"Sudahlah, untuk apa kau mendengar kata-kata mereka,"
"Tetapi...."
"Sudahlah, mereka tak tahu hidupmu biaran mereka bertingkah sesukanya, berbicara selagi mereka bisa," kata Mawar yang menatap ku tajam.
Dari Mawar pula, aku merasakan cinta yang tak pernah ku rasakan sebelumnya. Cinta yang tulus dari dalam hati, tak pernah berbohong, atau pun berkedok dibalik kata sayang yang selalu saja dihadirkan dalam menit-menit yang terasa memuakkan.
Ingin berteriak dan berlari, tetapi tak ada keberanian yang muncul dari dalam diri. Hanya bisa bersuara melalui media sosial yang berkhayal dengan kata-kata puitis. Terkadang, aku sering tertawa dengan komentar yang ku dapat saat rangkaian kata itu meuncur bebas ke dunia maya.
Hingga, sebuah keberanian yang entah darimana asalnya, membawa ku dalam sebuah kebimbangan. Kata-kata yang terlontar dari seorang perempuan dan lelaki yang seharusnya menjadi yang berarti bagi ku, menjadi bumerang dengan serangan konotasi-konotasi menyakitkan.
Tak hanya diriku, Mawar pun mempunyai cerita yang tak jauh berbeda. Terutama, Indra yang ku kenal setelah bertemu dengan Mawar dipersimpangan jalan, tempat ku dan Mawar menghabiskan sore yang indah, dengan pemandangan hiruk pikuk kota, dan sunset yang menakjubkan mata.
"Andai saja, permintaan mati itu diperbolehkan?" kata ku.
"Lalu? Apa kau ingin memintanya?" tanya Indra.
"Mungkin,"
"Hidup ini terlalu indah untuk hanya sekedar meminta mati kawan,"