Mohon tunggu...
Muhammad Rizky Fajar Utomo
Muhammad Rizky Fajar Utomo Mohon Tunggu... Lainnya - Personal Blogger

part-time dreamer, full-time achiever | demen cerita lewat tulisan | email: zawritethustra@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Merawat Tubuh dan Kesadaran Eksistensial

7 Januari 2021   14:36 Diperbarui: 10 Januari 2021   19:12 307
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Masa kini inotentik atau yang disebut juga dengan 'das Gegerwantigen' dan diartikan oleh 'kehadiran' adalah saat di mana manusia jatuh dalam kesehariannya, tanpa kebulatan tekad, tanpa momen visi. Jika seseorang dalam merawat tubuhnya tidak membuka dirinya sebagai kemungkinan dan tidak menjatuhkan keputusan, melainkan sibuk dengan kesehariannya begitu saja, maka ia berada pada titik masa kini inotentik yang mana akan segera lewat; tidak ditahan, seperti dalam 'momen visi'.  Seseorang akan berkata "saya akan melakukannya nanti saja, sekarang saya terlalu sibuk untuk berolahraga". Inilah yang oleh Heidegger dijelaskan bahwa "dipahami secara formal, setiap masa kini itu hadir namun tidak selalu mengandung momen visi". Artinya apa? Bahwa sebagai penunjuk waktu mengenai kekinian, 'nanti saja' dan 'sekarang' adalah suatu bentuk kekinian yang tak pernah dialami dan selalu luput begitu saja. 'Nanti saja' menandakan kejatuhan seseorang dalam kesehariannya dan 'sekarang' hanya menandakan sekuensi waktu belaka, tidak dialami sebagai 'momen visi' oleh seseorang itu, dan sudah tentu saja sebagaimana telah ditulis di atas, masa kini yang dialami oleh seseorang itu adalah inotentik.

Jika masa depan inotentik seseorang menunggu-nunggu, dan masa kini inotentik seseorang mengalami kejatuhan serta tidak mengalami momen visi, maka masa lalu inotentik adalah apa yang disebut oleh Heidegger dengan 'das Vergessen' atau jika diartikan adalah 'kelupaan'. Pada saat seseorang mengalami masa lalu otentik, ia akan merasakan keterlemparannya dan cemas, maka saat orang itu mengalami masa lalu inotentik ia akan lupa dalam kesehariannya, dalam kesibukannya. Kelupaan, menurut Heidegger, bukanlah tak adanya ingatan, melainkan sebaliknya, ingatan itu mungkin karena kelupaan; jadi karena ingatan yang surut ke belakang itu bisa raib, kita berusaha dalam keseharian kita untuk mengingat-ingatnya. Kelupaan, atau 'das Vergessen', dapat dialami saat seseorang larut menikmati media seperti menonton iklan tertentu atau pergi dengan teman untuk mengobrol di kafe atau taman, karena pada saat ini manusia tercerabut dari kecemasan dan keterlemparannya dan titik waktu ini surut dan lenyap ke belakang sekuensi waktu yang vulgar sehingga masa lalu menjadi inotentik karena Dasein tidak menyadari keterlemparannya dan dirinya sebagai kemungkinan.

EPILOG

Setelah ulasan di atas, penulis yakin bahwa tulisan ini masih jauh dari kata sempurna, namun untuk mengakhiri tulisan ini, penulis ingin memberi tanggapan atas ekstasis waktu dan kemewaktuan Dasein. Kita sudah membaca sedikit-banyaknya mengenai pemikiran Heidegger akan otentisitas dan inotentisitas Dasein dan mungkin ada pembaca yang ingin menjadi otentik dalam kemewaktuannya. Namun apakah benar Heidegger mengajak para pembaca pemikriannya untuk menjadi Dasein yang seutuhnya otentik? Menurut saya, tidak.

Masalah yang dilihat Heidegger juga bukanlah bagaimana kita menghindari keseharian, melainkan bagaimana kita di tengah-tengah keseharian menemukan penerangan eksistensial karena manusia tanpa pencerahan eksistensial, yang mampu menemukan dirinya sendiri, tidak sungguh-sungguh memanusia dan bukan manusia yang sungguh-sungguh, akan tetapi tidak ada manusia yang otentik dalam bentuk sempurnanya. Bagi Heidegger sendiri, manusia yang nyata dan konkret adalah otentik sekaligus inotentik, yang benar sekaligus palsu, yang jujur sekaligus menipu diri, utuh sekaligus terfragmentasi dalam dirinya.

Pada masa depan yang otentik dan inotentik, kita bisa melihat bahwa Dasein bisa suatu saat mengalami ketersingkapan dirinya sebagai kemungkinan-kemungkinan dan di suatu saat juga seseorang dapat menjadi sosok yang hanya menunggu-nunggu suatu klaim. Dari sini kita bisa mengetahui bahwa untuk mencari masa depan, jangan cari dalam kalender atau arloji, namun pada manusia yang menyadari dirinya sebagai kemungkinan; yakni yang terhempas pada Ada-nya dan cemas menghadapi kebebasannya. Kebebasan, itulah masa depan yang primordial; angka-angka dalam kalender dan arloji adalah objektifikasi waktu asali.

Dari kecemasan akan keterlemparannya juga kita bisa mengetahui, dalam pemikiran Heidegger, bahwa dalam suatu momen kemewaktuan masa kini-nya Dasein dapat mengalami 'momen visi' di mana kebulatan tekad serta pengambilan keputusan terjadi dan pada saat yang lainnya dapat menjadi sosok manusia yang begitu saja melewatkannya tanpa momen visi maupun kebulatan tekad atau jatuh ke dalam kesehariannya. Bagi Heidegger sendiri, orang yang tak punya tekad dan tenggelam dalam kesehariannya dapat dikatakan kehilangan waktu, tetapi mereka yang membulatkan tekad dan menjatuhkan suatu keputusan tidak akan pernah kehilangan waktu, ia 'selalu mempunyai waktu'. Mengapa? Karena kebulatan tekad itu sendirilah waktu, yaitu masa kini yang otentik, momen visi (Augenblick).

Tak hanya di masa depan dan masa kininya, namun otentisitas dan inotentisitas manusia juga terdapat di masa lalunya. Masa lalu otentik Dasein adalah saat ia kembali merasakan situasi keterlemparannya di mana ia kembali merasa sendiri dan adalah inotentik saat seseorang melupakan situasi itu entah karena menikmati hiburan-hiburan di media maupun obrolan dengan orang lain di suatu tempat. Lantas, apa yang coba ditegaskan oleh Heidegger melalui ketiga masa ini?

Menurut saya, Heidegger mencoba untuk menegaskan (dan juga mengajak) manusia untuk melihat fenomena dengan lebih jernih, dengan lebih jeli. Sebagaimana yang sudah disampaikan di atas bahwa manusia yang nyata dan konkret bukanlah manusia yang keluar dari kesehariannya dan mencoba menjadi se-otentik mungkin, melainkan manusia yang dapat dengan aktif dan sadar secara eksistensial di tengah kesehariannya. Mungkin keseharian itu banal, tetapi keseharian itu jugalah suatu cara berada Dasein. Bagi Heidegger, keseharian adalah 'tanah air' bagi ontentisitas dan inotentisitas manusia. Pertanyaannya adalah, pernah kita melihat fenomena secara jernih dan jeli, menjadi otentik? Siapkah kita merasa cemas, merasakan keterlemparan, bahwa kita di ada di dunia begitu saja saat mencandra kemewaktuan kita di dunia?

SUMBER

Hardiman, F. Budi, Heidegger dan Mistik Keseharian, Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia (KPG), 2016

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun