Mohon tunggu...
Rizky Febriana
Rizky Febriana Mohon Tunggu... Konsultan - Analyst

Senang Mengamati BUMN/BUMD dan Pemerintahan

Selanjutnya

Tutup

Money

Hidup Mati Industri Bauksit di Indonesia

23 Juni 2015   11:34 Diperbarui: 23 Juni 2015   21:39 206
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tentu amanah UU No  4 Tahun 2009 yang mendorong pembangunan smelter juga memiliki sisi positif dari sisi dampak ekonomi. Seperti yang disampaikan Erry Sofyan, Ketua Asosiasi Pengusaha Bauksit dan Bijih Besi Indonesia (APB3I) dalam presentasinya yang dikutip oleh Bareksa.com bahwa ada rencana dan realisasi alumnia di Indonesia per 2015 berpotensi menyerap investasi sebesar USD8,83 milyar jika kita menggunakan kurs sesuai APBN yang Rp12.500 per dollar maka kira-kira potensi investasi smelter alumina mencapai Rp110 triliun. Tentu akan beroperasinya smelter alumina akan memberikan pemasukan bagi negara dan juga penyerapan tenaga kerja termasuk menurunkan angka impor alumunium karena Indonesia sudah bisa menghasilkannya sendiri dan bisa saja akhirnya mampu memperkuat rupiah kita terhadap dollar.   

Sekarang kita perlu mencari titik keseimbangan (equilibrium), mencari titik kesimbangan yang dampak kerugiannya sangat minimal. Pertama, tentu aturan main (beleid) perlu diatur kembali yang mengalami tumpang tindih aturan. Seperti yang disampaikan oleh Simon F Sembiring mantan Dirjen minerba di seminar Kompasiana 25 Mei 2015 yang mengungkapkan peraturan antara PP dan Permen ESDM yang saling bertentangan, apakah boleh ekspor bauksit atau tidak saja belum jelas. Artinya aturan harus satu suara biar tidak menimbulkan kegaduhan.

Kedua, meminjam istilah yang disampaikan oleh Prof Bambang Suharno pakar metalurgi UI pada kesempatan yang sama. Beliau mengatakan tentang equal treatment, perlakuan yang sama terhadap siapapun. Aturan tentu harus ditegakan. Jangan sampai aturan itu pilih kasih. Jangan sampai perusahaan-perusahaan besar diperbolehkan ekspor mineral dalam bentuk konsentrat hanya karena ada komitmen semata, sementara yang lain perusahaan-perusahaan bauksit dalam negeri sama sekali tidak diperbolehkan ekspor.  Padahal salah satu nilai hukum adalah equity of law yang harus diterapkan dengan equal treatment.  

Ketiga, pembangunan alumina plant juga membutuhkan waktu. Saat ini menurut data APB3I yang tercepat berprogress baru Harita Grup (48,08%) dan Bintan Alumina Indonesia (20%). Sementara sisanya masih dalam proses feasibility study (kajian kelayakan), bahkan Rusal dari Rusia juga tidak jelas kelanjutannya. Realitanya apabila membaca Permen ESDM No 1 Tahun 2014 bauksit diamanahkan harus dilakukan pemurnian di atas 90% maka untuk mencapai itu penulis pikir perlu juga diberikan insentif dengan dibuatkan road map. Hal ini mengingat kondisi eksisting alumina plant yang belum ada yang beroperasi, apakah selama itu pula ekspor bauksit akan tetap dilarang? Dalam jangka pendek pemerintah harus sedikit membuka keran ekspor bauksit, namun tidak boleh lebih dari sekian persen kapasitas produksi per perusahaan. Misal kapasitas 1000 ton, maka yang boleh diekspor misal 25% atau 50% dari total kapasitas produksi.

Memang pemerintah juga tidak bisa disalahkan 100% mengingat UU lahir di 2009  artinya sudah 7 tahun pemerintah memberikan kesempatannya kepada perusahaan yang memiliki IUP. Dalam jangka waktu itu ekspor bauksit juga mencapai angka yang sangat melonjak dimana seperti tahun 2009 produksi bauksit baru sebesar 783.000 mt, pada tahun 2011 melonjak menjadi 17.634.000 mt atau naik 2150%. Apalagi pemerintah kembali melonggarkan aturan mineral smelter hingga 2017.

Namun demikian, penulis pikir pemerintah harus memberikan insentif bagi perusahaan-perusahaan yang pemilik IUP yang juga membangun smelter entah dalam bentuk keringanan pajak atau penambahan jangka waktu konsensi pertambangan sekian tahun. Hal ini untuk mengurangi gap produksi bauksit dengan kapasitas alumunia plant yang saat ini masih belum seimbang. Dimana kapasitas alumina plant 13,6 juta sga sementara produksi bauksit lebih dari itu, bahkan disebut-sebuh 1 hingga 2 kali lipat dari kapasitas alumina plant.

Jadi penulis pikir, perlu diberikan insentif bagi yang diprioritaskan bagi pemilik IUP yang ingin membangun smelter alumina. Namun untuk memberikan insentif itu, pemerintah juga perlu mengatur ketat persyaratannya seperti halnya di industri hulu migas dimana ada aturan PTK (pedoman tata kerja) yang mengatur terkait sekian persen kandungan lokal dalam proses hulu migas atau mengatur sekian persen tenaga dismelter harus orang indonesia (lokal dan nasional). Semoga, ini adalah win-win solution bagi semua pihak.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun