"Aku tadi sudah mengatur motor supaya mogok di jalan dan aku juga sudah berupaya memperlambat semuanya."
"Tapi kenapa dia masih datang juga?"
"Entah kenapa rencana cadangan gagal juga. Minuman yang berisi obat sakit perut juga tak bereaksi. Ini semua di luar kendaliku."
"Rencana cadangan seharusnya kaugunakan dalam situasi yang benar-benar kepepet. Bukan seperti itu juga caranya."
Bintang tak sengaja melewati ruang ganti Zidan dan mendengar percakapan antara Zidan dan Agam. Mengapa Agam ada di ruang ganti Zidan? Dari mana mereka berdua saling kenal? Apa maksud pembicaraan mereka? Pikiran Bintang dipenuhi oleh beragam pertanyaan.
Dengan memberanikan diri, Bintang masuk ke ruang ganti Zidan. Zidan dan Agam yang mengetahui kedatangan Bintang langsung terdiam sekaligus terkejut.
"Apa maksud percakapan kalian? Rencana itu kalian persiapkan untukku?" ucap Bintang dengan suara sedikit meninggi.
Pertanyaan Bintang tak digubris Zidan. Dia malah pergi tanpa rasa bersalah. Meninggalkan Bintang dan Agam yang saling bertatap muka.
"Maafkan aku. Aku tak bermaksud menggagalkan impianmu," sahut Agam dengan memelas.
"Semuanya telah terbongkar di depan mataku. Aku beruntung, minuman yang kau berikan tadi jatuh ketika aku hendak naik ke angkot. Kalau tidak, mungkin musnah sudah impianku. Aku enggak nyangka kalau sahabatku sendiri bisa melakukan semua ini. Kita ini sahabatan sejak kecil. Bahkan orang tuaku memercayaimu untuk mengantarku ke sini. Tapi kau merusak kepercayaan orang tuaku. Ingat baik-baik. Seorang sahabat tak akan mendorong sahabatnya sendiri untuk jatuh ke jurang," tandas Bintang yang berusaha menahan emosinya.
"Maafkan aku. Pembayaran uang kuliah sudah mendekati tenggat dan aku harus segera membayarnya." Agam terduduk sembari menyesali perbuatannya.