Kalau saya pribadi, lebih setuju mobil listrik dijadikan mobil nasional. Karena mobil Esemka pada prototipe yang diperkenalkan kepada publik masih menggunakan BBM.
Sementara jika menggunakan BBM dimana Indonesia adalah importir, besar kemungkinan akan menambah defisit neraca perdagangan apalagi jika 40% komponen mobnas Esemka masih besar ketergantungan terhadap impor.Â
Berbeda halnya ketika Esemka nanti diarahkan sebagai mobil listrik nasional.
Membicarakan mobil listrik nasional saya jadi ingat Abah Dahlan Iskan (DI) sewaktu jadi Menteri Negara BUMN. Inisiasinya meski tak semulus mimpinya, setidaknya sudah memulai membuat prototipe mobil listrik nasional.
DI ajak 3 (tiga) BUMN, Bank Rakyat Indonesia (BRI), Perusahaan Gas Negara (PGN), dan PT Pertamina untuk membiayai 16 mobil listrik dengan nilai Rp32 miliar. Dari situ lahirlah Mobil Listrik Ahmadi, hasil kerja sama dengan swasta pada 2012 silam.
DI juga mengajak Ricky Elson. Pada pertengahan 2013, mobil listrik Selo dan Gendhis mulai diperkenalkan. Ricky Elson adalah orang Indonesia yang 14 tahun dan mematenkan 14 temuan selama berkiprah di Jepang. Ricky Elson diajak kembali oleh DI untuk mengembangkan mobil listrik.
Nasib mobil listrik saat itu seolah menghilang seiring berakhirnya masa jabatan DI sebagai Meneg BUMN. Bahkan, cerita mobil listrik di Indonesia bukan masuk ke market untuk diperjual-belikan tetapi malah diperkarakan di pengadilan karena diputuskan melanggar peraturan.
Mengutip tulisan DI tentang Manufacturing Hope 123 yang berjudul "Main-Main Nasib Ahli yang Mahal", yang mengambarkan sebuah fakta bahwa mobil listrik di Indonesia masih belum menemukan tempatnya waktu itu.
Lalu bagaimana dengan saat ini? Pemerintah sudah menandatangani Peraturan Presiden No. 55 Tahun 2019 tentang Percepatan Program Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai (Battery Electric Vehicle) untuk Transportasi Jalan.
Peraturan yang memiliki 37 pasal tersebut cukup membawa "angin segar" bagi industri mobil listrik di Indonesia, karena juga mengatur klausul insentif fiskal maupun non fiskal.Â
Setidaknya, peraturan tersebut membuka peluang pabrikan internasional untuk juga berinvestasi di Indonesia, bukan sekadar memasarkan produk.