Mohon tunggu...
Rizqiani Putri
Rizqiani Putri Mohon Tunggu... -

ada (bukan) berarti ada...

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Di Balik Rona Purnama

24 Maret 2012   13:46 Diperbarui: 25 Juni 2015   07:32 106
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Tak pernah begitu letih, tak pernah begitu sengsara.
Tercebur bersama embun, dan tercabik tanaman berduri.
Aku tak lagi mampu merangkak, tak lagi mampu pergi…

Mungkin memang benar. Ada begitu banyak hal yang kuingkari.
Ya… Aku tak sebahagia yang orang lihat, tak sehebat yang orang tahu, dan tak sebaik yang orang kenal. Aku… terlalu banyak
berpura-pura. Tak kubiarkan sesuatu mengalir begitu saja dari
dalam diriku. Tak pernah kuizinkan diriku tampil polos, apa adanya…

Sejak kecil, aku dididik untuk tersenyum. Merasakan sejuknya
hawa dini hari. Melihat embun yang bercengkerama dengan pagi. Menikmati hangatnya sinar mentari. Meresapi indahnya hari.
Mengantar sang surya kembali ke peraduan, lalu menyambut
petang bersama sang dewi malam. Kemudian menanti hari esok yang pasti kembali. Sejak dulu, hingga kini, dan seterusnya…

Namun apa lacur? Aku yang terlahir hanya untuk tersenyum,
menghibur setiap orang yang ada di sekelilingku, dan membantu mereka mengatasi segala tantangan hidup, ternyata harus menghadapi persoalanku seorang diri!

Kali ini, memori otakku berpendar. Memaknai setiap bagian-bagian penting yang pernah kulewati dalam hidupku. Mencari celah dimana aku bisa menarik nafas panjang, sekadar
menghilangkan penat yang teramat sangat. Membiarkan setiap kisah mengalir, mengitari setiap bagian neuron otakku…

Kedua orang tuaku, yang telah mengajarkan begitu banyak hal
baik padaku, ternyata belum mengajarkan sebanyak yang kukira. Mereka tak pernah memberitahuku bagaimana cara mengatasi diri sendiri ketika dihadapkan pada perceraian mereka. Maka ketika harus ada perpisahan dan harus memilih siapa dibandingkan siapa… aku hanya mampu tersenyum.

Andai mampu kulepas topeng ini, aku akan menangisi semua
peristiwa yang menyedihkan, atau marah jika terjadi hal yang
menjengkelkan. Tapi aku tak dididik untuk itu, ataupun
mencurahkan apa yang membebani pikiranku pada orang lain. Tidak, selain diriku!!

Atau, bisa jadi, aku memang purnama. Bersinar paling terang diantara bintang-bintang yang tampak kecil gemerlapan di
angkasa raya. Ronaku cuma hasil pantulan sinar mentari. Aku tak
akan pernah mampu menghasilkan ronaku sendiri.

Atau jangan-jangan mereka lupa, secantik apapun diriku, pasti ada saat dimana aku kehilangan kemampuanku untuk memantulkan sinar mentari poda belahan bumi lainnya. Aku, selalu berada dalam orbitku, untuk mengelilingi bumi. Menemaninya berputar berkeliling dalam orbitnya sendiri.

Kupejamkan mata sekali lagi. “Hei, apakah ada yang salah?!” dan akupun masih saja tersenyum…

Tak pernah begitu letih, tak pernah begitu sengsara.
Tercebur bersama embun, dan tercabik tanaman berduri.
Aku tak lagi mampu merangkak, tak lagi mampu pergi…
*Dibuat saat Pelatihan Penulisan Fiksi Populer Remaja, di Balai Bahasa Surabaya, Jln. Siwalan Panji, Buduran-Sidoarjo, tanggal 26-29 Juli 2004.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun