Mohon tunggu...
Muhammad Rizky Fajar Utomo
Muhammad Rizky Fajar Utomo Mohon Tunggu... Lainnya - Personal Blogger

part-time dreamer, full-time achiever | demen cerita lewat tulisan | email: zawritethustra@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Merawat Tubuh dan Kesadaran Eksistensial

7 Januari 2021   14:36 Diperbarui: 10 Januari 2021   19:12 307
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Tak dapat disangkal lagi bahwa tubuh merupakan bagian dari diri kita yang sangat esensial; kita bisa melakukan aktivitas seperti makan, main, bahkan hingga kesan dalam interaksi yang ditimbulkan pun tak luput kaitannya dengan tubuh, maka dari itu banyak dari kita sebisa mungkin merawat tubuh dengan menjaganya agar tetap dalam kondisi bugar hingga memiliki berat badan dan warna kulit yang dianggap ideal, baik melalui gaya hidup teratur dan perawatan-perawatan medis. Merawat tubuh bukanlah merupakan hal yang baru karena manusia telah melakukan ini sejak lama dalam berbagai era kehidupan dan kebudayaan manusia, dan tubuh itu sendiri pun telah sejak lama juga menjadi perhatian banyak ilmu pengetahuan, salah satunya adalah filsafat.

Hingga saat ini, kita akan menemukan banyak aliran filsafat yang salah satunya melakukan pemisahan ketat antara yang mental dengan yang fisik atau antara pikiran dengan tubuh. Salah satu filsuf yang terkenal dan identik mengenai gagasan ini adalah Descartes. Metode kesangsian Descartes dalam pemikirannya kurang lebih mengatakan bahwa subjek akan merasakan kemengadaannya saat ia berpikir dan hingga saat ini, kita mengenalnya dalam jargon "Cogito Ergo Sum!".

Sebenarnya, dalam metode ini Descartes merancukan (dengan sengaja?) antara berpikir (cogito) dengan meragukan (dubito) karena memang jika kita lihat ajakan berpikir Descartes berarti juga menyangsikan segala yang ada di luar pikiran kita, termasuk tubuh kita dan, nampaknya, dampak dari filsafat dengan oposisi biner pikiran dan tubuh membuat kita menempatkan diri ktia sebagai pengguna dan tubuh kita sebagai alat, sebagai objek belaka, yang maknanya hampir tidak pernah dipertanyakan maupun direnungkan.

Banyak filsuf dari berbagai macam aliran bereaksi terhadap gagasan dualisme Descartes ini, salah satunya adalah Martin Heidegger dan Maurice Merleau-Ponty, filsuf yang identik dengan gagasan fenomenologinya. Meskipun masing-masing dari mereka memiliki kekhasan tersendiri, namun keduanya tetap mengajak kita untuk merenungkan kembali kehidupan ini secara mendalam dan di sisi lain merenungkan kembali rasionalitas biner tradisional sebagaimana telah dijelaskan dalam paragraf sebelumnya.

MERAWAT TUBUH DILIHAT MELALUI PERSPEKTIF HEIDEGGER: DASEIN MENJADI YANG OTENTIK DAN INOTENTIK

Sebagai seorang metafisikus besar abad ke-20, kita sudah jelas tidak dapat mengabaikan Heidegger, salah satu filsuf berpengaruh yang hingga saat ini gagasannya masih diperbincangkan. Ia juga salah satu filsuf yang karya-karyanya tidak boleh kita lewatkan sama sekali saat kita mempelajari filsafat, apalagi jika kita ingin memahami pikiran-pikiran penulis antara lain Foucault, Sartre, Derrida, Caputo, Zizek, Bultmann, dan Gadamer.

Pengaruhnya di dalam filsafat tak dapat dipungkiri lagi karena Heidegger membuka pintu perkembangan bagi tiga aliran besar: fenomenologi, hermeneutik kontemporer, dan pasca-strukturalisme. Banyak pemikir dari berbagai aliran, sulit untuk menyangkal betapa mendasarnya problem yang dipikirkan oleh Heidegger, yakni mengenai ada; mengapa manusia ada? Mengapa lalu juga ia tiada? Apakah arti manusia di dunia ini? Dan jika keberadaan manusia terbatas oleh waktu, apakah sebenarnya waktu itu? Salah satu karya Heidegger yang terkenal dan membicarakan mengenai kemengadaan sekaligus waktu tersebut adalah Sein und Zeit.

Dalam karyanya, Sein und Zeit, Heidegger berpikir tentang hal-hal yang kita alami sehari-hari namun dengan cara yang mendalam. Dia mulai dengan pembedaan yang terkenal dalam filsafat, yakni perbedaan ontologis antara "Ada" (Sein) dan "mengada" (Seiendes) yang mana keduanya berkaitan erat dengan kehidupan otentik dan inotentik. Kita telah menjumpai banyak hal dalam kehidupan sehari-hari, seperti benda-benda, orang-orang, pikiran-pikiran, dan seterusnya, dan inilah yang disebut dengan "mengada" atau Seiendes. Kita bisa melihat dan merasakan mereka. Sedangkan, Ada atau Sein adalah sesuatu yang tak nampak yang menopang keberadaan mereka semua.

Manusia atau yang oleh Heidegger disebut sebagai Dasein, adalah pengada yang mengalami keterlemparan ke dunia ini. Itulah alasan mengapa Heidegger menyebut manusia sebagai Dasein (berada-di-sana); ia adalah dirinya sendiri, takkan terganti, dan terlempar begitu saja ke dunia ini. Kita mengarungi dunia tanpa sebelumnya tahu dengan pasti dan jelas mengapa kita ada, bagaimana kita ada dan apa sebenarnya tujuan kita ada di dunia ini. Oleh karenanya, Dasein sebagai pengada kerap merasakan kecemasan.

Elizabeth B. Hurlock dalam bukunya mengatakan bahwa tubuh akan menjadi bagian yang paling signifikan mendapat perhatian saat kita memasuki fase Masa Dewasa Dini, yakni dalam rentang usia 20 tahun -- 30 tahun. Ketika kita menjadi dewasa, laki-laki dan perempuan belajar untuk menerima perubahan-perubahan fisik yang terjadi pada dirinya serta tahu pula memanfaatkannya. Meskipun mungkin penampilannya tidak sebagaimana yang diharapkan, namun orang telah menyadari kekurangan-kekurangan dirinya dan menyadari bahwa ia tidak dapat menghapus kekurangan sekalipun dapat berusaha untuk memperbaiki penampilannya.

Kesadaran inilah yang kemudian mendorong laki-laki dan perempuan yang berada pada fase ini menuju hal-hal yang berkaitan dengan kecantikan, diet, dan olah raga. Kendati demikian, baik laki-laki maupun perempuan, tidak semuanya menjalani fase ini dengan tenang karena justru pada umumnya di fase inilah kecemasan mengenai diri memuncak sehingga banyak orang cenderung mengalami ketakutan dan kecemasan.

Pada Fase Masa Dewasa Dini kerap kita mendengar atau melihat bahkan merasakan fenomena Quarter Life Crisis. Hal ini lumrah karena pada masa inilah kita mengalami perubahan besar-besaran dalam berbagai aspek kehidupan dalam karir, percintaan, hingga penampilan, sehingga sebagai manusia kita kerap mengalami ketakutan dan kecemasan.

Dalam perspektif Heidegger, ketakutan dan kecemasan adalah dua hal yang berbeda. Menyadur buku karya F. Budi Hardiman yang berjudul "Heidegger dan Mistik Keseharian", bahwa ketakutan memiliki objek atau entitas yang jelas seperti polisi atau gelapnya kuburan yang membuat bulu kuduk merinding, sedangkan kecemasan tidak memiliki objek atau entitas yang jelas. Rasa cemas hadir dari totalitas disposisi dasariah kita yang berada-di-dalam-dunia itu sendiri. Dengan kata lain, rasa cemas adalah suasana hati dasariah yang menyingkapkan keterlemparan Dasein di satu pihak dan di pihak lainnya adalah suasanya hati yang timbul dengan latar belakang tersingkapnya keterlemparan itu dalam suatu momen eksistensial.

Dasein yang mengalami kecemasan, mengalami perasaan tidak mengenakan akan keterlemparannya, akan mulai mengambil langkah. Pada momen inilah Dasein menjadi otentik. Ia tidak melakukan pelarian ke dalam rutinitas keseharian untuk menghindari perasaan tak mengenakannya itu, melainkan melakukan perenungan kontemplatif mengenai bagaimana ia akan merawat tubuhnya yang mana hal ini merupakan langkah besar sekaligus keputusan jangka panjang. Bagi Dasein, yang berada pada momen seperti ini, memutuskan untuk merawat tubuh mereka merupakan hal yang krusial dalam hidup mereka dan akan menjadi komitmen seumur hidup.

Pada saat-saat seperti ini, Dasein biasanya akan merenungkan apa yang akan dilakukannya terhadap tubuhnya (merenungkan hendak melakukan perawatan apa saja dan bagaimana)  dan mengalami otentisitasnya. Namun, otentisitas bukanlah satu-satunya yang dapat dialami oleh Dasein karena Dasein juga mengalami inotentisitas dalam hidupnya.

Dalam pemikiran Heidegger, terdapat dalam tiga masa waktu; masa depan, masa kini, dan masa lalu. Ketiganya berkaitan dengan otentisitas dan inotentisitas Dasein selama kemewaktuan. Pertama-tama, sebelum memasuki pembahasan, kita harus mengingat bahwa saat berbicara mengenai kemewaktuan Dasein, ketiga waktu di atas bukanlah konsep vulgar semata seperti besok, dua tahun lagi, sekarang, saat ini, kemarin, lima tahun yang lalu, dan lainnya, sebagaimana mungkin tertera dalam kalender, jam tangan, maupun buku agenda. Apa yang ditawarkan oleh Heidegger dalam pemikirannya ini adalah untuk melihat dengan jernih otentisitas dan inotentisitas kemewaktuan Dasein.

Masa Depan, Masa Kini, dan Masa Lalu: Otentisitas Sebagai Ekstasis Waktu

Masa depan otentik oleh Heidegger disebut dengan 'das Vorlaufen' atau antisipasi. Maksud dari antisipasi adalah bahwa Dasein sebagai kemungkinannya sendiri yang paling khas membiarkan diri menghampiri dirinya sendiri. Maksud dari kemungkinan di sini adalah, melalui kecemasannya, Dasein bebas menghampiri kemungkinan-kemungkinan yang ada di hadapannya. Kecemasan adalah tanda kebebasan, tetapi mereka yang dalam kebebasannya ingin memutuskan hal itu akan merasa cemas; mengambil keputusan mendasar dengan sikap eksistensial. Masa depan otentik adalah ketersingkapan Dasein sebagai kemungkinan. Kecemasan Dasein mengenai ingin menjadi apa dan bagaimana tubuhnya kelak membuat Dasein sadar bahwa ia bisa mengambil keputusan apapun terhadap tubuhnya; mungkin merawat tekstur kulit dan rambut menjadi lebih lembut dan berkliau dengan 'skin care & hair care' secara rutin, menghilangkan stretch mark, membentuk otot dan lekukan pada tubuh dengan berolahraga, memberikan cukup asupan gizi ke dalam tubuhnya secara proporsional, melakukan perawatan medis misalnya dengan penyuntikan, tidak mengonsumsi hal-hal yang dapat merusak organ tubuh, dan lain sebagainya dengan tujuan agar tubuhnya menjadi lebih menarik, lebih sehat, atau yang lainnya semasa hidupnya, yang baginya semua hal itu akan menjadi aset jangka panjang. Itu semua bergantung pada dirinya. Saat dia menyadari dirinya sebagai kemungkinan, saat itulah masa depan otentik.

Jika masa depan otentik disebut dengan 'das Vorlaufen' atau antisipasi, berbeda dengan masa kini otentik yang oleh Heidegger disebut dengan 'Augenblick' yang bisa diterjemahkan juga dengan 'momen visi'. Momen visi adalah pelampauan Dasein dan ditekadi, keterpesonaan akan apa yang dijumpai dalam situasi keadaan-keadaan dan kemungkinan-kemungkinan yang  bisa ditangani. Jadi, kalau masa depan otentik adalah keterbukaan terhadap kemungkinannya sendiri, masa kini otentik bukan sekedar keterbukaan, melainkan momen kebulatan tekad. "Ya, saya akan menjaga tubuh saya agar tetap bugar dan sehat, bahkan saya akan membentuk lekukan di pinggang saya dan otot-otot di beberapa bagian tubuh saya seperti tangan dan kaki. Saya juga akan merawat kulit saya agar terjaga kelembaban serta teksturnya". Tepat pada momen inilah Dasein melampaui dirinya dalam kebulatan tekadnya. Kita pun bisa melihat dari sini bahwa masa kini otentik itu dihasilkan dari masa depan otentik, karena kebulatan tekad berasal dari antisipasi kemungkinan di masa depan.

Masa lalu otentik adalah salah satu ekstasis waktu yang dialami Dasein dalam kemewaktuannya dan oleh Heidegger disebut dengan 'Wiederholung' yang arti umumnya adalah pengulangan namun di tangan Heidegger berubah menjadi 'mengambil (holen)' 'kembali (wieder)'. Lantas apa maksud dari 'mengambil kembali'? Saat membuka diri terhadap kemungkinan di depan dan membulatkan tekadnya, Dasein juga kembali ke situasi keterlemparannya, ke dalam situasi di mana ia harus menghadapi semua ini sendirian. Heidegger menjelaskan bahwa "dalam antisipasi, Dasein mengambil dirinya kembali dalam kemungkinan yang paling khas miliknya". Jadi, keterlemparan sebagai suasana hati muncul kembali pada titik yang sama dengan antisipasi dan kebulatan tekad, maka dalam arti ini masa lalu otentik juga berasal dari masa depan otentik karena semua ekstasis waktu dihasilkan oleh masa depan otentik yang adalah kemungkinan yang paling khas milikinya atau 'kematian' yang datang menghampiri Dasein.

Masa Depan, Masa Kini, dan Masa Lalu: Inotentisitas Sebagai Sekuensi Waktu

Kendati demikian, manusia bukanlah makhluk tunggal yang realitas dan dirinya statis (tetap). Kedinamisan manusia dan realitasnya membuat manusia, dalam merawat tubuhnya, juga menjadikannya inotentik. Ketiga ekstasis waktu itu pun juga dapat berubah hanya menjadi sekuensi waktu, inotentik. Menyadur dari buku Heidegger dan Mistik Keseharian, masa depan inotentik disebut oleh Heidegger sebagai 'das Gewartigen' yang artinya 'menunggu-nunggu' (terpenuhinya suatu klaim). Dalam merawat tubuhnya, Dasein tadi lupa akan kecemasannya. Semisal seseorang yang merawat kulitnya agar menjadi lebih lembut dengan menggunakan produk tertentu dengan klaim dapat melembutkan kulit dalam jangka waktu tiga minggu, maka ia hanya akan menunggu dengan "oh, dalam tiga minggu lagi kulit saya akan menjadi lembut dengan menggunakan produk ini" sambil kemudian ia mempersiapkan diri untuk menghadapi apa yang ada di hadapannya dan hanyut dalam kesibukan sehari-hari.

Masa kini inotentik atau yang disebut juga dengan 'das Gegerwantigen' dan diartikan oleh 'kehadiran' adalah saat di mana manusia jatuh dalam kesehariannya, tanpa kebulatan tekad, tanpa momen visi. Jika seseorang dalam merawat tubuhnya tidak membuka dirinya sebagai kemungkinan dan tidak menjatuhkan keputusan, melainkan sibuk dengan kesehariannya begitu saja, maka ia berada pada titik masa kini inotentik yang mana akan segera lewat; tidak ditahan, seperti dalam 'momen visi'.  Seseorang akan berkata "saya akan melakukannya nanti saja, sekarang saya terlalu sibuk untuk berolahraga". Inilah yang oleh Heidegger dijelaskan bahwa "dipahami secara formal, setiap masa kini itu hadir namun tidak selalu mengandung momen visi". Artinya apa? Bahwa sebagai penunjuk waktu mengenai kekinian, 'nanti saja' dan 'sekarang' adalah suatu bentuk kekinian yang tak pernah dialami dan selalu luput begitu saja. 'Nanti saja' menandakan kejatuhan seseorang dalam kesehariannya dan 'sekarang' hanya menandakan sekuensi waktu belaka, tidak dialami sebagai 'momen visi' oleh seseorang itu, dan sudah tentu saja sebagaimana telah ditulis di atas, masa kini yang dialami oleh seseorang itu adalah inotentik.

Jika masa depan inotentik seseorang menunggu-nunggu, dan masa kini inotentik seseorang mengalami kejatuhan serta tidak mengalami momen visi, maka masa lalu inotentik adalah apa yang disebut oleh Heidegger dengan 'das Vergessen' atau jika diartikan adalah 'kelupaan'. Pada saat seseorang mengalami masa lalu otentik, ia akan merasakan keterlemparannya dan cemas, maka saat orang itu mengalami masa lalu inotentik ia akan lupa dalam kesehariannya, dalam kesibukannya. Kelupaan, menurut Heidegger, bukanlah tak adanya ingatan, melainkan sebaliknya, ingatan itu mungkin karena kelupaan; jadi karena ingatan yang surut ke belakang itu bisa raib, kita berusaha dalam keseharian kita untuk mengingat-ingatnya. Kelupaan, atau 'das Vergessen', dapat dialami saat seseorang larut menikmati media seperti menonton iklan tertentu atau pergi dengan teman untuk mengobrol di kafe atau taman, karena pada saat ini manusia tercerabut dari kecemasan dan keterlemparannya dan titik waktu ini surut dan lenyap ke belakang sekuensi waktu yang vulgar sehingga masa lalu menjadi inotentik karena Dasein tidak menyadari keterlemparannya dan dirinya sebagai kemungkinan.

EPILOG

Setelah ulasan di atas, penulis yakin bahwa tulisan ini masih jauh dari kata sempurna, namun untuk mengakhiri tulisan ini, penulis ingin memberi tanggapan atas ekstasis waktu dan kemewaktuan Dasein. Kita sudah membaca sedikit-banyaknya mengenai pemikiran Heidegger akan otentisitas dan inotentisitas Dasein dan mungkin ada pembaca yang ingin menjadi otentik dalam kemewaktuannya. Namun apakah benar Heidegger mengajak para pembaca pemikriannya untuk menjadi Dasein yang seutuhnya otentik? Menurut saya, tidak.

Masalah yang dilihat Heidegger juga bukanlah bagaimana kita menghindari keseharian, melainkan bagaimana kita di tengah-tengah keseharian menemukan penerangan eksistensial karena manusia tanpa pencerahan eksistensial, yang mampu menemukan dirinya sendiri, tidak sungguh-sungguh memanusia dan bukan manusia yang sungguh-sungguh, akan tetapi tidak ada manusia yang otentik dalam bentuk sempurnanya. Bagi Heidegger sendiri, manusia yang nyata dan konkret adalah otentik sekaligus inotentik, yang benar sekaligus palsu, yang jujur sekaligus menipu diri, utuh sekaligus terfragmentasi dalam dirinya.

Pada masa depan yang otentik dan inotentik, kita bisa melihat bahwa Dasein bisa suatu saat mengalami ketersingkapan dirinya sebagai kemungkinan-kemungkinan dan di suatu saat juga seseorang dapat menjadi sosok yang hanya menunggu-nunggu suatu klaim. Dari sini kita bisa mengetahui bahwa untuk mencari masa depan, jangan cari dalam kalender atau arloji, namun pada manusia yang menyadari dirinya sebagai kemungkinan; yakni yang terhempas pada Ada-nya dan cemas menghadapi kebebasannya. Kebebasan, itulah masa depan yang primordial; angka-angka dalam kalender dan arloji adalah objektifikasi waktu asali.

Dari kecemasan akan keterlemparannya juga kita bisa mengetahui, dalam pemikiran Heidegger, bahwa dalam suatu momen kemewaktuan masa kini-nya Dasein dapat mengalami 'momen visi' di mana kebulatan tekad serta pengambilan keputusan terjadi dan pada saat yang lainnya dapat menjadi sosok manusia yang begitu saja melewatkannya tanpa momen visi maupun kebulatan tekad atau jatuh ke dalam kesehariannya. Bagi Heidegger sendiri, orang yang tak punya tekad dan tenggelam dalam kesehariannya dapat dikatakan kehilangan waktu, tetapi mereka yang membulatkan tekad dan menjatuhkan suatu keputusan tidak akan pernah kehilangan waktu, ia 'selalu mempunyai waktu'. Mengapa? Karena kebulatan tekad itu sendirilah waktu, yaitu masa kini yang otentik, momen visi (Augenblick).

Tak hanya di masa depan dan masa kininya, namun otentisitas dan inotentisitas manusia juga terdapat di masa lalunya. Masa lalu otentik Dasein adalah saat ia kembali merasakan situasi keterlemparannya di mana ia kembali merasa sendiri dan adalah inotentik saat seseorang melupakan situasi itu entah karena menikmati hiburan-hiburan di media maupun obrolan dengan orang lain di suatu tempat. Lantas, apa yang coba ditegaskan oleh Heidegger melalui ketiga masa ini?

Menurut saya, Heidegger mencoba untuk menegaskan (dan juga mengajak) manusia untuk melihat fenomena dengan lebih jernih, dengan lebih jeli. Sebagaimana yang sudah disampaikan di atas bahwa manusia yang nyata dan konkret bukanlah manusia yang keluar dari kesehariannya dan mencoba menjadi se-otentik mungkin, melainkan manusia yang dapat dengan aktif dan sadar secara eksistensial di tengah kesehariannya. Mungkin keseharian itu banal, tetapi keseharian itu jugalah suatu cara berada Dasein. Bagi Heidegger, keseharian adalah 'tanah air' bagi ontentisitas dan inotentisitas manusia. Pertanyaannya adalah, pernah kita melihat fenomena secara jernih dan jeli, menjadi otentik? Siapkah kita merasa cemas, merasakan keterlemparan, bahwa kita di ada di dunia begitu saja saat mencandra kemewaktuan kita di dunia?

SUMBER

Hardiman, F. Budi, Heidegger dan Mistik Keseharian, Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia (KPG), 2016

Hardiman, F. Budi, dkk., Filsafat Untuk Para Profesional, Jakarta: Kompas Media Nusantara, 2019

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun