Pada suatu saat, aku scrolling produk-produk yang ada di etalase digital sebuah toko buku. Di sana aku melihat ada sebuah judul buku yang kemudian menarik diriku untuk membacanya. Buku ini ditulis oleh Triana Ahdiati dan berjudul Gerakan Feminis Lesbian: Studi Kasus Politik Amerika 1990-an.Â
Judul buku ini menarik perhatianku karena memicu rasa penasaranku mengenai dinamika yang dialami oleh kaum LGBTQ, khususnya kaum homoseksual, yang bisa menyentuh panggung politik -- mengingat bahwa di Indonesia jangankan untuk berpolitik, untuk menunjukan representasi identitas diri dan/atau kelompok sebagai homoseksual saja sangatlah sulit. Mungkin saat membacanya, kalian akan terbesit (mungkin juga merasa marah) "lha iya tentu saja bisa masuk ke panggung politik, Amerika itu kan negara liberal. Beda sama Indonesia, jangan disamain!"
Justru inilah yang kemudian juga menarik perhatianku: apakah benar hal tersebut bisa terjadi karena memang Amerika merupakan negara yang menghormati kebebasan? Setelah kubaca buku ini, aku sampai pada kesimpulan bahwa kontribusi Amerika sebagai negara (yang di kemudian hari) terbuka merupakan salah satu dari sekian banyak kontribusi yang ada (kalo menurutku sih, Amerika sebagai negara terbuka juga merupakan hasil dari dinamika politiknya).Â
Hal ini bisa kita temukan dalam buku ini mengenai perlakuan masyarakat terhadap homoseksualitas, dan sebagaimana kaum homoseksual di seluruh dunia, kaum homoseksual di Amerika mereka juga mendapat perlakuan yang tidak menyenangkan: mulai dari tatapan sinis di muka umum hingga dikucilkan dari masyarakat atau komunitas. Oleh karena inilah banyak pihak merasa butuh gerakan untuk melawan subordinasi terhadap kaum homoseksual, dan kemudian memicu agenda revolusioner kaum feminis lesbian yang menggairahkan mereka hingga ranah politik.
Mengenal Feminis Lesbian
Feminis lesbian merupakan sebuah ideologi terapan yang berasal dari dua ideologi yang telah berkembang terlebih dahulu, yaitu feminisme dan lesbianisme. Ideologi ini kemudian menjadi landasan bagi para penggeraknya untuk mewujudkan idealisme serta mencapai tujuan dalam pergerakannya. Dalam bukunya, Triati membedakan perbedaan feminisme sebagai ideologi dan teori; sebagai sebuah ideologi, feminisme bersandar pada oposisi dialektis terhadap seluruh ideologi dan praktik penderitaan (misogini). Sedangkan sebagai sebuah teori, feminisme bersifat holistik dan memusatkan perhatiannya pada hakikat penindasan global kaum perempuan serta subordinasinya terhadap laki-laki. Melalui teori dan praktiknya, feminisme bertujuan untuk membebaskan seluruh perempuan dari supremasi dan eksploitasi yang mengikutinya.
Sementara feminisme lebih merupakan konteks yang bersifat sosiopolitis, lesbianisme merupakan konteks yang lebih dipandang dalam ranah seksualitas. Lesbianisme lebih dilihat sebagai kategori seksual, yaitu female homosexuality, yang menitikberatkan pada istilah-istilah sexual behavior dan sexual identification. Kendati demikian, sebagai bagian dari feminisme, lesbianisme dilihat sebagai kategori women identified experience ketimbang sekedar isu genital sexuality. Hal ini dikarenakan bahwa lesbianisme dalam feminisme tak hanya dilihat sebagai homo erotic desire namun juga, lebih luas dari itu, diartikan seabgai pengalaman kaum perempuan yang secara khusus melibatkan ikatan sosial, emosional dari para perempuan.
Stimulan Gerakan Feminis Lesbian
Rasa emosional dan keterikatan sosial terhadap perempuan serta isu-isu sosial yang cenderung timpang gender sepanjang tahun 1950 sampai dengan 1960-an menjadi 'konsolidator' yang menggerakan kaum feminis dan lesbian untuk membela hak-haknya sebagai warga negara. Pemebentukan organisasi kemudian dilakukan, begitu pun dengan agenda-agenda mereka yang mereka laksanakan kemudian. Pada saat pergerakan tersebut dilaksanakan, Civil Rights Movement yang memang sedang marak terjadi di Amerika dan belahan dunia lainnya mendapatkan tempat di hati para penggerak Women's Liberation Movement (women's lib), yang lahir dari berdirinya NOW (The National Organization of Women) pada akhir Oktober 1964, untuk meletakan semangat revolusionernya melalui Civil Rights Movement. Civil Rights Movement sendiri merupakan gerakan yang menekankan pada tuntutan pembebasan hak-hak asasi manusia bagi mereka yang merasa tertekan atau bahkan tertindas, yang dalam konteks ini tak hanya perempuan, namun juga para homoseksual; gay dan lesbian, juga termasuk di dalamnya.
Stimulan gerakan feminis lesbian ini pun tidak terbatas pada menggemanya Civil Rights Movement, namun juga New Left yang pada saat itu muncul sebagai reaksi balik dari kondisi Amerika di akhir tahun 1950-an. Banyak orang-orang New Left yang sepakat dengan pernyataan bahwa "definisi peran yang ketat antara maskulinitas dan feminitas dalam masyarakat Amerika adalah sebuah contoh dari betapa kakunya (rigiditas) dan represifnya masyarakat Amerika".Â