Mohon tunggu...
Rizky Setyawan
Rizky Setyawan Mohon Tunggu... Mahasiswa - Pelajar/Mahasiswa

Saya memiliki Hobi bermain Voly.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Senar dan Suling dalam Membudayakan Budaya Seni Jathilan (Jantung Teater)

12 Juni 2024   20:59 Diperbarui: 12 Juni 2024   21:10 295
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Perempuan yang akrab disapa Adel, merupakan Kepala Bidang Seni Tari dari UKMF Fakultas Hukum Universitas Jember. Pertama, Ia menjelaskan sedikit tentang apa itu Jantung Teater. "Jadi Jantung Teater sendiri merupakan sebuah organisasi UKMF Kesenian yang memang ada di Fakultas Hukum Universitas Jember. Kita juga aktif dalam kegiatan kesenian dan kegiatannya disini ada empat bidang, tari, teater, seni rupa, sama juga ada media rekam kaya gitu".

Ia juga menjelaskan apa itu Kabid tari. "Jadi kalo Kabid tari sendiri itu memang dia tugasnya mengkoordinir sebuah kegiatan yang memang berhubungan dengan tari, seperti pelatihan tari dan juga ada job seperti itu kayak bener bener terkhusus di bidang tari. kalau aku sendiri kepengurusan itu terbentuk dari periode Januari".

Selanjutnya, Ia menyampaikan bagaimana antusiasme anggota jantung teater dari tahun ke tahun. "Kalo untuk terkhusus di bidang tari ini antusiasnya sangat antusias, dan kita juga memang mengikuti perkembangan zaman. Dimana kita juga ada Cover kaya dance, kita ga hanya dance juga, kita ada tari-tari tradisional dan kita mengikuti kaya job-job gitu ngisi-ngisi job sama mengikuti lomba-lomba. Kemarin kita sempet ngikutin lomba Pekan Seni Mahasiswa dan kita juga berhasil mendapatkan juara dua, begitu".

Berdasarkan hasil wawancara yang telah kami lakukan kepada Kabid Tari UKMF dapat disimpulkan bahwa:

Jantung Teater, khususnya bidang tari, memainkan peran yang sangat penting dalam mengembangkan dan mempromosikan seni di lingkungan akademik Fakultas Hukum Universitas Jember. Melalui struktur organisasi yang jelas dan berbagai aktivitas yang dilakukan, mereka mampu menciptakan ruang bagi kreativitas dan ekspresi artistik di kalangan mahasiswa.

Hasil Wawancara Salah Satu Dosen Ilmu Sejarah Fakultas Ilmu Budaya

Gambar 6.1dok. pri
Gambar 6.1dok. pri

Pak Suharto, merupakan salah satu dosen Ilmu Sejarah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember yang kami jadikan sebagai narasumber. Beliau kerap disapa Mak Ndon oleh rekan-rekannya. Pertama, Beliau menjelaskan mengenai Tari Jathilan sepengetahuan Beliau. "Banyak rancu ya, maksudnya kalo keterangan itu versinya banyak. Kalo di kesenian Reyog Ponorogo itu juga ada namanya penari Jathilan. Ini di gambarkan penari Jathilan selalu penari yang memakai atau naik kuda, baik itu nanti di Jaranan, di Ebek, di Jathilan itu sendiri, baik di Reyog Ponorogo penari Jathilan digambarkan adalah seorang Ksatria katakanlah sedemikian rupa yang menaiki seekor kuda. Jadi di tari Jathilan itu nanti ada gerakan kuda sebagai yang dinaiki dan ada juga gerakan tari yang karna memang bagian dari kesenian itu sendiri itu tari Jathilan. Tetapi kalo kita berkaitan dengan sejarahnya, cukup panjang. Tetapi kalo kita melihat catatan, Jathilan ini bagi teman-teman sudah ada di candi Surowono, yang ada di daerah kediri yang disitu ada gambar seolah-olah mencerminkan penari Jathilan. Jadi kalo menurut data yang ada, tari Jathilan pada dasarnya adalah ketika orang-orang Jawa memperingati para Ksatria Jawa yang naik kuda, sebagai bagian penting dari pasukan-pasukan raja-raja di Jawa. Contohnya ketika pasukan majapahit yang mengalahkan mongol, Ronggolawe dari Madura membawa kuda ke Jawa. Kenapa? Dia mengatakan alangkah tidak eloknya seorang pahlawan tanpa naik kuda, nah ini menunjukkan bahwa kuda memiliki posisi penting bagi masyarakat Jawa pada saat itu. Sehingga ketika seorang Ksatria naik kuda, itu bagi masyarakat Jawa akhirnya dimuliakan bahwa seakan-akan orang yang naik kuda tadi dijadikan tarian, yang akhirnya gambarannya ya kaya Jathilan itu. Bagaimana seorang Ksatria dengan atributnya pakai ikat kepala pakai atribut macem-macem sehingga orang sering mengatakan Babu Horse/kuda babu itu mencerminkan gambaran daripada kuda yang dinaiki itu, dan itu selalu digambarkan dalam kesenian baik itu Jathilan, Ebek, maupun Reyog itu adalah salah satu elemen pentingatau peraga penting didalam kesenian itu. Berarti kan itu satu-kesatuan berkaitan antara bayangan kita tentang masa lalu Ksatria naik kuda menandakan kekuatan atau kegagahan atau maskulinitas itu sudah tafsir, yang kedua kita melihat bagaimana orang jawa menciptakan karya itu untuk memperpanjang nilai-nilai estetik maupun etika daripada orang yang naik kuda itu. Dalam konteks sebagai Ksatria tadi, yang mana nanti kalo kita melihat di pentas apapun sering juga nanti di Jaranan sering terjadi kesurupan. Dan itu menandakan bahwa para penari Jathilan tadi memiliki nilai-nilai spiritual sebanding dengan kebanggan sebagai Ksatria ketika dia digambarkan sebagai Ksatria yang naik kuda seperti itu. Dan itu berkembang di Jawa, maksudnya di pulau Jawa ini dari timur sampai barat sana selama masih mengatakan dirinya Jawa biasanya ada seperti itu. Ya cuma ada ebekan itu yang kantongnya di daerah banyumas, Jathilan itu daerah Jogja dan sekitarnya, Jaranan itu kediri, Seterewe itu Tulungagung, khusu Ponorogo Madiun itu ada Reyog. Kemudian di Jember ini ada juga Jaranan-Jaranan dimana penampilannya juga ada yang naik kuda". 

Beliau juga menyampaikan pendapatnya terkait apakah tarian tradisional seperti Jathilan ini masih bertahan di gempuran era gblobalisasi dan modern saat ini, "Menurut pengamatan saya masih bertahan. Kalau rekan-rekan mau menonton Jaranan menonton Reyog kemudian menonton Ebek di Banyumas itu penontonnya masih melimpah ruwah dan yang memainkan dari anak-anak sampai orang tua. Berarti kan kalo anak-anak, orang tua semua ikut main berartikan regenerasinya masih berjalan. Dan demikian juga beberapa modifikasi kemudian kebanggan anak-anak muda di daerah kantong itu memakai atribut seni-seni tersebut, bahkan di upload di macem-macem berarti kan menandakan bahwa mereka masih punya kebanggaan dengan kesenian itu. Walaupun, kesannya ndeso. Ini yang perlu di garis bawahi, dan perlu diingat ini seni kita yang umurnya sudah beratus tahun. Bahkan seni ini setiap periode, setiap jaman, setiap pemerintahan sampai sekarang masih ada. Rekan-rekan bisa melihat foto-foto semasa jaman Hindia Belanda itu ada, banyak sekali. Dan kita juga punya foto-foto bahkan Elizabeth Gruinde menulis Jaranan kaya gitu, itu foto-foto yag sangat luar biasa. Dan sekarang rekan-rekan bisa membuka Youtube begitu banyaknya kegiatan ini, ya kalo saya bukan mengamati tarinya kaya apa, Jathilan, Jaranan itu kaya apa, tetapi bagi saya yang saya lihat adalah bagaimana tontonan ini ada nggak yang nonton. Menurut saya rekan-rekan bisa melihat bahwa di Youtube begitu banyaknya orang menonton Ebekan Banyumas, Reyog entah apalah namanya itu, logikanya apa? Berarti kan masih seneng, dan anak muda menari dengan senang hati berarti kan masih suka, nah kalo suka kemungkinan dengan gempuran katakanlah kita sekarang K-Pop ya, entah apa namanya begitu banyak budaya yang masuk ke kita, tapi saya yakin kalo budaya ini akan tetap bertahan. Karena apa, ada nilai kebanggaan bagi yang melaksanakan".

Selanjutnya, Beliau menyampaikan bagaimana perbedaan antara seni di perkotaan dan pedesaan. "Sebenarnya kalo untuk sekarang ini juga nggak apa ya mungkin hanya tempat pentas/beberapa karakter penting saja. Kalo di kota sekarang udah nggak ada Tobong, yaitu khusus kaya pementasan yang ada di desa itu, yang pake kelir, atau geber itu, entah itu Ludruk, Jaranan itu punya di desa-desa itu itu kalo di kota sudah tidak keliatan, itu secara penggung. Mungkin kota yang menyempit dalam lahan itu juga berpengaruh terhadap kemungkinan pentas-pentas seperti itu, satu. Kedua orang-orang kota yang relatif lebih sibuk mungkin kurang memiliki latihan untuk pementasan itu, sehingga orang yang senang hanya meminta, bahkan di kkota lebih banyak kesenian itu mereka nanggap/order dari desa dibawa ke kota seperti itu. Justru jarang kita melihat grup-grup yang suttle itu di kota, justru grup-grup Jaranan grup tradisional itu banyak yang kuat, grup ini mapan itu di pedesaan. Jadi kalo rekan-rekan mau mengamati banyak grup Reyog, Jaranan, Jathilan, Ebek ini memang bermarkas di desa. Mungkin karena satu, karena lahan, kedua juga karena waktu lebih longgar orang di pedesaan dan ketiga, mereka termasuk merasa menjadi bagian daripada agraris karena seni-seni agraris atau pedesaan tadi sedangkan seni kota ada kecenderungan seni untuk melepas ekspresi saja. Karena mungkin lelah,jenuh ya saya menyanyi atau teriak, atau saya menari pun bukan menari yang memiliki aturan sedemikian rupa, tapi sekedar joget katakanlah seperti itu. Yang mana yag penting saya gerak, makanya kalo rekan-rekan lihat di kota banyak sekali organisasi gerak, senam, gym, yoga, itu kan marak di kota. Di desa nggak ada, jarang. Kenapa? Karena di desa masih ada seni-seni tadi, organisasinya relatif berjalan padepokannya, paguyubannya, sedangkan di kota tidak ada. Sehingga gerak yang masih memakai Jathilan, Jaranan tadi, di kota sudah berubah geraknya melewati itu tadi di satu sisi dikatakan olahraga bukan, dikatakan seni juga nanggung, ini kan sebenernya gerakan-gerakan yang intinya untuk menyenangkan diri yang tidak jauh dari menari. Tetapi sudah tidak menari dalam konteks ini, mereka intinya bergerak tetapi disisi yang lain, bisa saja kita aktif di gym, aktif di yoga, aktif di senam, jangan-jangan kita hanya mengkonfersi kebiasaan kita dulu di desa menari. Begitu di kota kita menjadi seperti itu. Sehingga kita sulit mencari grup-grup kesenian yang mapan di kota, kecuali Band atau apa gitu".

Lebih lanjut, Beliau juga menyampaikan harapan kesenian Tari kedepannya menurutnya. "Ya kembali ke cita-cita Soekarno, Soekarno kan bercita-cita namanya Tri sakti, yang pertama berdaulat secara politik, bahwa politik yang kita aliri ya menentukan. Kedua, berdikari secara ekonomi. Yang ketika, berkepribadian secara kebudayaan. Ya berarti kalo kita masih menginginkan Indonesia berjaya, 3 kesaktian yang diharapkan oleh Soekarno ini harus kita pegang. Logikanya apa? Apapun berkaitan dengan kebudayaan milik kita ya harus kita lakukan dan lestarikan, nggak boleh eggak. Kami kira nggak cukup lah kita terlalu banyak pengamat, penonton, pengorder, tapi yang perlu kita garis bawahi, sudahkah kita pribadiini juga aktif di dalam kesenian. Ini sebenarnya nilai-nilainya, kita ngomong kaya apapun kan cuma omongan, tetapi kalo kita membawa mungkin gambaran kuda tadi sudah menunjukkan bahwa inilah kebanggan saya, itu yang saya maksud. Jadi mungkin bagi saya yang sudah tua pinginnya seperti itu, ya monggolah teman-teman muda, tetapi bagi saya bagaimana ketika pendiri kita ngomong Tri sakti. Ekonomi ya kita sudah lihat, politik ya sudah nah bagaimana dengan kepribadian kita sudah sesuai atau tidak. Itu harapan saya. Yang terakhir karena Jathilan ini Roh-nya tanah Jawa, kami mohon teman-teman yang mungkin masih merasa paling tidak etnis jawa ini ya harus di lestarikan, bagaimanapun juga itu adalah lambang kegagahan, kebudayaan, capaian karakter, prestasi dan dalam kebudayaan kita, Terima kasih".

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun