Mohon tunggu...
Muhammad Rizky Fajar Utomo
Muhammad Rizky Fajar Utomo Mohon Tunggu... Lainnya - Personal Blogger

part-time dreamer, full-time achiever | demen cerita lewat tulisan | email: zawritethustra@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Viral: Arena Pertarungan Ideologi Budaya Pop Melalui Tren di Media Sosial

3 November 2021   12:37 Diperbarui: 3 November 2021   13:07 662
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: digitalinformationworld.com

Penggunaan media sosial belakangan ini menjadi sesuatu yang tak terelakkan dalam kehidupan setiap manusia. Hampir semua manusia tidak bisa tidak menggunakan media sosial. 

Sebagai medium komunikasi, media sosial menjadi sesuatu yang memudahkan kita dalam 'mencapai' sebuah hubungan dengan seseorang yang jauh secara fisik -- melalui media sosial kita bisa menjalin hubungan dengan orang di manapun kita berada. Kendati demikian, media sosial tidak hanya sebatas perantara saja. 

Media sosial kini sudah menjadi arena pertarungan ideologi budaya antar masyarakat. Hal ini bisa kita lihat dari kecenderungan 'viral' sebagai tujuan akhir sebagian besar pengguna media sosial.

Viral Sebagai Tren di Media Sosial

Kalau diamati dengan seksama, sudah cukup lama kita berdekatan dengan beragam hal yang 'viral'. Namun, baru-baru ini saja kosakata tersebut sering digunakan oleh kebanyakan para pengguna media sosial di Indonesia. Bahkan mungkin ada di antara kita yang menjadi bagian dari sesuatu yang 'viral' di tiap masanya. 

Viral sendiri dapat diartikan sebagai pernyataan mengenai sesuatu hal kejadian atau berita yang menjadi gempar secara cepat.  Terlepas dari negatif atau positifnya suatu muatan unggahan media sosial, sesuatu atau seseorang yang viral di media sosial, tentu saja akan dikenal banyak orang dari mana saja termasuk dari luar negeri.

Karena viral inilah banyak para pengguna termotivasi untuk menjadi sekreatif mungkin dalam membuat konten di media sosial, bahkan tak jarang banyak para pengguna yang rela melakukan sesuatu yang bahkan keluar dari batas kewajaran -- seperti penggunaan makanan atau bahan masakan berlebihan, dapat menyakiti diri sendiri, merugikan pihak lain, dan/atau menyebabkan kematian pada diri sendiri maupun orang lain. 

Padahal, tak perlu seperti itu, untuk menjadi viral nampaknya kita hanya perlu menampilkan konten-konten dengan muatan yang membantu kehidupan orang banyak seperti life hacks, tutorial dalam melakukan sesuatu, atau konten-konten yang lucu (maupun tidak) namun berbeda dari yang lainnya.

Viral dan Budaya Pop

Selama menggunakan media sosial, telah banyak di antara kita disuguhi oleh banyak hal yang viral di media sosial, yang terbaru adalah ramainya orang-orang mencoba membuat permen dalgona (dalgona candy) sebagai hasil dari hype-nya serial Squid Game. 

Di samping itu ada beberapa fenomena yang viral juga seperti fenomena Joget Pargoy, Boka-boka Dance, Pencil Bun yang diadaptasi dari serial Money Heist, dan yang lain sebagainya. Kesemua fenomena tersebut dapat dikatakan merupakan budaya pop.

Budaya sendiri erat kaitannya dengan cipta dan perilaku serta nilai-nilai yang dikandungnya. Maka sebutan budaya pop mengindikasikan pada ranah wujud budaya yang dapat dinikmati dan dipersepsi secara massal. Budaya pop secara historis mulai dikenal setelah perkembangan Eropa lalu meluas ke Amerika. 

Budaya ini berkembang disebabkan maraknya media televisi dan menjamurnya industri dalam banyak rupa. Diperkirakan, berkembangnya budaya pop di Indonesia sekitar/sejak tahun 80an, dan terus berkembang ke tahun 90an -2000an.

Budaya pop merupakan totalitas ide, perspektif, perilaku, meme, citra dan fenomena lainnya, yang dipilih oleh konsensus informal di dalam arus utama suatu budaya, dan oleh karena itu budaya pop amat sangat dinamis dan bersentuhan langsung dengan keseharian kita serta pengalaman kita. 

Salah satu karakter pop adalah mudah sekali bergeser oleh waktu. Ia sangat tergantung pada bagaimana citra yang membentuknya. Bila citra itu kuat dalam benak massa (masyarakat konsumer) maka budaya itu akan bertahan lama. Dari sini dapat dikatakan bahwa budaya pop memiliki sifat yang kurang lebih sama seperti budaya daerah yaitu dibentuk dari rakyat dan untuk rakyat.

Fenomena-fenomena yang mendapatkan predikat viral, yang kerap kita temui dalam kehidupan sehari-hari baik melalui linimasa media sosial, recommendation page, maupun portal berita online merupakan salah satu bentuk representasi bagaimana suatu budaya pop sedang berlangsung menjadi sebuah referensi; bersama-sama secara sadar maupun tidak sadar menyukai hal tersebut, membagikan hal tersebut sehingga menjadi rujukan bagi setiap pengguna yang ingin membuat konten di media sosial. 

Hal ini menjadikan bahwa antara satu fenomena yang viral dengan yang lainnya terdapat pertarungan dalam menempati predikat viral tersebut -- berkaitan dengan seberapa lamanya suatu fenomena menjadi referensi bagi para pengguna media sosial dalam membuat konten.

Viral: Arena Pertarungan Ideologi Budaya Pop di Media Sosial

Sebagai arena pertarungan ideologi, viral bersifat metafisik, yaitu tidak terdapat wujud materialnya dan terdapat di belakang bentuk fenomena viral tersebut. Banyak di antara fenomena viral yang terjadi, fenomena tersebut dikeluarkan oleh akun-akun 'besar' yang tak jarang telah bisa mendapatkan uang dari iklan yang mereka siarkan di akun mereka. 

Hal ini membuktikan bahwa banyak pembuat konten (content creator), baik dari sebuah industri besar maupun dari individual, yang berlomba-lomba untuk menjadi viral, untuk menjadi referensi dalam membuat konten bagi para pengguna lain.

Dalam rangka menjadi referensi inilah yang kemudian akan membawa kita kepada  pengertian ideologi Gramscian. Dalam analisa Gramscian, ideologi dipahami sebagai sebuah ide, makna, dan praktik sebagai peta makna yang menopang kekuasaan kelompok sosial tertentu. 

Inilah yang kemudian menjadikan ideologi tidak dapat dipisahkan dari aktivitas praktis kehidupan serta menyediakan aturan perilaku praktis dan tuntunan moral, yang mana dalam analisa Gramscian hal ini diibaratkan sebagai agama yang secara sekuler dipahami sebagai kesatuan keyakinan antara konsepsi dunia dan norma tindakan terkait.

Menurut Gramsci sendiri, semua orang bercermin dari dunia dan melalui common sense kebudayaan pop, mereka mengorganisasi kehidupan dan pengalaman mereka. Common sense sendiri adalah suatu kemampuan untuk mencerap atau mempersepsi dan memahami, serta memutuskan tentang sesuatu objek tertentu secara langsung. 

Dengan demikian, pengetahuan common sense adalah pengetahuan yang terjadi karena aktivitas kesadaran yang secara langsung mencerap objek, secara langsung memahami objek, dan secara langsung pula menyimpulkan serta memutuskan tentang objek yang ingin diketahui itu. 

Jika demikian halnya, objek adalah objek yang secara langsung dihadapi subjek, artinya dalam kurun waktu tertentu diketahui dan dialami bersama, sehingga common sense terjadi karena orang-orang memiliki kesan yang hampir sama terhadap objek itu.

Jadi, menurut Gramsci, mengutip Chris Barker dalam Cultural Studies: Teori dan Praktik, common sense merupakan arena krusial bagi konflik ideologis, bagi pertarungan ideologis, dan khususnya perjuangan untuk membentuk 'logika yang baik', yang mana bagi Gramsci tentu saja hal itu juga merupakan pengakuan atas karakter kelas dalam sistem kapitalisme.

Viral, sebagai arena pertarungan ideologi antar budaya pop dari berbagai 'figur' di media sosial merupakan tempat di mana para figur berlomba-lomba memperebutkan pengaruh di media sosial atas ideologi budaya pop yang dibawa masing-masing oleh mereka, dan common sense inilah yang menjadi arena krusial pada perjuangan ideologis tersebut karena menjadi lahan bagi hal-hal yang 'diterima apa adanya', suatu kesadaran praktis yang memandu tindakan dalam semesta keseharian; common sense menciptakan 'folklore' masa depan, yaitu suatu fase pengetahuan popular yang relatif rigid pada ruang dan waktu tertentu.

SUMBER:

Barker, Chris. 2013. Cultural Studies: Teori dan Praktik (terj. Nurhadi). Kreasi Wacana: Yogyakarta

Abbas Hamami. 2003. Common Sense dalam Epistemologi G.E. Moore: Sumbangannya bagi Filsafat Ilmu. Catatan Disertasi, UGM Press: Yogyakarta

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun