"Haiss ... makanan mana yang tidak enak di mulutmu? Sini tak rasain." Saya kemudian mencicipi. Biar pun saya bukan ahli memasak, tapi saya mempunyai lidah yang peka. "Coba tambahin air sedikit. Rada asin ini."
"Helah, ngono jare sudah pas," sindir Agung kepada Ahmad.
"Lha wetengku lapar," bela Ahmad.
Rosyad menambahkan sedikit air. Dia mencicipi lagi. Pas. Lauk siap. Waktunya makan-makan. Sekejap makanan tandas. Piring kosong seketika. Perut terisi penuh.
Selepas itu, kami mengobrol di depan tenda sembari menikmati angin yang berembus lumayan kencang. Ahmad sudah pulas. Dia nampaknya kelelahan. Biarlah. Biarkan dia beristirahat. Tinggal kami bertiga di luar tenda.
Di atas, saya masih menyaksikan bintang yang bersinar indah. Sudah lama saya tak melihat gemintang. Walau hanya sekejap karena setelah itu tertutup mendung kembali tapi itu adalah pemandangan yang menakjubkan. Sewaktu kecil, saya sering memandangi bintang. Senang saja melihatnya. Saya bisa membuat bentuk-bentuk hewan dengan imajinasi yang nyata. Melihatnya, saya juga bisa menerka rasi bintang yang saya pelajari di sekolah. Sungguh pengalaman yang luar biasa.
Entah setelah saya mulai beranjak remaja, bintang tersebut menjadi jarang terlihat. Kemungkinannya ada dua: bintangnya yang jarang kentara atau saya yang sudah jarang memperhatikannya. Jawaban kedua mungkin yang paling masuk akal. Terkadang ketika melihat bintang, ingin rasanya menggapai dan mendekapnya. Seberapa besar sih bintang itu. Namun hal tersebut hanyalah imajinasi seorang anak yang belum mengenal banyak pengetahuan.
Kehidupan malam remaja dulu yang hanya mementingkan ego membuat saya tak lagi memperhatikan bintang. Padahal bintang selalu tampil dengan cantik dengan harapan dapat dilihat dan dinikmati miliaran pasang mata di seluruh dunia. Walaupun bintang sering diabaikan tapi kehadirannya selalu memberikan harapan dan warna bagi yang menikmatinya.
Di luar tenda, kami bertiga terus berbincang. Dengan api unggun yang tak kunjung nyala karena kayu yang basah, kopi dan teh sebagai penghangat tubuh. Obrolan berlangsung menyenangkan. Terkadang membahas kehidupan yang mulai beranjak dewasa, kadang juga cinta yang tak kunjung menemukan rimba, lebih sering perkuliahan yang banyak menghadapi rintang. Tapi begitulah hidup seperti roller coaster. Kemarin malam saya masih tidur dengan nyenyak di atas kasur yang empuk dan hangat. Malam ini saya duduk di atas gunung, jauh dari keramaian dan dingin yang menyergap.
Perlahan mendung mulai menyelimuti langit. Tak berselang lama gerimis turun. Semakin lama semakin rapat. Kami bertiga masuk ke dalam tenda. Tidur. Waktu pun sudah larut malam. Harapan kami satu sekarang: semoga besok langit cerah dan kami bisa menikmati keindahan fajar yang membelai hangat. Semoga.
Bersambung .... Next Part 3.