Harta menurut etimologi adalah sesuatu yang di butuhkan dan diperoleh manusia, baik berupa benda yang tampa seperti emas, perak binatang, tumbuh – tumbuhan maupun yang tidak tampak. Misalnya adalah kendaraan, pakaian dan tempt tinggal. Segala sesuatu yang di kuasai manusia tidak bisa di namakan harta menurut bahasa, seperti udara, ikan di dalam air, pohon di hutan, dan barang tambang lainnya yang ada di dalam bumi.
Definisi harta menurut para ulama di bagi menjadi dua, yaitu:
Menurut Ulama Hanafiyah
Harta adalah segala sesuatu yang dapat diambil, disimpan, serta dapat dimanfaatkan.
Menurut pendapat Junhur Ulama Fiqih selain Harafiyah
Harta adalah segala sesuatu yang bernilai dan mesti rusaknya dengan menguasainya.[1]
Secara etiologi kepemilikan seseorang terhadap materi akan berpengerti penguasaan terhadap benda. Sedangkan secara terminologis berarti spesialisasi seseorang terhadap suatu benda yang memungkinkan untuk melakukan tindakan suatu hukum atas benda yang memungkinkan untuk melakukan tindakan hukum atas benda tersebut sesuai dengan keinginanya, selama orang lain tidak terhalangi untuk melakukan tindakan hukum atas benda tersebut. Cara mengaplikasikan etika dan konsep kepemilikkan dan kekayaan pribadi dalam Islam bermuara pada pemahaman sang pemilik hakiki dan absolut yaitu Allah SWT.[2]
Sedangkan bersamaan dengan Al-Quran, Al-Quran sendiri merupakan sumber hukum utama dan pertama dalam Islam menyatakan bahwa Allah adalah pemilik sepenuhnya atas segala sesuatu yang ada di muka bumi ini. Namun rasa kepunyaannya ini tidak untuk diriNya namun untuk manusia secara kolektif. Sedangkan manusia dapat memiliki secara individu, setiap pribadi berhak memiliki, menikmati serta memindahtangankan kekayaan kepada keturunannya. Tetapi mereka mempunyai kewajiban moral menyedakahkan hartanya untuk yang orang lain yang lebih membutuhkannya dan yang berhak.
Ketentuan Al-Quran adalah sebagai berikut :
1. Pemanfaatan
2. Penuaian hak
3. Tidak merugikan orang lain
4. Kepemilikan secara sah, serta
5. Penggunaan berimbang[3]
Dalam hal ini dikemukakan fungsi harta yang sesuai dengan ketentuan syara, adalah sebagai berikut :
Kesempurnaan ibadah mahzhah, seperti shalat memerlukan kain untuk menutup aurat.
Memelihara dan meningkatkan keimanan dan ketaqwaan kepada Allah SWT. Sebagai kefakiran mendekat kepada kekufuran.
Meneruskan estafeta kehidupan, agar tidak meninggalkan generasi lemah (QS.An-Nisa 9)
Menyelaraskan antara kehidupan dunia dan diakhirat.[4]
Dalam Afzarul Rahman konsep kepemilikan harta itu diakuinya adalah sebagai hak individu untuk memiliki harta. Walaupun begitu ia memberikan batasan – batasan tertentu supaya kebebasan itu tidak merugikan kepentingan bersama, terutamanya adalah masyarakat umum. Berikut ini adalah batasan – batasan yang di berikan oleh Afzarul Ramhan :
Individu bebas untuk memperjuangkan ekonominya selama tidak melanggar atau merugikan hak – hak atas orang lain atau membahayakan kepentingan masyarakat umum lainnya.
Guna untuk mempertahankan kehidupannya, ia juga harus mengerjakan yang halal dan meninggalkan yang haram.[5]
[1] Wahbah Al-Juhailli, Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuh, juz IV,Damsyik, Dar Al-Fikr, 1989, hlm 140
[2] Jurnal Skripsi Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim Riau, PekanBaru
[3] Jurnal konsep kepemilikan dalam islam, M.Sularno
[4] Hendi Suhendi, Fiqih Muamalah, Bandung, Gunung Djati Press, 1997,hlm 28-30
[5] Jurnal Skripsi Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim Riau, PekanBaru
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H