Siang di sebuah kampus.
Bogar menepuk bahuku ketika aku baru saja memarkir motor. Aku sedikit terperanjat. Dia adalah teman baruku dari Medan. Merantau jauh-jauh ke Jawa untuk menimba ilmu. Baru kukenal saat ospek minggu lalu. Tak butuh waktu lama bagi kami untuk cepat akrab. Bogar seorang humoris, beberapa kali membuatku terpingkal dengan guyonannya.
Sedikit cerita, ketika selesai ospek, Bogar hanya luntang-lantung di kampus dan tidak punya tempat tinggal. Mau cari kos katanya sudah malam. Menginap di aula atau di masjid kampus sudah kepalang sering. Akhirnya aku tawarkan dia untuk tinggal sementara di rumahku sembari mencari kos. Selama tinggal di rumahku, Bogar merupakan orang yang rajin. Semua kegiatan dikerjakan: menyapu hingga mencuci piring. Katanya malu kalau harus diam saja lantaran menumpang di rumah orang.
Setelah empat hari, dia akhirnya menemukan kos yang nyaman sesuai kantong. Padahal aku sempat menawarkan untuk menetap. Lagi pula aku juga tidak keberatan jika Bogar tetap tinggal di rumahku. Toh dia bisa jadi pemecah suasana sewaktu aku sedang suntuk.
Sebelum meninggalkan rumahku, dia berkata, "Orang Medan harus mandiri di perantauan dan tidak menyusahkan orang lain."
Sejak saat itu, Bogar menjadi teman akrabku di kampus.
"Bagaimana kabarmu, Gar?" tanyaku kepada Bogar seraya berjalan menuju kelas.
"Baik-lah. Tak berubah penampilan kau. Masih kucel macam selimut tak pernah dicuci saja," canda Bogar dengan aksen Medannya yang khas.
"Gar, gimana kosmu? Nyaman?" Aku mengalihkan pembicaraan.
"Kau harus lihat, di kosku ada cewek cantik banget. Bodinya macam Luna Maya saat sedang keramas. Bergelombang bagai gitar. Pokoknya aku jamin, otakmu akan liar jika melihatnya," ucap Bogar sembari memamerkan jempol tangannya.
Aku masih berjalan dengan Bogar. Kelasku yang terletak di lantai tiga mengharuskanku untuk menaiki anak tangga. Kebetulan gedung bertingkat empat ini satu-satunya yang tak tersedia lift.