Mohon tunggu...
Rizky Hadi
Rizky Hadi Mohon Tunggu... Lainnya - Anak manusia yang biasa saja.

Selalu senang menulis cerita.

Selanjutnya

Tutup

Hobby Pilihan

#2 Gunung Kelud: Melintang Gemintang Di Langit Malam

3 Maret 2022   17:00 Diperbarui: 4 Maret 2022   08:10 311
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tuhan telah menciptakan kecewa untuk merasakan bahagia, patah untuk kembali tumbuh, hancur supaya bangkit dengan kuat. Hal indah baru bisa dinikmati setelah perjalanan melawan lelah. Karena pada dasarnya Tuhan telah menjamin makhluknya bahagia dan manusia tinggal mensyukurinya.

***

Kali ini trek kami menghadapi trek yang semakin menanjak. Sebagai bantuan, kami harus berpegangan akar-akar pohon yang besar untuk membantu naik. Hingga pada satu kejadian, Ahmad yang berada di depan saya terpeleset ketika hendak berjalan naik. Dia berteriak. Kami semua tertuju pada Ahmad. Dia terjatuh, mengeram.

"Gimana? Enggak apa-apa?" tanya Rosyad.

Ahmad mengacungkan jempol. Tidak apa-apa. Hanya terpeleset biasa. Sepatunya licin. Hal yang wajar karena jalur yang basah terguyur hujan. Di beberapa kesempatan, saya pun hampir terpeleset. Untungnya, saya masih bisa menjaga keseimbangan tubuh.

Saya mengembuskan napas panjang. Ternyata ini rasanya naik gunung. Ketika saya hanya menonton pendakian di Youtube, saya hanya terfokus pada keindahan di puncak saja. Ternyata kita harus melewati rintang sebelum hal indah datang. Semoga kaki ini kuat.

Kami berjalan kembali. Tidak ada halangan berarti selanjutnya. Kami tiba di pos tiga. Di sana kami mengambil break sebentar. Mengatur napas.

"Besok kalau turun, dari gerbang pendakian ke basecamp, aku naik ojek ajalah," ujar Agung. Dia beberapa kali terlihat ngos-ngosan.

"Enggak seperti biasanya kau begini," timpal Rosyad.

"Sudah 27 kali kau bicara seperti itu," canda Ahmad. Kami tertawa.

Tentu, apa yang dikatakan Agung ialah guyonan. Lebih dari itu, sudah sering kali dia berkata seperti itu. Ya sudah hal tersebut kami jadikan lelucon saja sembari menghilangkan rasa lelah. Dia yang punya ide untuk jalan kaki dari basecamp ke gerbang pendakian tapi dia juga yang pertama kali ngos-ngosan. Mblegedhes. Hehehehe .... (Baca Part 1)

"Katanya enggak jauh. Katanya enggak mau naik ojek." Hal tersebut yang kami ucapkan berulang kali. Setiap ada yang mengucapkan kata tersebut, kami pasti langsung tertawa sembari melihat Agung. Dia pun juga ikut tertawa.

Stamina Agung terkuras setelah lama tak naik gunung. Kaget. Seperti motor, kalau lama tak dipanasi pasti lama hidup kembali. Manusia pun begitu.

Setelah istirahat selama lima menit. Kami melanjutkan perjalanan. Tujuan kita adalah puncak bayangan. Tidak jauh lagi. Di tempat tersebut kami rencananya akan mendirikan tenda. Puncak bayangan juga biasa digunakan para pendaki lain untuk nge-camp.

Dok. Pribadi
Dok. Pribadi

Tak lama kami berjalan, puncak bayangan sudah di depan mata. Rosyad yang menjadi leader karena dia yang paling tahu jalan.

Di sana, kami segera mendirikan tenda. Mempersiapkan segala keperluan untuk memasak. Soal perut enggak bisa ditawar lagi. Kami semua kelaparan. Rosyad yang menjadi juru masak di sini. Dengan keahliannya, dia meracik bumbu. Bawang putih, bawang merah, penyedap rasa, cabai. Menu kami ialah mie dengan campuran sayur kol. Menu segala rakyat. Sederhana.

"Di rumah, aku hanya sering lihat ibu memasak," jawabnya setelah Ahmad menanyakan mengapa dia bisa memasak.

Aroma bumbu yang sedap semakin membuat perut berontak. Entah itu karena bumbunya benar-benar sedap atau kami saja yang kelaparan. Nasi sudah matang dengan sempurna. Hanya tinggal lauk.

Rosyad mencicipi. Dia diam sebentar. "Kayak sedikit asin. Coba kau rasakan!"

Ahmad mengambil sendok, mengecap-ngecap. "Enggak tuh, enak."

"Haiss ... makanan mana yang tidak enak di mulutmu? Sini tak rasain." Saya kemudian mencicipi. Biar pun saya bukan ahli memasak, tapi saya mempunyai lidah yang peka. "Coba tambahin air sedikit. Rada asin ini."

"Helah, ngono jare sudah pas," sindir Agung kepada Ahmad.

"Lha wetengku lapar," bela Ahmad.

Rosyad menambahkan sedikit air. Dia mencicipi lagi. Pas. Lauk siap. Waktunya makan-makan. Sekejap makanan tandas. Piring kosong seketika. Perut terisi penuh.

Selepas itu, kami mengobrol di depan tenda sembari menikmati angin yang berembus lumayan kencang. Ahmad sudah pulas. Dia nampaknya kelelahan. Biarlah. Biarkan dia beristirahat. Tinggal kami bertiga di luar tenda.

Di atas, saya masih menyaksikan bintang yang bersinar indah. Sudah lama saya tak melihat gemintang. Walau hanya sekejap karena setelah itu tertutup mendung kembali tapi itu adalah pemandangan yang menakjubkan. Sewaktu kecil, saya sering memandangi bintang. Senang saja melihatnya. Saya bisa membuat bentuk-bentuk hewan dengan imajinasi yang nyata. Melihatnya, saya juga bisa menerka rasi bintang yang saya pelajari di sekolah. Sungguh pengalaman yang luar biasa.

Entah setelah saya mulai beranjak remaja, bintang tersebut menjadi jarang terlihat. Kemungkinannya ada dua: bintangnya yang jarang kentara atau saya yang sudah jarang memperhatikannya. Jawaban kedua mungkin yang paling masuk akal. Terkadang ketika melihat bintang, ingin rasanya menggapai dan mendekapnya. Seberapa besar sih bintang itu. Namun hal tersebut hanyalah imajinasi seorang anak yang belum mengenal banyak pengetahuan.

Kehidupan malam remaja dulu yang hanya mementingkan ego membuat saya tak lagi memperhatikan bintang. Padahal bintang selalu tampil dengan cantik dengan harapan dapat dilihat dan dinikmati miliaran pasang mata di seluruh dunia. Walaupun bintang sering diabaikan tapi kehadirannya selalu memberikan harapan dan warna bagi yang menikmatinya.

Di luar tenda, kami bertiga terus berbincang. Dengan api unggun yang tak kunjung nyala karena kayu yang basah, kopi dan teh sebagai penghangat tubuh. Obrolan berlangsung menyenangkan. Terkadang membahas kehidupan yang mulai beranjak dewasa, kadang juga cinta yang tak kunjung menemukan rimba, lebih sering perkuliahan yang banyak menghadapi rintang. Tapi begitulah hidup seperti roller coaster. Kemarin malam saya masih tidur dengan nyenyak di atas kasur yang empuk dan hangat. Malam ini saya duduk di atas gunung, jauh dari keramaian dan dingin yang menyergap.

Perlahan mendung mulai menyelimuti langit. Tak berselang lama gerimis turun. Semakin lama semakin rapat. Kami bertiga masuk ke dalam tenda. Tidur. Waktu pun sudah larut malam. Harapan kami satu sekarang: semoga besok langit cerah dan kami bisa menikmati keindahan fajar yang membelai hangat. Semoga.

Bersambung .... Next Part 3.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun