Mohon tunggu...
Rizky Hadi
Rizky Hadi Mohon Tunggu... Lainnya - Anak manusia yang biasa saja.

Selalu senang menulis cerita.

Selanjutnya

Tutup

Trip Pilihan

#3 Gunung Kelud: Nasi yang Kehilangan Esensi

4 Maret 2022   07:00 Diperbarui: 5 Maret 2022   07:18 375
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hidup bergerak bagai roller coaster. Selama mungkin kita berada di atas hanya tinggal menunggu waktu untuk turun ke bawah. Semengerikan kondisi di bawah perlahan akan mencapai puncak dengan syarat kita yakin dan percaya.

***

Hal yang kami harapkan ternyata tak terealisasikan. Pagi hari kabut masih cukup tebal. Bahkan mendung pun masih terpantau. Kami tidak mendapatkan bonus pemandangan. Seperti tembok. Padahal beberapa menit yang lalu, cahaya matahari mulai menyingsing. Namun segera kabut menutupinya. Tak apa. Mungkin lain waktu.

Agung yang pertama kali membangunkan kami. Nampaknya dia sedang menunggu fajar yang malah tertutup kabut tebal. Kami bergegas menyiapkan sarapan. Karena Rosyad -- sang juru masak masih tisur. Kami bertiga sok-sokan menjadi koki dadakan.

Yang pertama Ahmad mencoba memasak nasi. Percaya diri sekali dia bisa memasak nasi dengan sempurna. Lha wong di rumah saja enggak pernah memasak. Pengalaman memasaknya hanya ketika dia di pesantren. Itu pun menanak nasi menggunakan magic com. Paling mentoknya selain memasak nasi, ya hanya masak air.

Saya sudah berprasangka buruk terhadap Ahmad. Tidak ada track record bagus baginya dalam dunia permasakan. Dia mulai dengan mencuci beras. Clean. Kemudian memasukkan beras tersebut ke dalam panci dan ditambahkan air secukupnya.

Setelah itu dia tersenyum puas. Yakin kalau nasinya akan matang dengan sempurna. Tapi saya masih dalam pendirian. Dia tidak bisa masak. Semakin lama saya mencium bau aneh. Bukan bau badan kami bertiga. Melainkan nasinya ngintip. Gosong. Ahmad nyengir. Dia menyiasati dengan mengaduk nasi tersebut dengan harapan menghilangkan kerak nasi.

Dia menutup panci. Dia tersenyum. Dia pikir dengan menutup panci bakal merubah struktur nasi menjadi normal kembali. Kalau dia Deddy Corbuzier baru saya percaya. Yakin sekali dia kalau masalah pergosongan nasi akan terselesaikan. Saya masih dalam pendirian. Dia tidak bisa memasak. Lha wong masalahnya saja banyak, ini pula menambah masalah pernasian. Kan mblegedhes.

Tak berselang lama, dia kembali membuka tutup panci dengan harapan nasinya matang dengan sempurna. Harapan tersebut langsung sirna sejauh-jauhnya karena nasinya malah menjadi cokelat. Boom. Saya dan Agung tertawa ngekek. Ahmad lagi-lagi hanya nyengir. Kepercayaan dirinya terhadap masak-memasak hilang.

Esensi dari nasi lenyap. Nasi yang putih, punel, dan enak kini tak ada lagi. Yang ada hanya nasi yang cokelat, hambar, dan membuat tawa lepas. Di situ, saya dan Agung tak berhenti tertawa. Rasa ingin maido sangat besar. Mana ada orang yang masak nasi jadinya malah berwarna cokelat. Kalau ibunya tahu bisa-bisa dihina tuh. Kalau perlu diasingkan dari rumah. Malu-maluin saja. Hehehe ...

Sebagai penutup rasa malu, dia makan nasi cokelat tersebut. Otaknya yang kreatif bekerja saat itu. Dia menambahkan penyedap rasa di nasinya. Seakan-akan penyedap rasa bisa membuat nasi gosong menjadi enak. Mulailah dia makan. Pelan sekali makannya seperti sinden. Padahal dia biasanya kalau makan itu sangat cepat. Tanboy Kun mungkin kalah karena saking cepatnya.

"Coba rasain! Enak puoolll," kata Ahmad.

Saya langsung menggeleng keras. Saya tak pernah yakin padanya. Apalagi ini menyangkut soal perperutan. Saya tak ingin merusak nafsu makan di pagi yang teduh ini hanya gara-gara nasi gosong bikinan Ahmad.

Agung yang akhirnya mencicipi nasinya. Dia memberikan sedikit pujian. Walau saya yakin pujian tersebut hanyalah penghibur saja agar Ahmad tak kapok memasak.

Ada dua cara untuk mengetahui seseorang suka terhadap makanan atau tidak. Pertama, makannya dilama-lamain. Kedua, makan sambil tengok kanan kiri. Dan kedua hal tersebut tertangkap jelas pada gelagat Ahmad. Dia makan nasinya sendiri dengan tidak yakin.

Saya dan Agung cekikikan melihat wajahnya. Mlotrok. Waktu terasa begitu lambat baginya. Dan setelah sekian lama, akhirnya dia nyerah. Dia tak menghabiskan nasinya dan langsung minum yang banyak. Benar kan dugaan saya, dia tidak bisa masak.

"Wes nyerah aku. Ra enak blas..."

Kesempatan kedua giliran Agung yang masak nasi. Lebih baik. Dia tak banyak tingkah seperti Ahmad tadi dan hasilnya nasinya matang dengan cukup baik.

Saya tak dapat giliran memasak. Tak terlalu jago juga memasak karena saya tidak belajar. Kalau saya belajar dengan sungguh-sungguh, nanti Chef Arnold kalah sama saya. Kasihan nanti jatah juri di Master Chef Indonesia hilang dari tangannya. Menganggur dia nanti. Tapi saya mempunyai lidah yang peka terhadap rasa. Jadi keahlian saya dalam dunia perdapuran adalah icip-icip sampai makanannya habis. Bayangkan kalau semuanya bisa memasak, lalu siapa yang mencicipinya? Bingung malahan nanti. Nah di situlah peran dan naluri saya sangat dibutuhkan.

Dari kiri, Ahmad dan Rosyad. Terlihat wajah Ahmad yang mlotrok karena merasakan nasi yang dibuat sendiri (Dokpri)
Dari kiri, Ahmad dan Rosyad. Terlihat wajah Ahmad yang mlotrok karena merasakan nasi yang dibuat sendiri (Dokpri)

Kini tinggal lauknya saja. Rosyad sudah bangun tidur. Dia langsung tancap gas mengambil peralatan. Menunya masih sama dengan tadi malam. Mie dengan sayur kol. Makanan sejuta umat.

Sekejap lauk selesai. Dan kami mengisi perut sebelum summit. Di tengah makan, lelucon Ahmad yang gagal memasak nasi masih segar untuk dilontarkan. Apalagi Rosyad tak tahu persis kejadiannya karena dia tadi masih tidur. Saya akhirnya menceritakannya begitu detail. Puas sekali menertawakan kejadian tersebut.

Pukul setengah sembilan, kami bersiap untuk summit. Karena persediaan air yang habis, kami rencananya akan mencari air terlebih dahulu sebelum naik ke puncak kawah. Mata airnya terletak di air terjun. Kata Rosyad, trek menuju air terjun cukup curam dan harus hati-hati jika ingin ke sana.

Setelah membersihkan bekas makanan, kami akhirnya berangkat. Kami hanya membawa dua tas kecil berisi botol air dan kompor beserta panci lengkap dengan kopi. Rencananya, di puncak kawah nanti kami akan ngopi-ngopi santai sembari menikmati pemandangan kawah yang indah.

"Kita nanti akan turun. Jalannya cukup berat karena harus berpegangan tali," ucap Rosyad. Saya dan Ahmad saling pandang. Melelahkan pastinya. Semoga bisa.

Bersambung ... Next Part 4.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun