Mohon tunggu...
Rizky Febriana
Rizky Febriana Mohon Tunggu... Konsultan - Analyst

Senang Mengamati BUMN/BUMD dan Pemerintahan

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Mengembalikan Predikat "Macan Asia"

13 Desember 2019   17:15 Diperbarui: 20 Januari 2020   15:38 500
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Busan merupakan Daerah Industri di Korea Selatan (dokpri)

Maret 2018, untuk pertama terbang ke Negeri Gingseng, Korea Selatan. Sebelumnya saya tidak pernah bermimpi dan menyangka bisa menginjakan kaki di negeri orang, itupun sebenarnya karena tugas dari kantor tempat bekerja. 

Mungkin saya saja yang "norak", maklum pertama kali ke luar negeri, pertama kalinya juga melihat begitu megahnya Bandara Internasional Incheon yang menjadi salah satu 10 bandara terbaik dunia versi World Airport Awards tahun 2019.

Bandara Incheon menjadi salah satu bandara terbaik di dunia (dokpri)
Bandara Incheon menjadi salah satu bandara terbaik di dunia (dokpri)

Kekaguman dimulai ketika mulai menaiki bus umum bandara yang tak lagi menggunakan uang tunai saat betransaksi, tak ada kondektur seperti di Indonesia.

kita cukup memasukan bukti tiket kita ke dalam kotak mesin di dalam bus saat keluar, kalau di Indonesia rada-rada mirip seperti transaksi Bus Rapid Transit (BRT) TransJakarta hari ini yang sudah mulai cashless.

Jalan Kaki yang menjadi tradisi warga Korea (dokpri)
Jalan Kaki yang menjadi tradisi warga Korea (dokpri)
Bus yang saya tumpangi terus melaju ke bandara lokal di sana untuk mengantarkan kami dari Seoul untuk kemudian terbang kembali menuju Busan, lalu naik bus ke Changwon.

Kotanya cukup kecil, namun ternyata sebagai salah satu kota markas industri besar di Korea Selatan, kalau di Indonesia mungkin seperti Bekasi atau Karawang, kalau berdasar jarak dari Ibu Kota Jakarta katanya seperti Surabaya dan sekitarnya. 

Industri Kereta Korea Selatan (dokpri) 
Industri Kereta Korea Selatan (dokpri) 

Setelah beberapa hari di sana melihat majunya industri kereta api di Korea, kami kembali ke Seoul menggunakan kereta cepat, Korea Train eXpress (KTX).

Registrasi tiket dilakukan online, sama seperti baru-baru ini di Indonesia di masa era kepemimpinan Ignasius Jonan di PT Kereta Api Indonesia (KAI). Namun yang saya heran, kami memasuki stasiun kereta di Busan tidak ada satupun petugas kereta yang berjaga di depan pintu masuk sebelum peron stasiun untuk memeriksa tiket kami, tidak ada pemeriksaan apapun.

Semua menaiki kereta cepat sesuai nomor kursinya. Mungkin mereka tahu, masuk bisa dengan tanpa tiket, tetapi nanti jika ketahuan bisa-bisa diturunkan petugas di tengah jalan, bahkan bisa jadi malah dipidanakan. Kan lebih repot.

Tiba di Seoul dalam jangka waktu hanya 2 sampai 3 jam, padahal jaraknya seperti Jakarta-Surabaya, membuat saya kembali terkagum lagi dengan dunia luar.

Ternyata kata orang benar, semakin maju sebuah negara, jumlah pejalan kaki di pedestrian dan pengguna transportasi umum lebih banyak dibandingkan jumlah kendaraan yang lalu-lalang dikepadatan jalan raya di Ibu Kota Korea Selatan tersebut.

Pedagang-pedagang kaki lima yang juga menempati ruang-ruang berjualan di Seoul maupun di Myeongdong Street sendiri ternyata mampu berkolaborasi dengan perusahaan-perusahaan besar yang memiliki merek ternama di sana yang nama mereknya bahkan sangat terkenal sampai ke Indonesia.

Busan merupakan Daerah Industri di Korea Selatan (dokpri)
Busan merupakan Daerah Industri di Korea Selatan (dokpri)
Di tengah menikmati suasana kota, 10 Maret 2018, rupanya banyak warga yang berdemonstrasi di sana, warga Korea Selatan membawa bendera negaranya juga bendera Amerika Serikat. 

Entah apa tuntutan atau aspirasi mereka, saya tidak paham Bahasa Korea. Mungkin ini terkait dengan suhu politik yang naik turun dengan negara tetangga Korea Selatan. Seperti kita tahu, sejarah mereka adalah sejarah konflik perang saudara selama bertahun-tahun lamanya yang menimbulkan banyak korban jiwa dan harta.

Namun kini, mereka, Korea Selatan telah bangkit, lebih maju dibandingkan dengan kita. Parameternya sederhana, pendapatan per kapita warganya jauh di atas Indonesia.

Berdasarkan data Bank Dunia (2018), pendapatan per kapita Korea Selatan berada di angka USD31.362,8 sementara Indonesia berada di angka USD3.893,6 per kapita. Kini, selain Jepang, Korea Selatan juga pantas menyandang gelar "Macan Asia". 

Sebuah predikat yang dulu pernah juga disandang tim nasional sepakbola Indonesia, itupun di saat masih menyandang nama Hindia Belanda di Piala Dunia 1938, namun itu dulu, puluhan tahun yang lalu, waktu Korea Selatan masih sibuk dengan perjuangan kemerdekaan.

Anda bisa bayangkan sendiri saat ini, sama-sama pernah dijajah, sama-sama resmi merdeka di bulan Agustus, Indonesia 17 Agustus, Korea Selatan 15 Agustus, Indonesia di tahun 1945, Korea Selatan 3 (tiga) tahun berikutnya di 1948, namun saat ini Korea Selatan mampu lebih unggul dibandingkan dengan kita Indonesia. 

Sumber: Bank Dunia, The Global Competitiveness Index 2019
Sumber: Bank Dunia, The Global Competitiveness Index 2019

Data Bank Dunia tahun 2019 menyebutkan Korea Selatan menempati urutan ke 13 dunia dalam daya saing global (The Global Competitiveness Index 4.0) dengan index 79,6. Sementara itu Indonesia masih terpaut di posisi 50 dunia dengan nilai 64,6 atau peringkat ke-4 diantara negara ASEAN (Association of Southeast Asian Nations) di bawah Singapura yang menempati peringkat 1 dunia, Malaysia (27) dan Thailand (40). 

Salah satu kunci pembangunan Korea Selatan adalah pada warganya, pada manusianya, Korea Selatan memahami esensi manusia atau human sebagai modal, sebagai capital, human capital

Berpuluh-puluh tahun mereka fokus terhadap pembangunan Sumber Daya Manusia (SDM). Alhasil, berdasar data United Nations Development Programme (UNDP) tahun 2018 terkait Indeks Pembangunan Manusia (Human Development Index) Korea Selatan yang berada di peringkat 22 dunia dengan indeks 0.906, sementara Indonesia di peringkat 111 dunia dengan indeks 0.707.

IPM sendiri adalah alat ukur perbandingan dari angka harapan hidup warga negara, melek huruf, pendidikan dan standar hidup untuk semua negara di seluruh dunia.

IPM digunakan untuk mengklasifikasikan apakah sebuah negara adalah negara maju, negara berkembang atau negara terbelakang.

Jutaan Orang Tidak Menyadari
Sementara itu, jutaan orang Indonesia tidak menyadari bahwa Sumber Daya Manusia adalah kunci. Jutaan orang masih menyadari bahwa Sumber Daya Alam (SDA) adalah kekayaan sesungguhnya sebuah negara.

Padahal SDA seperti minyak bumi, gas, timah, batubara, emas, bauksit, nikel dan semua kekayaan alam yang terkandung di dalam bumi Indonesia itu dapat habis, tak dapat diperbaharui (non-renewable energy).

Menunggu KTX di Changwoon (dokpri)
Menunggu KTX di Changwoon (dokpri)
Terbuai dengan kondisi geografis dan SDA yang melimpah memang tak dapat dipisahkan dari sejarah lalu Indonesia, waktu Indonesia belum merdeka dan masih bernama Nusantara. 

Sejarah mencatat bahwa dahulu bumi Nusantara adalah wilayah dengan perdagangan maju yang ditandai oleh bandar-bandar yang ramai disinggahi para pedagang dari luar yang berdagang beras, lada, garam, gading timah dan lainnya yang diimbangi oleh armada laut yang kuat dengan wilayah luas hingga ke Semenanjung Melayu, Tumasik atau Singapura dan kepulauan Filipina.

Nusantara dulu dikenal melalui Kerajaan Majapahit di bawah pimpinan Patih Gadjah Mada. Jaman Majapahit dicatat sebagai sejarah jaman keemasan Nusantara masa lalu (Sutrisno, 2008:24).

Setelah masa kerajaan-kerajaan berakhir memasuki era baru zaman perjuangan kemerdekaan, bukti bahwa Indonesia ini kaya akan SDA adalah penjajahan yang berlangsung beratus-ratus tahun lamanya.

Penjajahan yang motifnya adalah mencari dan membawa rempah-rempah yang ada di Indonesia kembali membuktikan bahwa Indonesia memang adalah negara yang kaya akan SDA.

Namun kini, jutaan orang mulai menyadari termasuk saya, segala sesuatu yang diproduksi terus menerus, apalagi SDA maka lambat laun akan menurun tingkat produktifitasnya. 

Sebagai contoh, mungkin anda pernah berkunjung ke negeri "laskar pelangi" di Bangka-Belitung atau coba berselancar di mesin pencarian dunia maya, timah yang menjadi komoditi utama waktu itu, kini sudah mulai menurun tingkat produksinya, di beberapa lokasi pertambangan liar bahkan hanya meninggalkan sisa bukti eksploitasi.

Contoh lainnya migas, minyak bumi dan gas. Menurut data BP Statistic, jika pada tahun 1980 cadangan minyak terbukti Indonesia mencapai 11,6 miliar barel namun pada 2017 tinggal 3,17 miliar barel. Tingkat produksi pun menurun di bawah 800 ribu barel per hari, konsumsinya meningkat 1,5 juta barel per hari. Maka Indonesia masih impor sampai dengan hari ini.

Indonesia sebetulnya bukanlah negara kaya minyak karena cadangan terbukti minyak Indonesia yang hanya 0,2% dari cadangan minyak global. 

Dengan tingkat produksi hari ini, jika tak lagi menemukan cadangan minyak baru, banyak ahli memperkirakan bahwa minyak bumi akan habis dalam wakty 11-12 tahun ke depan. Hal ini sudah menjadi fakta jauh-jauh hari di 2008 silam, jika Indonesia sudah memutuskan keluar dan tak lagi menjadi anggota negara-negara pengekspor minyak, OPEC (The Organization of the Petroleum Exporting Countries).

Sama halnya dengan minyak bumi, gas juga mengalami penurunan tren produksi karena turunnya cadangan persediaan. Cadangan gas Indonesia hanya 1,6% dari cadangan gas dunia. Diperkirakan oleh para ahli dalam jangka waktu 35 tahun ke depan Indonesia tak lagi memproduksi gas karena cadangan yang kian menipis dari tahun ke tahun. 

Ya kemarin, kini dan ke depan, dari Sabang --Merauke sudah berjajar contoh-contoh bahwa cadangan SDA terus menurun, mulai dari gas arun di Aceh, timah di Bangka Belitung, batubara di Kalimantan hingga mungkin selanjutnya emas di Papua.

Tak ayal, teori tentang kutukan sumber daya alam (resources curse) memang banyak terbukti di banyak wilayah di Indonesia, sebuah teori yang mengatakan adanya paradoks dimana daerah yang berlimpah SDA malah menjadi daerah tertinggal dengan tingkat kemiskinan yang tinggi, pendidikan masyarakat yang tertinggal, kesehatan yang tak terjamin dibalik keberlimpahan SDA yang ada.

Menuju SDM Unggul

Di setiap zaman, l'histoire se repete, sejarah itu pasti berulang.

Di Jepang, Kaum Samurai diidentikan sebagai kelompok terdidik yang bertransformasi sebagai pembaharu. Di Indonesia, kelompok pembaharu berasal dari latar belakang berbeda, namun semua didominasi oleh kelompok terdidik. 

Kaum Boedi Oetomo 1908, Sumpah Pemuda 1928 hingga proklamasi kemerdekaan yang didominasi oleh kaum pembaharu terdidik seperti Soekarno dan Hatta. 

Kesimpulan sederhananya adalah bahwa motor penggerak sebuah bangsa diawali oleh pergerakan dan perjuangan para kaum pembaharu terdidik yang partisipasinya harus dibuka dengan perbaikan akses pendidikan.

Di saat SDA mulai menurun, kita harus mulai berfikir kunci satu-satunya untuk membawa Indonesia unggul adalah peningkatan kualitas SDM Indonesia.

Saya coba ingat-ingat pelajaran ekonomi saat SMA dan kuliah, produktifitas itu ada teorinya. Produksi itu fungsi atau bergantung kepada kapital dan tenaga kerja. 

Kapital itu bisa diartikan sebagai mesin, uang, sumber daya alam dan semua sarana yang terkait lainnya. Teknologi yang berkembang juga merupakan faktor produksi yang juga penting dalam produktifitas.

Dari semua faktor tersebut, peningkatan kualitas SDM masih tetap sebagai kunci. Mesin tak akan berfungsi tanpa manusia, teknologi tak ada jika tak ada manusia, meski canggihnya robot-robot diciptakan, tetap semua tak dapat digantikan oleh robot, tetap ada fungsi manusia di dalamnya. 

Secanggih-canggihnya mesin pengisian bahan bakar di Korea Selatan yang para pengandaranya mengisi secara mandiri, tetap saja mesin itu hasil karya manusia, ada pengawasan yang dilakukan oleh manusia melalui CCTV. Teknologi hanya alat efisiensi, semua faktor pencipta dan pengendalinya adalah manusia berkualitas.

Indonesia sudah melangkah dengan terus memperbaiki semua faktor-faktor produksinya dengan menjadikan manusia unggul. Pemerintah Indonesia tercatat menganggarkan hingga ribuan triliun untuk meningkatkan kualitas SDM. 

Pada bidang pendidikan, telah lama Indonesia menganggarkan 20% APBN untuk bidang pendidikan. Pada 2020, dari Rp2.529 triliun APBN pemerintah menaikan anggaran pendidikan menjadi Rp506 triliun naik hampir 2,7% dari anggaran pendidikan tahun 2019 lalu yang sebesar Rp492,5 triliun.

Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024, selama kurun waktu tersebut pemerintah juga menganggarkan Rp1.163 triliun untuk mendorong percepatan realisasi SDM Unggul di Indonesia dimana program pengembangan teknologi digitalisasi dan integrasi bantuan sosial dianggarkan sekitar Rp804 triliun, pengembangan pendidikan dan pelatihan vokasi industri 4.0 Rp330,1 triliun, percepatan penurunan kematian ibu dan stunting Rp26 triliun, pembangunan science tecnopark Rp2,8 triliun. 

Indonesia kini juga sudah memiliki banyak kartu, Kartu Indonesia Pintar (KIP), Kartu Indonesia Sehat (KIS) termasuk Kartu Pra Kerja saat ini yang dianggarkan Rp10 triliun untuk menyiapkan tenaga kerja yang lebih siap untuk memasuki dunia kerja dengan adanya pelatihan-pelatihan reguler dan digital yang akan diberikan. 

Begitu juga di daerah, di Jakarta contohnya ada Kartu Jakarta Pintar (KJP) Plus, Kartu Jakarta Mahasiswa Unggul (KJMU) dan kartu lainnya di berbagai daerah di Indonesia.

Keberpihakan untuk menciptakan SDM unggul di Indonesia termasuk di daerah dengan semakin meningkatkan anggaran perlu diapresiasi. 

Semua anggaran dianggarkan untuk menciptakan SDM unggul Indonesia. Perbaikan tersebut sudah membawa hasil nyata, Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Indonesia tahun 2018 meningkat sebesar 0,82% dibandingkan dengan 2017.

Peningkatan IPM banyak mengandung makna.

Menurut Data Kementerian Keuangan, salah satu arti pencapaian tersebut bahwa bayi yang lahir tahun 2018 memiliki harapan untuk dapat hidup hingga 71,20 tahun. Lebih lama 0,14 tahun dibandingkan dengan mereka yang lahir tahun sebelumnya.

Selain itu, anak-anak yang pada 2018 berusia 7 tahun memiliki harapan dapat menikmati pendidikan selama 12,91 tahun (Diploma I), lebih lama 0,06 tahun dibandingkan dengan yang berumur sama pada tahun 2017. Sedangkan bagi penduduk usia 25 tahun ke atas, secara rata-rata telah menempuh pendidikan selama 8,17 tahun (kelas IX), lebih lama 0,07 tahun dibandingkan tahun sebelumnya.

Alhasil semua peningkatan tersebut berbanding lurus dengan peningkatan pendapatan per kapita sekitar Rp11,1 juta rupiah per tahun, meningkat Rp395 ribu dibandingkan tahun sebelumnya. 

Jika boleh mengutip kata-kata John F. Kennedy dalam salah satu pidatonya, "All this will not be finished in the first one hundred days. Nor will it be finished in the first one thousand days, nor in the life of this adminstrasion, nor even perhaps in our lifetime on this planet. But let us begin". 

Semua program pasti tak akan pernah selesai dalam program 100 hari, 1.000 hari atau bahkan ketika kehidupan berakhir, tetapi semua yang sudah dimulai harus tetap berjalan meski memang tak akan tetap selesai.

Menciptakan Keunggulan Komparatif
Saat ini dunia sedang menghadapi VUCA (volatility, uncertainty, complexity dan and ambiguity) yang intinya adalah fenomena perubahan tak terduga. 

Kapanpun bisa terjadi sesuatu yang terkadang sangat tidak dapat diprediksi dan penuh ketidakpastian. Untuk menghadapinya, masyarakat termasuk dunia usaha membutuhkan narasi besar dari Pemerintah.

Narasi besar itu adalah sebuah fokus utama visi Indonesia ke depan? Karena pada setiap sektornya, Indonesia memiliki keunggulan komparatif, maka tak heran Indonesia juga bisa disebut sebagai negara industri, negara agraris, negara maritim sampai negara pariwisata.

Secara umum, Indonesia harus menetapkan produk unggulan dalam setiap predikat yang disandangnya. Fokus bukan berarti yang lain dikorbankan, melainkan adanya penetapan skala prioritas dalam pengembangannya.

Contoh di bidang pariwisata? Keunggulan komparatif Indonesia di luar negeri adalah Bali, selain Bali bukan berarti wilayah pariwisata lain tak penting. Dalam program pengembangan, Indonesia telah menetapkan 10 (sepuluh) Bali baru untuk terus dikembangkan keunggulan komparatifnya.

Mencari keunggulan komparatif membuat Korea Selatan juga berkembang pesat. Catatan sejarah perkembangan Korea Selatan mulai berkembang pesat sejak era kepemimpinan Park-Chung Hee. Korea Selatan memiliki visi besar menjadi negara industri. Maka terjadilah industrialisasi besar-besaran sampai saat ini. Korea Selatan fokus terhadap industri besar.

Di samping itu, produktifitas Korea Selatan juga tidak lepas dari dukungan peran para pelaku dunia usaha. Kita mengenal Korea dengan Chaebolnya, sebuah konglomerasi yang meski ada juga cerita kontroversinya, kontribusinya terhadap kemajuan Korea Selatan juga sangat besar. 

Peran-peran pelaku usaha besar itu pulalah yang diharapkan terjadi di Indonesia, dan KADIN (Kamar Dagang dan Industri) Indonesia dapat menjadi katalisator atau penggerak kemajuan Indonesia sebab business is the heart of economic development (Blakely, 1994). Para pengusaha juga merupakan pelaku penting di dalam membangun masa depan Indonesia mendatang khususnya dalam mencapai target pertumbuhan ekonomi. 

Sama halnya seperti di Korea Selatan, di Turki, dunia usaha diberikan ruang gerak yang leluasa, contohnya ketika peluncuran prototipe mobil listrik nasional pertama Turki, TOGG. 

Peran sentral ditunjukan oleh The Union of Chambers and Commodity Exchanges of Turkey (TOBB,Türkiye Odalar ve Borsalar Birliği) alias Kadin-nya Turki (Kamar Dagang dan Industri) jika Indonesia. 

TOGG lahir dari kolaborasi TOBB bersama 5 (lima) Perusahaan lainnya Anadolu Group, BMC Turkey, Kök Group, Turkcell dan Zorlu Holding. Masing-masing menaruh 19% sahamnya di TOGG, 5% saham lainnya oleh TOBB sendiri. Pemerintah Turki sendiri memberikan insentif fiskal dan non fiskal. Sebuah kolaborasi yang epik, pemerintah dan dunia usaha. 

Begitu juga di Indonesia. Secara fundamental, Pemerintah perlu semakin mengandeng KADIN untuk mulai merencanakan dan memasukan pelajaran kewirausahaan ke dalam kurikulum untuk masuk ke sekolah-sekolah mulai dari level dasar hingga Sekolah Vokasi dan Universitas, agar semakin banyak bibit-bibit wirausahawan di Indonesia. 

Mengapa demikian? Sebab banyak unicorn ataupun start-up di bidang e-commerce atau transportasi online misalnya didominasi oleh orang Indonesia lulusan luar negeri, bukan dalam negeri. Hal tersebut tentu tidak salah, hanya mengambarkan, ada sebuah tanda, sebuah hipotesa bahwa pendidikan dalam negeri perlu di stimulus kembali tentang pendidikan dan inovasi kewirausahaan dalam negeri.  

Sementara itu, KADIN perlu mengandeng komunitas-komunitas pengusaha seperti HIPMI (Himpunan Pengusaha Muda Indonesia) atau TDA (Tangan di Atas) dan komunitas lainnya untuk meningkatkan rasio kewirausahaan di Indonesia dengan gerakan Sahabat Kadin, Sister Enterpreneurs, Kadin Brotherhood atau apapun istilahnya. Ada pola mentoring para pelaku usaha besar yang aktif di Kadin dengan komunitas-komunitas wirausaha mikro khususnya.

Pada intinya, SDM yang unggul harus berbanding lurus dan juga dapat tercermin dari semakin banyaknya wirausaha-wirausaha baru di Indonesia, meski dalam skala yang masih mikro. 

Bukankah banyak contoh Perusahaan-Perusahaan yang menyandang status Unicorn hari ini sekalipun dimulai dari bisnis kecil-kecilan? Seperti kata seorang ahli manajemen SDM, Zig Ziglar pernah berujar “you don’t build a business – you build people – and then people build your business”. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun