PENCULIKAN ANAK: DELIK HUKUM DAN PENCEGAHANNYA
Â
Penculikan (Menschenroof) adalah salah satu bentuk kejahatan yang diatur dalam peraturan di Indonesia. Penculikan adalah kejahatan yang meresahkan masyarakat, terlebih jika korban penculikan adalah anak. Menurut UU Perlindungan anak, anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. Menurut data Komisi Nasional Perlindungan Anak (KOMNAS PA) mencatat bahwa pada tahun 2017 jumlah kasus penculikan dan kehilangan anak adalah 196 kasus. Beberapa hari ini, masyarkat kembali dirisaukan karena kejadian penculikan anak di Bekasi yang mana pelakunya adalah seorang ibu (pengemis) namun pelaku tersebut telah ditangkap dan bayi yang diculik telah bertemu orangtuanya kembali. Menurut hemat Penulis, 2 (dua) alasan utamq seseorang melakukan penculikan adalah karena alasan ekonomi dan alasan seksual. Pelaku menculik lalu meminta sejumlah uang tebusan kepada keluarga korban setelahnya pelaku akan membebaskan korban ataupun pelaku ingin memperkerjakan korban secara tidak manusiawi. Alasan kedua, Pelaku menculik korban yang biasanya wanita dikarenakan alasan seksual, pelaku ingin memperkosa korban. Korban penculikan yang diperkosa tentu akan mengalami trauma dua kali lipat oleh karenanya diperlukan pendampingan khusus oleh psikolog agar korban pulih dan tidak malu untuk bergaul di masyarakat.
Modus yang dilakukan pun beragam, misalnya anak dirayu dengan makanan kesukaanya, dirayu melalui internet, situs pertemanan online, diajak bermain atau yang lebih tidak manusiawi, misalnya calon korban yang biasanya wanita disekap menggunakan kain yang telah dilumuri zat kimia sehingga ia pingsan.
Â
Delik Penculikan
Delik penculikan diatur secara umum (lex generalis) dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). Delik penculikan tersebut diatur dengan tegas dalam Pasal 328 KUHP jo. Pasal 330 ayat (1), ayat (2) KUHP jo. Â Pasal 331 KUHP jis. Pasal 332 KUHP. Dalam tulisan ini, Penulis akan paparkan perbedaan dari ketiga Pasal tersebut. Delik dalam Pasal 328 KUHP melarang orang untuk membawa pergi seseorang dari tempat kediamannya atau tempat tinggalnya dengan maksud untuk menempatkan orang itu secara melawan hukum di bawah kekuasaanya atau kekuasaan orang lain, atau untuk menempatkan di dalam keadaan sengsara di ancam dengan pidana penculikan dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun. Delik dalam Pasal 328 KUHP melarang tegas seseorang untuk melakukan penculikan dan 'menguasai' orang yang diculik untuk disengsarakan. Pasal 330 ayat (1) KUHP mengatur tentang penculikan terhadap orang dibawah umur (anak) dan diancam dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun sedangkan Pasal 330 ayat (2) KUHP jika penculikan dilakukan dengan tipu muslihat, kekerasan atau ancaman kekerasan maka dianam dengan pidana penjara paling lama 9 (sembilan) tahun. Pasal 331 KUHP mengatur tentang larangan untuk menyembunyikan orang yang belum dewasa secara sengaja sedangkan delik dalam Pasal 332 ayat (1) angka 1 mengatur tentang larangan orang untuk melarikan wanita yang belum dewasa, tanpa dikehendaki orang tuanya atau walinya tetapi dengan persetujuannya. dengan maksud untuk memastikan penguasaan terhadap wanita itu, baik di dalam maupun di luar perkawinan maka diancam dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun, sedangkan Pasal 332 ayat (2) KUHP jika, membawa pergi seseorang wanita dengan tipu muslihat, kekerasan atau ancaman kekerasan, dengan maksud untuk memastikan penguasaannya terhadap wanita itu, baik di dalam maupun di luar perkawinan maka diancam pidana penjara paling lama 9 (sembilan) tahun. Berdasarkan rumusan delik tersebut dapat disimpulkan bahwasanya tujuan penculikan adalah untuk menyetubuhi wanita secara melawan hukum.
Menurut ahli hukum pidana, R. Soesilo (1996), penghukuman bagi pelaku harus berdasar dan dapat dibuktikan bahwa pada waktu melarikan orang tersebut pelaku memiliki maksud akan membawa orang itu denga melawan hak dibawah kekuasaanya sendiri atau kekuasaan orang lain. Sedangkan tipu daya dapat diartikan sebagai akal cerdik untuk memasukan perangkap orang yang ditipu atau akan diculik tersebut.
     Perlindungan anak diatur secara khusus (lex specalis) dalam UU No. 23 Tahun 2002 jo. UU No. 35 Tahun 2014 (UU PA). Delik dalam UU PA diatur secara tegas dalam Pasal 76F yang demikian "Setiap Orang dilarang menempatkan, membiarkan, melakukan, menyuruh melakukan, atau turut serta melakukan penculikan, penjualan, dan/atau perdagangan Anak." Jika melanggar Pasal 76F maka akan diancam penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling sedikit Rp60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).
     Menurut hemat Penulis, UU PA telah dengan tegas mengatur dan memberikan perlindungan bagi anak korban penculikan. Selain pelaku dapat dihukum menggunakan UU PA, Penulis berharap agar pelaku penculikan anak dapat dihukum diatas 5 (lima) tahun agar pelaku jera. UU PA mengamanatkan bahwa korban penculikan anak diberikan perlindungan khusus berupa: a. penanganan yang cepat, termasuk pengobatan dan/atau rehabilitasi secara fisik, psikis, dan sosial, serta pencegahan penyakit dan gangguan kesehatan lainnya; b. pendampingan psikososial pada saat pengobatan sampai pemulihan; c. pemberian bantuan sosial bagi Anak yang berasal dari Keluarga tidak mampu; dan d. pemberian perlindungan dan pendampingan pada setiap proses peradilan.  Bentuk perlindungan khusus tersebut adalah bentuk kehadiran nyata Negara terhada warga negaranya yang menjadi korban kejahatan terkhusus anak-anak. Anak korban penculikan wajib dipulihkan dengan segera, pendampingan khusus agar anak tidak trauma dengan orang asing sehingga menggangu tumbuh kembangnya.
Upaya Pencegahan