[caption id="attachment_383823" align="aligncenter" width="350" caption="Skripsi tentang Pasar Tradisional/Rakyat Colombo Kabupaten Sleman (Dokumen Pribadi)"][/caption]
Belajar di Jogja. Sekitar tahun 2011, Pasar Rakyat Colombo yang berlokasi di Jalan Kaliurang KM 7 Desa Condong Catur, Kecamatan Depok, Kabupaten Sleman, Propinsi Yogyakarta menjadi tempat yang sangat berjasa bagi penulis. Bagaimana tidak, berkumpulnya para pedagang sayur mayur, buah-buahan, bumbu masak, daging, ikan laut, roti (brambang), pakaian, makanan, tape dan lainnya yang berjualan dari pukul 04.00-12.00 WIB di pasar tersebut menjadi jalan bagi penulis dalam menyelesaikan tugas skripsi untuk mendapatkan gelar Sarjana Ekonomi dari FEB UGM di tahun 2012.
Dulu Pasar Colombo di Sleman masih sama dengan pasar-pasar Rakyat lainnya jauh berbeda dengan pasar modern dari sisi penerangan, kerapihan dan kebersihan. Sehingga jam operasional pasar Rakyat juga terbatas, berbeda dengan pasar modern. Begitu pula dari sisi kerapihan dan kebersihan.
Masih di tahun 2012 juga, Saya kebetulan bergabung menjadi asisten di Pusat Studi Ekonomi Kebijakan Publik Universitas Gadjah Mada. Kita terjun ke Pasar Rakyat Sentolo Kulonprogo diminta oleh Pemerintah Kabupaten Kulonprogo untuk mendata para pedagang yang rencananya mau direlokasi dipindahkan ditempat jualan yang lebih layak dan ke tempat yang lebih strategis.
[caption id="attachment_383824" align="aligncenter" width="448" caption="Kondisi Pasar Sentolo Lama (Dokumen Pribadi)"]
Kondisi Pasar Sentolo juga tak ayalnya pasar Rakyat pada umumnya. Menurut Dinas Perindustrian, Perdagangan, dan Energi Sumber Daya Mineral Kabupaten Kulon Progo (2012) kondisi Pasar Sentolo saat ini tidak memiliki sarana dan prasarana yang memadai dengan daya tampung yang sangat minim dan dimana sarana parkir sudah beralih fungsi menjadi tempat berjualan disamping itu daya tampung yang minim membuat banyak pedagang yang mendirikan bango-bango (bangunan yang tidak permanen) yang berada dipinggir jalan sehingga cukup menganggu aktifitas lalu lintas jalan dan kendaraan.
[caption id="attachment_383826" align="aligncenter" width="448" caption="Lapak-Lapak Dagangan Pasar Sentolo Lama (Dokumen Pribadi)"]
Kalau kondisi pasar Rakyat pasar rakyat dibiarkan terus menerus begitu, dengan kondisi yang semakin tidak menarik bagi pembeli, maka Saya khawatir sekali pasar Rakyat akan kalah bersaing meski dibeberapa wilayah ada peraturan daerah yang mengatur jarak minimal antara pasar Rakyat dengan pasar modern.
Hasil riset lembaga penelitian A.C Nielsen (2006) menunjukan bahwa pasar Rakyat menyusut 8% per tahun sedangkan diwaktu yang bersamaan pasar modern justru tumbuh 31,4% per tahunnya. Kondisi ini disebabkan oleh beberapa hal diantaranya menurunnya pembeli (67,2%), meningkatnya persaingan dengan supermarket (41,8%), meningkatnya persaingan dengan pedagang lain diluar pasar (44,8%), meningkatnya persaingan dengan minimarket (20,9%) dan kondisi pasar yang kian memburuk (13,8%).
Kondisi eksisting pasar Rakyat yang terus mengalami trend penurunan ini mendorong pemerintah daerah untuk merevitalisasi pasar Rakyat melalui pemerintah pusat melalui Kementrian Perdagangan Republik Indonesia (Kemendag). Revitalisasi pasar Rakyat ini dimaksudkan untuk memperkuat pasar domestik dan memperbaiki insfrastruktur pasar guna mendukung daya saing pasar Rakyat. Pelaksanaan program revitalisasi pasar dan pengembangan pasar percontohan masih dirasakan kurang jika dibandingkan dengan jumlah pasar yang ada.
Saat ini, menurut Kementrian Perdagangan (2012) jumlah seluruh pasar di Indonesia mencapai 12 ribu sampai 13 ribu unit pasar, ada sekitar 13.450 pasar Rakyat dengan 12,6 juta pedagang (Kompas, 2006). Sementara pasar yang sudah ditangani sejak digulirkannya program revitalisasi tahun 2005 baru mencapai 700 unit pasar, sedangkan untuk program pasar percontohan baru dimulai pada tahun 2011, yaitu di 10 unit pasar yang dilanjutkan dengan pengembangan 23 unit pasar rakyat percontohan pada tahun 2012 salah satunya adalah Pasar Sentolo sekarang pasar Rakyat Colombo juga sudah mengalami revitalisasi.
Kalau Saya melihat, revitalisasi ini penting supaya pasar Rakyat terus dapat bersaing meski harus bersaing dengan pasar modern. Pembeli tentu mendambakan tempat yang jauh lebih terang, jauh lebih bersih jauh lebih tertata rapih. Penjual juga demikian, berharap jumlah pembeli setiap hari terus meningkat agar omset dagang juga ikut meningkat.
Belajar dari Jogja: 2 Kunci Sukses Revitalisasi Pasar Rakyat
Pertama. Terbitkan Perda Aturan Zonasi Pasar Rakyat dengan Pasar Modern
Contoh di Pasar Sentolo Kulonprogo. Pasar Percontohan Sentolo sudah dilakukan peletakan batu pertama di 2012 lalu dan dibangun memanfaatkan lahan tanah kas Desa Salamrejo seluas 19.025 meter persegi dengan sistem sewa 20 tahun. Sedangkan pembangunan tahap pertama dengan dana Rp 6 miliar dari pusat Rp 5 miliar dan APBD Rp 1,131 miliar. Tahap akan diusulakan dana Rp 9 miliar masing-masing pusat Rp 7 miliar, kabupaten dan propinsi masing-masing Rp 1 miliar. Pasar Percontohan Sentolo ini berada di lokasi yang sangat strategis di pinggir jalan nasional, sehingga sangat mendukung dalam hal promosi.
[caption id="attachment_383825" align="aligncenter" width="448" caption="Kondisi Tahap Awal Pembangunan Pasar Sentolo Baru (Dokumen Pribadi)"]
Ini contoh bagus. Ada dukungan dari pemerintah baik pusat atau daerah untuk merevitalisasi pasar. Namun demikian, Kita perlu dukung juga pasar Rakyat dengan aturan zonasi antara pasar Rakyat dan pasar modern. Mereka berdua jangan didekatkan apalagi sengaja didekatkan. Sebenarnya Kita sudah punya yang namanya Perpres No. 112 Tahun 2007 tentang Penataan dan Pembinaan Pasar Rakyat, Pusat Perbelanjaan dan Toko Modern. Kita juga punya Permendag No 70/M-Dag/PER/12/2013 yang secara prinsip sama mengatur hal serupa. Bahkan yang terbaru, akhirnya Kita punya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 tentang perdagangan yang disahkan 11 Februari 2014 lalu.
[caption id="attachment_383829" align="aligncenter" width="448" caption="Revitalisasi Pasar Colombo Baru (Dokumen Abdul Azis Sudibyo, PSEKP)"]
Namun demikian, hal ini tidak mengurangi pentingnya pemerintah daerah mengatur zonasi melalui perbup/perwali/perda. Sebab di daerah lah aturan zonasi ditentukan, aturan zonasi terkait Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) dan Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) disusun, sebab di daerahlah Izin Usaha Toko Modern dikeluarkan. Bisa dibayangkan jika di daerah tidak ada peraturan yang mengatur tentang zonasi wilayah antara pasar Rakyat dan pasar modern?
[caption id="attachment_383828" align="aligncenter" width="448" caption="Pasar Sentolo Baru Ketika Dibangun (Dokumen Pribadi)"]
Contoh di Sleman, ada Perbup Sleman No.13 Th.2010 tentang Penataan Lokasi Toko Modern & Pusat Perbelanjaan. Sementara di Kulonprogo juga sudah ada, melalui Perda No 11 Tahun 2011 yang mengatur perlindungan pasar Rakyat dan penataan pusat perbelanjaan dengan toko modern. Nah, untuk itu bagi daerah yang belum memiliki ini maka perlu ada peraturan yang melindungi pasar Rakyat.
Kedua. Libatkan Lembaga Keuangan
Ini kasus skripsi saya di Pasar Colombo Sleman. Tiga puluh lima (35) orang pedagang dengan berbagai jenis dagangan menjadi objek penelitian penulis. Jumlah objek penelitian yang terkesan sedikit namun yang terpenting didasari oleh pendapat dari rule of thumb yang dijelaskan oleh Roescoe dalam Sekaran (2003) yang menyatakan bahwa jumlah sampel antara 30 hingga 500 sudah dirasakan memenuhi kebanyakan penelitian sosial yang sering terjadi. Dalam studi pustaka yang lain mengatakan tidak ada batasan yang jelas mengenai jumlah sampel yang kecil dan jumlah yang besar (Soeratno dan Arsyad, 2008).
