Indonesia diketahui mengalami kekalahan dari gugatan Uni Eropa di Badan Penyelesaian Sengketa atau Dispute Settlement Body (DSB) World Trade Organization (WTO) atas kebijakan larangan ekspor bijih nikel. Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif mengungkap bahwa hasil keputusan final panel WTO perkara larangan ekspor nikel dinyatakan terbukti melanggar ketentuan WTO. Hasil final panel report dari WTO yang dikeluarkan pada tanggal 17 Oktober 2022 menunjukkan bahwa Indonesia telah melanggar PasalXI.1 Pasal XI.2 (a) XX (d) General Agreement on Tariffs and Trade 1994. Meskipun Indonesia mengalami kekalahan, pemerintah tetap berusaha untuk mengatasi permasalahan ini dengan mengajukan banding kepada WTO atas putusan final tersebut.
Â
Sebagaimana diketahui bahwa nikel adalah unsur senyawa kimia metalik yang memiliki sifat tahan karat. Dalam keadaan murni, nikel bersifat lembek, tetapi jika dipadukan dengan besi, krom dan logam lainnya dapat membentuk baja tahan karat yang keras. Berkaitan dengan larangan Indonesia untuk mengekspor biji nikel merupakan salah satu hal yang akan memberikan dampak terhadap perekonomian Indonesia. Pasalnya, Indonesia merupakan produsen dan pemilik cadangan bijih nikel terbesar di dunia, sehingga memiliiki peran penting dalam perdagangan nikel. Dapat dilihat dari data Kementerian ESDM bahwa Indonesia dapat memproduksi 1 juta metrik ton nikel, atau 37 persen dari total produksi nikel dunia yang berkisar di angka 2,7 juta metrik ton.
Â
Sementara itu, Indonesia diketahui telah meratifikasi persetujuan pembentukan organisasi perdagangan dunia yang dimuat dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1994 Tentang Pengesahan Agreement Establishing The World Trade Organization (Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia) (UU WTO). Tujuan Indonesia meratifikasi perjanjian pembentukan organisasi perdagangan dunia bertujuan untuk terus meningkatkan, memperluas, memantapkan dan mengamankan pasar bagi segala produk baik barang maupun jasa, termasuk aspek investasi dan hak atas kekayaan intelektual yang berkaitan dengan perdagangan, serta meningkatkan kemampuan daya saing terutama dalam perdagangan internasional.
Â
WTO merupakan salah satu organisasi dunia yang mengatur transaksi bisnis perdagangan antarnegara. Organisasi ini dibentuk pada tahun 1995 dan merupakan kelanjutan dari General Agreement on Tariffs and Trade (GATT) yang dibentuk setelah Perang Dunia II. WTO dapat dipandang sebagai organisasi internasional yang paling penting bila dibandingkan dengan organisasi internasional lainnya karena mempunyai misi yang sangat jelas dan tindakan serta aturan yang dikeluarkannya berlaku sama untuk semua anggotanya. Fungsi utama dari organisasi perdagangan dunia ini adalah untuk memastikan bahwa perdagangan antarnegara anggota dapat dilakukan dengan lacar, dapat dipercaya, dan sebebas mungkin. Dengan demikian kesejahteraan yang dicita-citakan dapat tercapai dengan baik.
Â
Meskipun perdagangan dunia dapat dilakukan dengan lancar, dapat dipercaya dan sebebas mungkin, namun pada pelaksanaannya terdapat beberapa ketentuan yang mengatur jalannya perdagangan dunia. Salah satu ketentuan yang membatasi dan mengatur jalannya perdagangan dunia tersebut adalah General Agreement On Tariffs And Trade 1994 (GATT 1994). Berkaitan dengan putusan final panel WTO, Indonesia telah melanggar ketentuan Pasal XI.1 GATT 1994 dan tidak dapat dijustifikasi dengan Pasal XI.2 (a) XX (d) GATT 1994. Adapun bunyi ketentuan Pasal XI.1 GATT 1994 menyatakan bahwa:
Â
No prohibitions or restrictions other than duties, taxes or other charges, whether made effective through quotas, import or export licences or other measures, shall be instituted or maintained by any contracting party on the importation of any product of the territory of any other contracting party or on the exportation or sale for export of any product destined for the territory of any other contracting party.
Â
Ketentuan ini mengatur mengenai larangan pembatasan ekspor dan impor. Aturan tersebut merupakan bagian yang terdapat dalam aturan WTO yang menyatakan larangan umum atas hambatan kuantitatif. Hambatan kuantitatif adalah hambatan yang membatasi jumlah (kuantitatif) atas sebuah barang yang akan diimpor atau diekspor. Permasalahan Indonesia dengan Uni Eropa bermula pada kebijakan Joko Widodo melakukan pemberhentian ekspor nikelnya ke negara lain yang berlaku pada tanggal 1 Januari 2020 lalu berdasarkan Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 11 Tahun 2019 Tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Menteri Energi Dan Sumber Daya Mineral Nomor 25 Tahun 2018 Tentang Pengusahaan Pertambangan Mineral Dan Batubara (Permen ESDM 11/2019).
Â
Jenis nikel yang diterapkan pemberhentian ekspor tersebut adalah jenis nikel mentah yang berkadar rendah dengan nilai 1,7%. Alasan diberhentikannya ekspor nikel tersebut dikarenakan Indonesia ingin mengolah nikel berkadar rendah tersebut dalam negerinya sendiri sehingga dalam hal ini dapat meningkatkan nilai tambah produk yang jauh lebih menguntungkan dari sisi perekonomian nasional, ditambah dengan membangun hilirisasi industri nikel dalam negeri. Selain itu cadangan nikel Indonesia setiap tahunnya akan terus berkurang. Karena nikel termasuk sumber daya mineral yang tidak dapat diperbaharui. Maka dari itu perlu diterapkannya strategi kebijakan yang dapat mengatisipasi jumlah stok nikel yang terbatas tersebut agar dapat menguntungkan Indonesia dalam beberapa jangka waktu ke depan.
Â
Oleh karena itu alasan negara Indonesia menetapkan kebijakan tersebut menimbulkan reaksi dari negara Uni Eropa sebagai salah satu pihak pengimpor nikel. Karena di negara Uni Eropa, nikel berkadar rendah diibaratkan sebagai the mother of industry, sehingga nikel bagi negara tersebut sangat berarti. Dimana Uni Eropa dapat memanfaatkan nikel berkadar rendah dari Indonesia tersebut untuk menghasilkan berbagai industri produk yang bernilai jual tinggi. Atas dasar penilaian tersebut maka Uni Eropa pun melaporkan kebijakan Indonesia ke rezim perdagangan bebas WTO. Menurut Uni Eropa kebijakan Indonesia merugikan kepentingan nasionalnya. Dalam tubuh WTO sendiri terdapat badan khusus yang mengatur permasalahan antar negara ini. Badan tersebut di dalam rezim WTO dinamakan dengan Badan Penyelesaian Sengketa atau Dispute Settlement Body (DSB). DSB WTO memperoleh mandat dari anggota, khususnya dari negara pemohon untuk melakukan pemeriksaan atas keberatan atau gugatan dari negara yang merasa hak-haknya dilanggar oleh negara anggota lainnya berdasarkan ketentuan aturan WTO.
Â
Sementara itu berkaitan dengan ketentuan Pasal XI.2 (a) GATT 1994 yang terdapat dalam putusan final panel DSB WTO yang menyatakan bahwa
Â
- Export prohibitions or restrictions temporarily applied to prevent or relieve critical shortages of foodstuffs or other products essential to the exporting contracting party;
Â
Artinya, dalam ketentuan ini Pengekspor dapat membatasi kegiatan ekspor yang bertujuan untuk mencegah atau mengurangi kekurangan bahan makanan atau produk lain. Namun, dalam putusan final panel DSB WTO ketentuan ini tidak dapat menjustifikasi pembatasan ekspor nikel yang dilakukan oleh Pemerintah Indonesia. Selain itu terdapat ketentuan Pasal XX (d) GATT 1994 yang menurut DSB WTO tidak dapat menjustifikasi pembatasan nikel tersebut berbunyi sebagai berikut:
Â
- necessary to secure compliance with laws or regulations which are not inconsistent with the provisions of this Agreement, including those relating to customs enforcement, the enforcement of monopolies operated under paragraph 4 of Article II and Article XVII, the protection of patents, trademarks and copyrights, and the prevention of deceptive practices;
Â
Dengan adanya putusan final panel DSB WTO yang menyatakan bahwa pembatasan nikel tersebut melanggar ketentuan dalam GATT 1994, diperlukan suatu aturan nasional yang sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam GATT 1994.[7] Berkaitan dengan putusan final panel tersebut, menurut Menteri ESDM Indonesia akan mengajukan banding terhadap putusan DSB WTO terkait pembatasan ekspor nikel. Di lain sisi, perlu diketahui bahwa sebagai penganut sistem ekonomi terbuka, Indonesia memiliki kepentingan terhadap pasar dan interkoneksi ekonomi global. Kepentingan kerja sama multilateral perlu dipertahankan tanpa mengabaikan kepentingan dalam negeri.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H