Masih hangat di telinga kita, tragedi kemanusiaan yang mengakibatkan kurang lebih 135 orang meninggal dunia yang terjadi di bulan Oktober 2022 lalu. Tragedi ini dikenal dengan Tragedi Kanjuruhan Malang. Tragedi ini tidak hanya mengguncang dunia olahraga, melainkan dari berbagai kalangan turut serta berduka cita atas kejadian yang terjadi. Berbagai upaya hukum telah dilakukan oleh korban-korban yang dirugikan atas kejadian tersebut. Pada tanggal 16 Januari 2023, sidang perdana terhadap Terdakwa tragedi Kanjuruhan Malang mulai digelar. Hal ini sebagai penanda bahwa upaya hukum yang dilakukan oleh korban mulai mendapatkan titik terang. Namun, ada hal yang menarik dari sidang tersebut yakni pengalihan sidang ke Pengadilan Negeri Surabaya menyusul Keputusan Mahkamah Agung Nomor 355/KMA/SK/XII/2022. Padahal tempat terjadinya tragedi tersebut berada di wilayah hukum Kabupaten Malang.[1]
Â
Berkaitan dengan pengalihan persidangan tragedi Kanjuruhan Malang ke Pengadilan Negeri Surabaya, menurut Kepala Kejaksaan Tinggi Mia Amati menjelaskan terkait pengalihan persidangan tersebut berdasarkan permintaan Forum Pimpinan Daerah Malang, mempertimbangkan faktor traumatik korban, termasuk Aremania serta untuk menjamin tekanan-tekanan publik kepada majelis hakim, kami meminimalisir hal-hal itu, supaya proses pengadilan bisa berjalan fair.[2] Hal ini berkaitan dengan pengawalan keamanan saat sidang berlangsung, sebab jauh sebelum waktu persidangan dimulai, keluarga korban dan Aremania sering melakukan konvoi dan penyampaian pendapat di muka umum untuk terus mengawal proses hukum terhadap kasus tragedi Kanjuruhan.[3]
Â
Pada dasarnya pengadilan yang berwenang untuk memeriksa, mengadili dan memutus perkara telah diatur dalam Pasal 137 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang berbunyi:
Â
Penuntut umum berwenang melakukan penuntutan terhadap siapapun yang didakwa melakukan suatu tindak pidana dalam daerah hukumnya dengan melimpahkan perkara ke pengadilan yang berwenang mengadili.
Â
Dapat diketahui bahwa Penuntut Umum sebelum melimpahkan perkara pidana ke pengadilan harus mengetahui apakah pengadilan memiliki kuasa mengadili atas perkara tersebut, untuk menjaga kemungkinan hakim menolak memeriksa perkara karena tidak kuasa mengadili perkara itu (kompetensi absolut). Hal ini juga didukung dengan kewenangan Pengadilan Negeri untuk mengadili setiap perkara pidana yang dilakukan dalam daerah hukumnya (locus delicti) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 84 Ayat (1) KUHAP. Apabila Pengadilan Negeri tidak dapat melangsungkan persidangan tersebut, Pasal 85 KUHAP memberikan aturan untuk mengalihkan persidangan tersebut, yang menyatakan bahwa:
Â
Dalam hal keadaan daerah tidak mengizinkan suatu pengadilan negeri untuk mengadili suatu perkara, maka atas usul ketua pengadilan negeri atau kepala` kejaksaan negeri yang bersangkutan, Mahkamah Agung mengusulkan kepada Menteri Kehakiman untuk menetapkan atau menunjuk pengadilan negeri lain daripada yang tersebut pada Pasal 84 untuk mengadili perkara yang dimaksud.