Penelitian yang dijalani waktu itu adalah mencari tahu faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi omset para pedagang Rakyat Pasar Colombo di tahun 2011? Dengan model penelitian modifikasi dari Koivu (2002); Gillman dan Harris (2004a); Rahayu (2008) terkait pengaruh kredit terhadap pertumbuhan, lalu model Coob-Dauglas (Harvey dan Taylor, 1993) terkait pengaruh tenaga kerja terhadap output, dan model penelitian ini secara umum merupakan modifikasi dari model penelitian Kuncoro (2003) dan Narindra (2008) sehingga model yang digunakan waktu itu adalah seperti di bawah ini:
[caption id="attachment_383831" align="aligncenter" width="625" caption="Rumus Sederhana Skripsi (Dokumentasi Pribadi)"]
Dengan menggunakan software Eviews 4 dan alat analisis sederhana OLS (Ordinary Least Square) ditemukan bahwa kredit merupakan salah satu faktor yang berpangaruh positif terhadap omset para pedagang dengan nilai koefisien regresi variabel kredit, 0,4976. Hal ini menunjukan bahwa setiap kenaikan kredit sebesar 1% maka akan meningkatkan omset sebesar 0,4976% dengan asumsi ceteris paribus.
Walau model penelitian ini lolos uji signifikansi (uji t, uji F dan uji R2), uji asumsi klasik (uji normalitas, multikoliniearitas dan heteroskedastisitas) dan lolos uji dosen penguji, namun penelitian ini memiliki keterbatasan karena jumlah cakupan penelitian yang tidak begitu luas dan hanya para pedagang yang mendapatkan fasilitas kredit dari BMT Surya Amanah, sebuah BMT/lembaga keuangan yang ada diseberang pasar Colombo.
Namun demikian, fungsi kredit yang berpengaruh positif juga sejalan dengan beberapa penelitian lainnya. Hasil penelitian Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (2006) tentang pengaruh pembiayaan lembaga keuangan terhadap pengembangan omset pelaku usaha kecil pasar Rakyat dan inpres di Jawa Tengah, Jawa Barat dan Sulawesi Selatan menunjukan bahwa 78% responden di Jawa Tengah, 64,9% di Sulawesi Selatan dan 76,7% di Jawa Barat mengalami peningkatan omset usahanya setelah mendapatkan pembiayaan dari lembaga keuangan karena adanya tambahan modal kerja yang memang sangat dibutuhkan.
Tambahan modal kerja dari kredit akan berbanding lurus dengan revenue yang dihasilkan. Boediono (2008) mengatakan bahwa revenue adalah penerimaan produsen dari hasil penjualan outputnya dimana Total Revenue (TR) adalah penerimaan total produsen dari hasil penjualan outputnya. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan bahwa semakin besar realisasi kredit yang diberikan menyebabkan peningkatan perkembangan industri kecil di Yogyakarta dengan adanya penambahan unit usaha, penyerapan tenaga kerja, nilai investasi, nilai produksi, dan penggunaan bahan baku (Simbolon, 1996; Resnia, 2005).
Penyaluran kredit untuk pedagang bisa dilakukan ke ibu-ibu saja, ke para wanita yang berdagang. Hasil penelitian penulis, 66% pedagang Pasar Colombo adalah wanita. Studi literatur yang menunjukan bahwa kredit efektif disalurkan ke para wanita sudah terlampau banyak. Salah satunya kisahnya datang dari keberhasilan Muhammad Yunus di Bangladesh, bagaimana akhirnya dapat menerima penghargaan internasional karena saluran kredit yang diberikan kepada para wanita (Yunus, 2007).
Wanita yang terlibat di dalam komunitas yang dianggap akan berhasil di dalam penggunaan kredit karena wanita lebih mengerti makna komunitas. Community sendiri berasal dari bahasa Latin “munus”, yang bermakna the gift (memberi), cum, dan kebersamaan (togetherness) antara satu sama lain. Secara umum, komunitas (community) adalah sekelompok orang yang hidup bersama pada lokasi yang sama, sehingga mereka telah berkembang menjadi sebuah “kelompok hidup” (group lives) yang diikat oleh kesamaan kepentingan (common interests) (Syahuti, 2005).
Terakhir Saya berharap, menurut Kementerian Perdagangan (2012) ada sekitar 13.450 pasar Rakyat dengan 12,6 juta pedagang. Majunya pasar Rakyat akan menimbulkan kapitalisasi dalam bentuk multiplier effect. Jika kita berasumsi, 12,6 juta pedagang memiliki 3 anggota keluarga lainnya maka dukungan dari pemerintah daerah dan lembaga keuangan mampu meningkatkan omset pedagang, maka akan berdampak terhadap 37,8 juta orang secara ekonomi. Oleh karena itu, dukungan terhadap pasar Rakyat sama saja menghidupkan bisnis di Indonesia karena business is the heart of economic (Blakley, 1994).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H