap sholatku demi kesembuhannya dan takdir yang terbaik untuknya. Karena memang sejatinya hanyalah Tuhan yang mampu menentukan takdir dan aku hanya bisa berpasrah dengan disertai ikhtiar semampuku saja tanpa lebih dari itu.
Hingga pada akhirnya ketika aku sedang melaksanakan sholat Magrib dimalam Jum'at dengan keadaan masbuk, aku dengar pengumuman dari imam bahwasanya guruku yang selama ini mengajariku tauhid, fiqih, tasawuf, madzhab, manhaj, ikhsan, ikhlas dan sabar kini telah menjadi bunga yang gugur dari pohonnya, aku saat itu tidak bisa berkata apa-apa lagi.
Aku begitu terpukul, bibirku hanya bisa membungkam dan menahan ekspresi sedih, dan mataku rasanya sudah tidak mampu membendung air mataku, kini aku kehilangan cahaya lenteraku yang selama ini mengantarku kejalan yang lurus.
Kini aku rasa tidak memiliki arah, cahaya lentera yang selama ini ada disisiku sudah padam dan tidak bisa terang lagi, tak hanya aku saja, jama'ah lain pun turut sedih dengan kepergiannya, walaupun ku tahu ini merupakan takdir yang terbaik dari Allah.
Apalagi yang harus kulakukan selain menerimanya, karena sejatinya semua yang ditakdirkan Allah itu selalu baik, walau terkadang perlu air mata untuk menerimanya, begitu yang dikatakan oleh Syaidina Umar bin Khattab.
Namun terkadang penyesalan muncul dari benakku, aku sempat berpikir seandainya aku dahulu bisa menyempatkan waktuku sedikit saja untuk bertemu dengan guruku, mungkin aku dapat melihat wajahnya yang terakhir kalinya, dan mendengarkan nasihat darinya yang terakhir kalinya, namun apalah daya yang sudah biarlah terjadi, kini hanya bisa jadi kenangan, walaupun sedikit menyakitkan, dan kini aku hanya perlu sabar dan ikhlas menerima semua takdir dari Allah SWT.
Aku yakin takdir yang ditentukan Allah untuk guruku memanglah yang terbaik, guruku meninggal diwaktu yang bertepatan dengan malam Jum'at, yakni waktu yang dimuliakan dalam Islam, banyak sekali orang berharap mati pada waktu tersebut namun mereka tak kunjung mendapatkannya.
Walaupun aku tahu semua tentang kematian itu merupakan rahasia dari Allah, tapi aku meyakini bahwa guruku meninggal dengan keadaan mulia "husnulkhotimah", dan sekarang yang bisa kulakukan kepada guruku tak lain hanyalah mendoakannya.
Hingga pada akhirnya, setelah semua peristiwa yang telah aku alami, aku pun merenung sejenak, menyendiri disuatu tempat dan mengambil pelajaran dari semua yang telah terjadi, aku pun berkata kepada diriku sendiri "hargailah gurumu, cintailah gurumu dan patuhilah gurumu selagi dia masih ada, karena guru merupakan lentera yang mampu menerangi jalan mu dan menuntunmu ke jalan yang lurus, guru merupakan sumber dari ilmu.
Hilangnya ilmu bukanlah karena ilmu itu hilang dengan sendirinya, namun karena dari kematian para ulama, yang sudah terjadi biarlah terjadi karena itu merupakan kehendak Allah yang terbaik bagimu walaupun kamu harus meneteskan air matamu terlebih dahulu untuk menerimanya". Itulah yang aku katakan kepada diriku sendiri ketika aku sedang merenung memikirkan hal yang telah terjadi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H