Sedikit cerita, Gus. Sekitar satu minggu yang lalu ketika semua pekerja sibuk dengan pekerjaannya, ada belasan bahkan puluhan polisi yang tiba-tiba datang ke tempat kerja. Para pekerja yang kaget sontak lari tunggang-langgang mencari tempat persembunyian. Untungnya Bapak berhasil bersembunyi di toko makanan langganan Bapak. Tetapi sebelas teman Bapak berhasil ditangkap. Teman-teman Bapak itu kabarnya akan menginap dulu di kantor kepolisian dan baru akan dipulangkan ke Indonesia beberapa hari kemudian.Â
Jika kamu tahu pekerjaan Bapak di sini memanglah sangat berat, Gus. Setiap pagi Bapak harus berangkat ke proyek, membakar kulit di bawah paparan sinar matahari. Yang kini kulit Bapak menjadi legam. Pasir, semen, besi, batu bata sudah menjadi makanan Bapak sehari-hari. Belum lagi kalau Bapak melakukan kesalahan, harus dimarahi bahkan dimaki oleh Tauke (sebutan untuk atasan Bapak). Kalau ada kerja lembur, pasti akan ambil sebagai tambahan.
Oh iya, Gus, kalau Bapak tidak salah berhitung, tahun ini kamu sudah lulus SMA. Tak terasa waktu berlalu begitu cepat. Selamat ya, Gus, belajarlah yang giat. Sekolahlah setinggi mungkin mumpung usiamu masih muda. Bermimpilah setinggi mungkin hingga orang lain meremehkan mimpimu itu. Jangan jadi seperti Bapak yang luntang-lantung di negeri orang, yang hanya mengandalkan otot untuk mencari uang. Buat bangga ibumu, jadilah anak yang berbakti.
Gus, di dalam lampiran surat ini, Bapak sudah menyisipkan ATM. Isinya mungkin tidak banyak tetapi semoga bisa mencukupi kebutuhanmu. Bapak percaya bahwa kamu sudah dewasa dalam berpikir jadi gunakan seberguna mungkin. Jangan digunakan untuk keperluan yang tidak perlu.
Untuk saat ini Bapak belum bisa pulang karena pekerjaan di sini sedang banyak-banyaknya. Tetapi jangan hiraukan keadaan Bapak di sini. Bapak akan baik-baik saja. Bapak hanya butuh doamu, semoga Bapak selalu diberikan kesehatan dan keselamatan. Sekali lagi maafkan Bapak, Gus.
Peluk rindu dari negeri seberang, Bapak.
***
Aku lipat kembali kertas itu. Aku tercenung. Angin lembut menelisik melewati lingkar telinga. Pikiranku melayang jauh.
"Gus ...." Fatah beringsut, mendekat kepadaku.
Aku tak menghiraukan suara Fatah. Setidaknya ada kelegaan dalam hatiku ketika membaca surat dari Bapak.
"Fat ...," aku membuka suara, "kau tahu, inilah yang kutunggu-tunggu selama bertahun-tahun. Penantian yang akhirnya menemukan jalannya walau hanya sebatas surat. Setidaknya ini cukup buatku untuk mengetahui kabar Bapak."