A. Hakim, Yurisprudensi & Putusan Hakim
Berdasarkan Pasal 1 Angka 8 Undang-Undang No.8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), hakim adalah pejabat peradilan negara yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk mengadili. Definisi mengadili adalah tindakan hakim untuk menerima, memeriksa, dan memutus perkara pidana berdasarkan asas bebas, jujur, dan tidak memihak di sidang pengadilan dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini (Pasal 1 Angka 9 KUHAP ).
Menurut Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (selanjutnya disebut UU 48/2009), definisi hakim adalah hakim pada Mahkamah Agung dan hakim pada badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan hakim pada pengadilan khusus yang berada dalam lingkungan peradilan tersebut (Pasal 1 Angka 5 UU 48/2009).
Kewajiban hakim menurut UU 48/2009 adalah
- Hakim wajib menjaga kemandirian peradilan dalam menjalankan tugas dan fungsinya (Pasal 3 ayat (1) UU 48/2009).;
- Hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat (Pasal 5 ayat (1) UU 48/2009);
- Hakim dan hakim konstitusi harus memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela, jujur, adil, profesional, dan berpengalaman di bidang hukum Pasal 5 ayat (2) UU 48/2009);
- Pengadilan dilarang menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya (Pasal 10 ayat (1) UU 48/2009).
Putusan pengadilan adalah pernyataan hakim yang diucapkan dalam sidang pengadilan terbuka, yang dapat berupa pemidanaan atau bebas atau lepas dan segala tuntutan hukum dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini (Pasal 1 Angka 11 KUHAP ).
Yurisprudensi di Indonesia memiliki nilai historis, misalnya pada Pasal 22 AB (Algemene Bepalingen Van Wetgeving voor Indonesie)Â yang menyatakan bahwa "bilamana seorang hakim menolak menyelesaikan suatu perkara yang diajukan kepadanya dengan alasan peraturan perundang-undangan yang bersangkutan tidak menyebut, tidak jelas atau tidak lengkap, maka ia dapat dituntut karena penolakan mengadili (Soeroso, 2006:164).
Definsi yurisprudensi menurut Utrecht sebagaimana dikutip oleh R.Soeroso adalah  jika keputusan hakim yang memuat peraturan sendiri, kemudian dijadikan pedoman oleh hakim lain, maka keputusan hakim pertama menjadi sumber hukum bagi peradilan.
B. Hakim Tidak Wajib Mengikuti Putusan Terdahulu
Yurisprudensi menurut Purnadi Purbacaraka sebagaimana dikutip oleh R.Soeroso, istilah yurisprudensi berasal dari kata yurisprudentia (Bahasa Latin) yang berarti pengetahuan hukum (rechtsgeleerdheid), dan dalam Bahasa Inggris dikenal dengan nama Judge Made Law (Soeroso,2006:159). Menurut R. Soeroso, yurisprudensi adalah keputusan hakim yang selalu dijadikan pedoman hakim lain dalam memutuskan kasus-kasus yang sama (Soeroso, 2006:160).
Putusan pengadilan selain harus memuat alasan dan dasar putusan, juga memuat pasal tertentu dari peraturan perundang-undangan yang bersangkutan atau sumber hukum tak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili (Pasal 50 ayat (1) UU 48/2009).
Menurut Bagir Manan, konsep kemandirian dari kekuasaan kehakiman yakni: