Apa yang mereka lihat dari diri kami? Sehingga mata itu, terlihat seperti mata yang tak beradab. Mungkinkah, mereka berfikir jika kami ini adalah sampah masyarakat yang tak berbudi. Anak-anak tak bermasa depan yang hanya mampu memberi keributan tanpa guna sama sekali. Bahkan, jika boleh aku berfikir buruk, mungkin mereka akan memisahkan harapan dan cinta yang tulus dari dalam benak kami.
Mengapa semua ini harus terjadi? Andai boleh memilih takdir, kami pun tak ingin menjalani hari-hari seperti ini. Kami hanya bisa berpasrah diri, tanpa sedikit un mengendurkan kekuatan kami untuk berusaha merubah takdir yang sebenarnya bisa kami rubah. Hanya saja kesempatan itu tak pernah diberikan kepada kami, walau sekali saja.
Dunia memang penuh dengan tanda tanya besar. Tak ada yang tahu kecuali Tuhan. Terkadang, karena itulah, kami sering menyalahkan Tuhan atas apa yang terjadi pada diri kami. Tetapi, setelahnya kami tertawa terbahak-bahak, membodohkan apa yang menjadi pemikiran kami sebelumnya. Tuhan tak pernah salah dalam menulis takdirnya, hanya saja kita sendiri yang bodoh untuk mengartikannya.
Walau rasa ini teramat perih, tetapi tak ada bahagia yang bisa diraih sebelum merasakan duka yang terdalam. Aku meyakini semua itu. Aku pernah merasakannya dulu. Ketika cinta ini masih bersemayam dalam nurani, ketika hati ini masih berbentuk.
Ada rasa malu yang sebenarnya harus kami semua tanggung, tetapi mereka tak pernah tahu dan mau mengerti dengan rasa malu itu. Rasa malu yang sebenarnya tak sepadan dengan beban hidup yang selalu kami tanggung setiap saat. Rasa iri yang selalu hadir menghantui kami masing-masing dengan sendirinya membuat kami tak berdaya dihadapan cinta dan hati.
Bukankah cinta tak memandang kasta atau pun rupa. Sayangnya, semua itu hanyalah teori yang tak pernah benar-benar nyata. Seperti cerita dongeng yang selalu diceritakan oleh seorang ibu sebelum tidur sewaktu kecil. Sampai saat ini pun masih teringat dalam benak akan semua kenangan itu.
Dingin menyerang kami, seperti halnya malam yang biasa kami lewati, bersama dengan hujan yang tak pernah berhenti, sejak tadi sore. Kami hanya bisa memandang, saling berpeluk satu sama lain, menjadikan diri ini menjadi hangat.
"Aku rindu pelukan ini?' kata Mawar yang mendekap erat tubuhku.
"Peluklah tubuhku lebih erat lagi, jika kau memang menginginkannya!" kataku.
Mawar adalah perempuan pertama yang ku kenal setelah aku memutuskan untuk meninggalkan semuanya. Dia yang mengajarkanku untuk selalu bertahan dalam kerasnya kehidupan jalanan yang tak pernah terjadi selama hidupku. Termasuk, bagaimana cara untuk tetap bertahan hidup dari preman-preman yang sering kali membuat ulah.
Dari Mawar pula, aku belajar bahwa hidup ini adalah sebuah perjuangan yang tak pernah berakhir, walau bahagia sudah diraih. Mawar yang selalu setia disampingku, saat aku merasa dunia ini akan menghujam dengan berbagai macam cemoohan yang datang silih berganti tanpa berhenti.