Mohon tunggu...
Rizky Karo Karo
Rizky Karo Karo Mohon Tunggu... Dosen - Profil Singkat

Saya seorang pembelajar. Seorang Muda di Fakultas Hukum di Yogyakarta, enerjik, kalem namun easygoing, sedang belajar untuk menjadi advokat yang dapat membela orang miskin, dan menjunjung tinggi nilai-nilai kebenaran/keadilan.

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Alasan Hakim di Indonesia Tidak Wajib Mengikuti Putusan Hakim Terdahulu

4 Desember 2018   21:05 Diperbarui: 4 Desember 2018   21:14 2615
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Kemandirian secara lembaga. Kelembagaan kekuasaan kehakiman tidak subordinat dari lembaga negara tertentu sedangkan yang digunakan adalah pemisahan kekuasaan;

Kemandirian secara individual hakim. Hakim memiliki otoritas penuh dalam memutuskan suatu perkara, termasuk menemukan, menerapkan hukum. Hakim harus diberi kemerdekaan dalam mengambil putusan yang terbaik dan sesuai dengan rasa keadilan masyarakat;

Kemandirian dalam proses peradilan. Proses peradilan harus steril dari segala intervensi eksternal (Manan, 2005: 25-26).

Penulis sependapat dengan Bagir Manan, hakim dalam menjatuhkan putusan tidak boleh diintervensi oleh lembaga apapun. Hakim adalah wakil Tuhan, hakim wajib menggali untuk  memberikan putusannya yang bersifat mulia dan wajib berisikan keadilan, kepastian hukum, dan kemanfaatan

Menurut Yahya Harahap sebagaimana dikutip oleh H.P. Panggabean, 3 (tiga) fungsi yurisprudensi adalah (1). Menciptakan standar hukum atau to settle law standard jurisprudence; (2). Membina terwujudnya unified legal framework, landasan hukum yang sama serta unifiedlegal opinion (keseragaman hukum); (3). Menegakan kepastian hukum & mencegah putusan bersifat disparatis (Panggabean, 2015:260).

Menurut hemat penulis, keseragaman hukum tidak bersifat mutlak mengingat bahwanya setiap sengketa perkara pidana korporasi tentu berbeda. Namun, putusan hakim terdahulu dapat dijadikan acuan/pedoman.

Menurut R.Soeroso, terdapat 3 (tiga) alasan yakni: (1). Pertimbangan Psikologis. Bahwa karena keputusan hakim memiliki kekuatan/kekuasaan hukum, terutama Keputusan Pengadilan Tinggi dan Mahkamah Agung, maka hakim bawahan segan untuk tidak mengikuti putusan tersebut; (2). Pertimbangan Praktis. Bahwa karena dalam kasus yang sama sudah pernah dijatuhkan putusan oleh hakim terdahulu -- terlebih jika putusan tersebut sudah dibenarkan/diperkuat oleh Pengadilan Tinggi dan MA, maka akan lebih praktis jika hakim berikutnya memberikan putusan yang sama. (3). Pendapat yang sama. Bahwa dikarenakan hakim yang bersangkutan sependapat dengan keputusan hakim lain yang lebih dahulu -- terutama jika isi dan tujuan undang-undang sudah tidak sesuai lagi dengan keadaan sosial yang nyata pada waktu demikian -- maka sudah wajar jika keputusan hakim lain dipergunakan (Soeroso, 2006: 161-162).

Menurut hemat penulis, bahwasanya Indonesia adalah negara yang menganut civil law oleh karenanya, hakim tidak wajib mengikuti putusan hakim terdahulu. Penulis tidak sependapat dengan R.Soeroso, bahwasanya keputusan hakim dipengaruhi oleh tingkat jabatan dan hierarki pengadilan. Hakim memiliki kemandirian dalam menjatuhkan putusan. Jikalau para pihak menganggap putusan hakim tersebut tidak sesuai dengan putusan sebelumnya maka para pihak dapat mengajukan upaya hukum.

Menurut H.P. Panggabean, pada setiap yurisprudensi terdapat 3 (tiga) klasifikasi nilai (value) yakni: (1). Klasifikasi konstitutif. Yurisprudensi dalam klasifikasi konstitutif mencakup sengketa yang berkaitan dengan penegakan hukum yang bersifat nasional/global seperti hukum Hak Asasi Manusia (HAM), hukum lingkungan; (2). Klasifikasi konstruktif. Jika pada rumusan tersebut memuat unsur kepastian hukum, kemanfaatan dan keadilan secara proporsional; (3). Klasifikasi sosiatif atau efektif. Berdasarkan parameter rasional, praktis dan akutal maka dapat diaplikasikan ketertiban dalam menegakan kepastian hukum dalam pergaulan masyarakat (Soeroso, 2006: 260-261).

Menurut hemat penulis, yurisprudensi ini sangat penting di Indonesia karena dapat menjadi sumber hukum atau pedoman bagi hakim lainnya untuk memberikan putusan.

Daftar Pustaka:

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun