“In the long run, we are all dead.” Dalam jangka panjang kita akan mati. Kata John Maynard Keynes, salah satu ekonom dunia. Kalimat itu semacam menjadi legalisasi tentang pentingnya government intervention dalam perekonomian, konteks sejarah kalimat itu mungkin berbeda, tapi coba penulis pinjam istilah itu untuk sedikit menjelaskan kenapa perlu adanya peran pemerintah, termasuk di dalam industri bauksit.
Bauksit itu hasil sumber daya alam. Seharusnya bauksit itu bisa dinikmati oleh siapapun penambangnya, tidak perlu diatur oleh pemerintah siapa-siapa yang boleh diberikan izin usaha pertambangan (IUP). Tetapi tidak begitu logikanya. Pemerintah boleh mengatur. Saya jadi ingat pelajaran ekonomi lingkungan yang namanya sumber daya alam itu hakikatnya adalah common goods, barang publik, siapapun boleh menikmati. Namun karena ada unsur persaingan di dalamnya, dan untuk menghindari yang namanya the tragedy of the commons, tragedi kepemilikan bersama, maka perlu ada aturan mainnya, harus ada semacam legal aspect. Tentu the rules of the game yang menyusun pemerintah.
Pemerintah akan memberikan konsesi tambang kepada siapa-siapa pelaku usaha yang dinilai mampu, termasuk mampu meminimalisir dampak lingkungannya. Makannya gak heran setiap proses perizinan bisnis apapun, salah satunya harus ada kajian Amdal (analisis dampak lingkungan). Coba seandainya saja semua pihak bebas menambang semua sumber daya alam, tanpa ada aturan main yang jelas, selain bisa saja berujung bentrok antar penambang (the tragedy of the commons) maka dampak-dampak negatif atau anak ekonomi biasa menyebutnya dengan istilah eksternalitas negatif akibat proses penambangan tidak dapat diminimalisir.
Dalam konteks industri bauksit, maka penulis lebih cenderung setuju dengan aturan main yang ada, apalagi sudah di Undang-Undangkan melalui UU No 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Minerba). Dalam konteks bernegara, yang perlu dipahami di awal adalah UU itu telah disepakati bersama antara eksekutif dan legislatif yang notabene wakil rakyat. Ada paradigma sustainability growth dalam UU Minerba.
Apa yang menjadi ‘nafas’ UU itu sehingga bisa lahir dan disahkan? Saya coba mengutip tulisan Faisal Basri di Kompasiana 21 Januari 2014 yang berjudul Sesat Pikir Tambang: Sedemikian Bodohkah Kita. Inti yang saya tangkap dari tulisan itu adalah adanya tren ekspor bauksit yang terus mengalami peningkatan namun Indonesia tidak memiliki fasilitas pengolahan sendiri atau smelter? Padahal seandainya itu diolah di dalam negeri, maka industri alumunium dalam negeri tidak perlu impor dari luar negeri karena bauksit yang menjadi alumina bisa diolah sendiri menjadi alumunium di negeri sendiri.
Mengutip data wikipedia, beberapa negara penghasil bauksit juga memiliki smelter alumina dimasing-masing negaranya sebut saja China, Australia, Brazil, Amerika Serikat, India, Jerman juga Venezuela. Sementara menurut data tersebut, Indonesia baru memiliki satu eksisting smelter, itupun bukan alumina refinery melainkan smelter alumunium yakni PT Indonesia Asahan Aluminium (Inalum) yang ada di Kuala Tanjung Sumatera Utara. Coba bayangkan seandainya kita punya bauksit, kita punya alumina plant, kita juga punya smelter alumunium menjadi satu kesatuan supply chain yang tidak terputus? Maka aka nada dampak positif yang diterima bangsa ini seperti halnya negara-negara lain.
Lalu kenapa adanya UU, ditambah Peraturan Pemerintah (PP) dan Peraturan Menteri ESDM Nomor 1 Tahun 2014 dan peraturan-peraturan lainnya malah menimbulkan dampak negatif yang juga cukup besar? Dikutip dari Kompasiana (youtube/kompasiana.com), dampak larangan ekspor menyebabkan pemberhentian 40 ribu karyawan, diperkirakan kehilangan kesempatan memperoleh devisa per tahun sekitar Rp17,60 trilyun, hilangan potensi penerimaan pajak sebesar Rp4,09 Trilyun dan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) sebesar Rp595 miliar.
Saya mau mencoba menjawab dengan ilustrasi sederhana. Saya ingat betul pertanyaan dosen sewaktu kuliah. “Setujukah kalian dengan kebijakan impor?” tanya Profesor Catur Sugiyanto kepada saya dan semua mahasiswanya di kelas Ekonomi Pertanian sekitar enam tahun silam. Saya masih ingat betul bagaimana jawaban beliau ketika itu, jawabannya “tergantung!” Tergantung, tergantung dampak yang dihasilkan apakah menguntungkan lebih banyak pihak dan paling minimal dampak negatifnya. Bagi saya jawabannya menarik, sebab apa? Sebab setiap kebijakan yang diambil tentu bagai mata uang yang memiliki dua sisi, untuk itu perlu dicari keseimbangannya atau bahasa ekonominya itu equilibrium.
Tentu amanah UU No 4 Tahun 2009 yang mendorong pembangunan smelter juga memiliki sisi positif dari sisi dampak ekonomi. Seperti yang disampaikan Erry Sofyan, Ketua Asosiasi Pengusaha Bauksit dan Bijih Besi Indonesia (APB3I) dalam presentasinya yang dikutip oleh Bareksa.com bahwa ada rencana dan realisasi alumnia di Indonesia per 2015 berpotensi menyerap investasi sebesar USD8,83 milyar jika kita menggunakan kurs sesuai APBN yang Rp12.500 per dollar maka kira-kira potensi investasi smelter alumina mencapai Rp110 triliun. Tentu akan beroperasinya smelter alumina akan memberikan pemasukan bagi negara dan juga penyerapan tenaga kerja termasuk menurunkan angka impor alumunium karena Indonesia sudah bisa menghasilkannya sendiri dan bisa saja akhirnya mampu memperkuat rupiah kita terhadap dollar.
Sekarang kita perlu mencari titik keseimbangan (equilibrium), mencari titik kesimbangan yang dampak kerugiannya sangat minimal. Pertama, tentu aturan main (beleid) perlu diatur kembali yang mengalami tumpang tindih aturan. Seperti yang disampaikan oleh Simon F Sembiring mantan Dirjen minerba di seminar Kompasiana 25 Mei 2015 yang mengungkapkan peraturan antara PP dan Permen ESDM yang saling bertentangan, apakah boleh ekspor bauksit atau tidak saja belum jelas. Artinya aturan harus satu suara biar tidak menimbulkan kegaduhan.
Kedua, meminjam istilah yang disampaikan oleh Prof Bambang Suharno pakar metalurgi UI pada kesempatan yang sama. Beliau mengatakan tentang equal treatment, perlakuan yang sama terhadap siapapun. Aturan tentu harus ditegakan. Jangan sampai aturan itu pilih kasih. Jangan sampai perusahaan-perusahaan besar diperbolehkan ekspor mineral dalam bentuk konsentrat hanya karena ada komitmen semata, sementara yang lain perusahaan-perusahaan bauksit dalam negeri sama sekali tidak diperbolehkan ekspor. Padahal salah satu nilai hukum adalah equity of law yang harus diterapkan dengan equal treatment.
Ketiga, pembangunan alumina plant juga membutuhkan waktu. Saat ini menurut data APB3I yang tercepat berprogress baru Harita Grup (48,08%) dan Bintan Alumina Indonesia (20%). Sementara sisanya masih dalam proses feasibility study (kajian kelayakan), bahkan Rusal dari Rusia juga tidak jelas kelanjutannya. Realitanya apabila membaca Permen ESDM No 1 Tahun 2014 bauksit diamanahkan harus dilakukan pemurnian di atas 90% maka untuk mencapai itu penulis pikir perlu juga diberikan insentif dengan dibuatkan road map. Hal ini mengingat kondisi eksisting alumina plant yang belum ada yang beroperasi, apakah selama itu pula ekspor bauksit akan tetap dilarang? Dalam jangka pendek pemerintah harus sedikit membuka keran ekspor bauksit, namun tidak boleh lebih dari sekian persen kapasitas produksi per perusahaan. Misal kapasitas 1000 ton, maka yang boleh diekspor misal 25% atau 50% dari total kapasitas produksi.
Memang pemerintah juga tidak bisa disalahkan 100% mengingat UU lahir di 2009 artinya sudah 7 tahun pemerintah memberikan kesempatannya kepada perusahaan yang memiliki IUP. Dalam jangka waktu itu ekspor bauksit juga mencapai angka yang sangat melonjak dimana seperti tahun 2009 produksi bauksit baru sebesar 783.000 mt, pada tahun 2011 melonjak menjadi 17.634.000 mt atau naik 2150%. Apalagi pemerintah kembali melonggarkan aturan mineral smelter hingga 2017.
Namun demikian, penulis pikir pemerintah harus memberikan insentif bagi perusahaan-perusahaan yang pemilik IUP yang juga membangun smelter entah dalam bentuk keringanan pajak atau penambahan jangka waktu konsensi pertambangan sekian tahun. Hal ini untuk mengurangi gap produksi bauksit dengan kapasitas alumunia plant yang saat ini masih belum seimbang. Dimana kapasitas alumina plant 13,6 juta sga sementara produksi bauksit lebih dari itu, bahkan disebut-sebuh 1 hingga 2 kali lipat dari kapasitas alumina plant.
Jadi penulis pikir, perlu diberikan insentif bagi yang diprioritaskan bagi pemilik IUP yang ingin membangun smelter alumina. Namun untuk memberikan insentif itu, pemerintah juga perlu mengatur ketat persyaratannya seperti halnya di industri hulu migas dimana ada aturan PTK (pedoman tata kerja) yang mengatur terkait sekian persen kandungan lokal dalam proses hulu migas atau mengatur sekian persen tenaga dismelter harus orang indonesia (lokal dan nasional). Semoga, ini adalah win-win solution bagi semua pihak.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H