Rasa kesal kembali hadir dalam diri, tentang apa yang harus dijalani. Mengapa semua harus seperti ini? Mengapa tak ada pilihan lain yang lebih baik dari sekedar hidup di jalanan? Terkadang, air mata sering tertumpah dalam doa yang sering terpanjatkan diantara malam-malam yang dingin, dengan bintang-bintang yang selalu menjadi saksi bisu.
"Andai semua orang tahu bagaimana rasanya menjadi kita?" kata Mawar yang sedang melihat orang-orang tertawa disebuah taman kota diwaktu sore.
"Lalu?" tanya Indra.
"Mungkin, mereka bisa memakluminya," jawab Mawar.
"Tak semua manusia seperti yang kita bayangkan," jawab ku.
Ada rasa rindu yang hadir dalam diri. Rasa ingin kembali bersama dengan mereka yang telah menyakiti, mengkhianti dengan kata cinta yang selalu dilayangkan dalam ungkapan yang tak berarti sedikit pun. Hanya saja, saat ini aku sadar siapa aku, dan apa yang telah terjadi. aku bukanlah siapa-siapa dan bukan bagian dari mereka lagi.
Iringan lagu melayu dan mendayu terdengar begitu merdu, seakan engenal dan mengerti apa yang kami rasakan saat ini. Lagu tentang cinta yang tak pernah terbals, yang tak pernah peduli dengan kata kebenaran. Air mata kembali tertumpah atas rasa sakit yang selalu berdampingan dengan keinginan untuk mati.
Mawar selalu tersenyum, jika badai mulai menghampirinya dan akan menghantamnya. Dia percaya, masalah bukanlah hal besar yang harus dipikirkan secara mendalam, melainkan ditertawakan dan masalah itu akan pergi dengan sendirinya. Entah itu benar atau pun tidak, Mawar begitu menyakininya dengan sangat baik.
Terlebih lagi, ketika dia harus menyadari akan rasa cintanya kepada Zam, anak seorang pejabat negara yang setiap satu minggu sekali selalu ditemuinya. Entah, mimpi atau apakah yang sedang dialami oleh Mawar, ia hanya ingin selalu didekat Zam dan begitu pula sebaliknya.
"Kita memang berbeda,' kata Mawar kepadaku
"Perbedaan itu yang akan menyatukan kalian," kata ku yang masih mendekap erat Mawar.