Mohon tunggu...
Rizky Febriana
Rizky Febriana Mohon Tunggu... Konsultan - Analyst

Senang Mengamati BUMN/BUMD dan Pemerintahan

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Erdogan, Dahlan Iskan, dan Mobil Listrik Nasional

30 Desember 2019   08:09 Diperbarui: 30 Desember 2019   18:14 463
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Turki baru saja resmi merilis prototipe mobil listrik nasional |Sumber: twitter.com/TOGG2022

Turki baru saja resmi merilis prototipe mobil listrik nasional untuk pertama kalinya sepanjang sejarah, TOGG. Dalam rilis resminya ada 2 jenis prototipe mobil listrik yang diluncurkan yakni berjenis SUV dan sedan.

Perjalanan TOGG memang masih panjang untuk membuktikan bahwa mobil listrik made in Turkey ini mampu diterima di pasaran. Kita tunggu di 2022 nanti. Namun ada pelajaran berharga yang bisa kita ambil dari diluncurkannya prototipe TOGG pada 27 Desember 2019 lalu.

Pelajaran itu bukan dalam bagaimana review TOGG, dari sisi spesifikasi. Tentu itu bukan kapasitas saya, nanti mungkin Ridwan Hanief (AutonetMagz), Fitra Eri (Oto Driver) dan youtuber otomotif lainnya yang bisa menerangkan itu.

Bagi saya, pelajaran itu lebih terhadap bagaimana seharusnya kita, Indonesia, dalam membangun industri otomotif nasional, jika memang kita serius ke arah sana.

Pertama, insentif dari pemerintah Turki. Mobil listrik adalah mobil masa depan yang belum ada satu pun negara yang merupakan market leader sebagai produsen global.

Namun Turki mengetahui bahwa semua pabrikan otomotif sedang mengembangkan bahkan sudah mulai memproduksi beberapa jenis mobil listrik meski dalam jumlah yang masih terbatas.

Dalam hal ini Turki tidak ingin ketinggalan sebagai salah satu pemain global mobil listrik. Apalagi mobil listrik sendiri nantinya memiliki beberapa dampak positif diantaranya akan menurunkan tingkat konsumsi bahan bakar minyak (BBM) nasional, menyeimbangkan neraca perdagangan Turki.

Selain itu, industri mobnas juga bisa menyerap lebih dari 4.000 tenaga kerja langsung dan 20 ribu orang yang terlibat secara tidak langsung, lebih ramah lingkungan dan berkontribusi terhadap Produk Domestik Bruto ("PDB") sampai dengan 50 miliar euro selama 15 tahun bagi perekonomian Turki. 

Untuk mewujudkannya, tak tanggung-tanggung, seperti dikutip dari Automotive News Europe, Pemerintah Turki memberikan dukungan dalam bentuk insentif fiskal dan non fiskal termasuk untuk lokasi pabrik TOGG seluas 400 Ha yang merupakan milik militer Turki. 

Insentif lainnya dalam bentuk keringanan bunga dan jaminan pembelian produk 30.000 TOGG hingga tahun 2035.

Kita harus ingat, 1 (satu) dari 10 prinsip ekonomi yakni people respond to incentives, setiap orang respon terhadap insentif. Maka tak heran, swasta ikut berpartisipasi dalam proyek besar TOGG, karena ada potensi keuntungan yang dapat diraih, ada nilai ekonomi yang dilihat.

Kedua, partisipasi swasta. TOGG (Trkiye'nin Otomobili Giriim Grubu), lahir dari konsorsium beberapa perusahaan besar Turki yang membentuk erusahaan patungan (Joint Venture) dengan visi yang sama menghasilkan mobil nasional.

Tanggal 25 Juni 2018 adalah awal konsorsium itu berdiri. The Union of Chambers and Commodity Exchanges of Turkey (TOBB/Trkiye Odalar ve Borsalar Birlii) atau seperti Kadin (Kamar Dagang dan Industri) di Indonesia bersama 5 (lima) perusahaan di Turki membentuk TOGG.

Anadolu Group, BMC Turkey, Kk Group, Turkcell and Zorlu Holding masing-masing menaruh 19% sahamnya di TOGG. 5% saham lainnya oleh TOBB sendiri. Anadolu Group, BMC dan Kok Group adalah perusahaan yang sudah terkenal memproduksi komponen otomotif.

Sementara Turkcell adalah perusahaan yang bergerak di bidang telekomunikasi dan menjadi market leader di Turki, sedangkan Zorlu Holding adalah induk dari perusahaan produsen televisi.

Konsorsium tersebut rela merogoh kocek untuk investasi hingga 22 miliar lira atau sekitar Rp51,5 triliun.

Ketiga, keterlibatan para ahli. CEO dan COO dari TOGG adalah orang-orang yang sudah berpengalaman di industri otomotif. 

Mehmet Grcan Karaka (CEO) di halaman linkedinnya berkarir selama 11 tahun dan terakhir menjabat sebagai Executive Vice President di Robert Bosch Gmbh. Bosch sendiri merupakan Perusahaan asal Jerman yang menjadi salah satu penyuplai terbesar komponen otomotif di dunia.

Sementara itu, Sergio Rocha yang merupakan Chief Operating Officer (COO) merupakan mantan President, CEO & Chairman of the board for GM Korea -- South Korea. Sebelumnya, Rocha juga bekerja 5 (lima) tahun di Volkswagen.

Kedua nama berpengalaman dibantu lebih dari 100 insinyur ahli merupakan kunci lahirnya TOGG menjadi mobnas dan mobnas listrik pertama di Turki.

Menentukan Nasib Mobil Nasional made in Indonesia
Bagaimana dengan mobil nasional (mobnas) Indonesia? Kalau tiga (3) hal di atas tidak ada, lupakan mimpi kita memiliki mobnas.

Kalau tiga (3) hal itu ada. Maka mari kita lanjutkan pembicaraan tentang mobil nasional. Esemka atau mobil listrik?

Kalau saya pribadi, lebih setuju mobil listrik dijadikan mobil nasional. Karena mobil Esemka pada prototipe yang diperkenalkan kepada publik masih menggunakan BBM.

Sementara jika menggunakan BBM dimana Indonesia adalah importir, besar kemungkinan akan menambah defisit neraca perdagangan apalagi jika 40% komponen mobnas Esemka masih besar ketergantungan terhadap impor. 

Berbeda halnya ketika Esemka nanti diarahkan sebagai mobil listrik nasional.

Membicarakan mobil listrik nasional saya jadi ingat Abah Dahlan Iskan (DI) sewaktu jadi Menteri Negara BUMN. Inisiasinya meski tak semulus mimpinya, setidaknya sudah memulai membuat prototipe mobil listrik nasional.

DI ajak 3 (tiga) BUMN, Bank Rakyat Indonesia (BRI), Perusahaan Gas Negara (PGN), dan PT Pertamina untuk membiayai 16 mobil listrik dengan nilai Rp32 miliar. Dari situ lahirlah Mobil Listrik Ahmadi, hasil kerja sama dengan swasta pada 2012 silam.

DI juga mengajak Ricky Elson. Pada pertengahan 2013, mobil listrik Selo dan Gendhis mulai diperkenalkan. Ricky Elson adalah orang Indonesia yang 14 tahun dan mematenkan 14 temuan selama berkiprah di Jepang. Ricky Elson diajak kembali oleh DI untuk mengembangkan mobil listrik.

Nasib mobil listrik saat itu seolah menghilang seiring berakhirnya masa jabatan DI sebagai Meneg BUMN. Bahkan, cerita mobil listrik di Indonesia bukan masuk ke market untuk diperjual-belikan tetapi malah diperkarakan di pengadilan karena diputuskan melanggar peraturan.

Mengutip tulisan DI tentang Manufacturing Hope 123 yang berjudul "Main-Main Nasib Ahli yang Mahal", yang mengambarkan sebuah fakta bahwa mobil listrik di Indonesia masih belum menemukan tempatnya waktu itu.

Lalu bagaimana dengan saat ini? Pemerintah sudah menandatangani Peraturan Presiden No. 55 Tahun 2019 tentang Percepatan Program Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai (Battery Electric Vehicle) untuk Transportasi Jalan.

Peraturan yang memiliki 37 pasal tersebut cukup membawa "angin segar" bagi industri mobil listrik di Indonesia, karena juga mengatur klausul insentif fiskal maupun non fiskal. 

Setidaknya, peraturan tersebut membuka peluang pabrikan internasional untuk juga berinvestasi di Indonesia, bukan sekadar memasarkan produk.

Lantas bagaimana dengan peluang mobil listrik nasional? Jika ingin serius mewujudkannya, bukan sekadar dolanan, setidaknya 3 (tiga) hal di atas menurut hemat penulis mesti dilakukan secara konsisten.

Pertama, mengimplementasikan insentif fiskal dan non fiskal bukan sekadar di atas kertas, harus ada komitmen pemerintah sampai dengan peraturan di bawahnya.

Pada level Kementerian (keuangan, industri, riset, BUMN dan kementerian/badan terkait lainnya) bahkan termasuk di daerah oleh pemerintah daerah. Termasuk juga komitmen pemerintah dalam membeli dan menggunakan mobnas listrik nantinya.

Kedua, melibatkan Kadin, swasta nasional maupun pabrikan internasional, juga BUMN/D, yang memiliki spesialisasi masing-masing, memiliki keunggulan komparatif yang bisa saling melengkapi. Perusahaan-perusahaan tersebut bisa bekerjasama dalam berinvestasi. 

Ketiga, mengajak para ahli di LIPI, orang-orang Indonesia di kampus-kampus ITB, ITS, UGM dan kampus lainnya yang punya keahlian serta rekrut orang-orang Indonesia berpengalaman di bidang otomotif dari seluruh dunia. 

Berikan insentif bulanan terbaik bagi mereka untuk fokus dan bekerja sebagai ahli. Dan terakhir yang tak kalah penting, pastikan dalam setiap proses mobilnas listrik, setiap yang terlibat juga dapat kepastian hukum.

Membuat mobnas tentu butuh waktu. Turki bahkan harus rela menunggu waktu 60 tahunan. Turkipun pernah gagal membuat prototipe mobil nasional pada tahun 60-an silam waktu itu Turki mencoba peruntungan dengan produk mobnas, Devrim (Revolusi).

Turki memulainya kembali dengan berinvestasi dalam research and development (R&D) yang tak sedikit, memulai fokus sebagai pemasok komponen otomotif nasional dan pasar Eropa hingga saat ini.

Selain itu, Turki juga memberikan insentif yang besar kepada industri dalam negeri untuk memulai mobnas listrik, meningkatkan kualitas pendidikan untuk menciptakan para ahli dan tak ragu untuk berkolaborasi dengan pabrikan internasional yang sudah berpengalaman bahkan merekrut orang non Turki dalam bagian perjalanan industri otomotifnya hingga lahir prototipe mobnas listriknya, TOGG.

Bagaimana dengan kita, Indonesia? Kita mampu, tetapi maukah untuk memulainya?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun