Mohon tunggu...
Muhammad Rizky Fajar Utomo
Muhammad Rizky Fajar Utomo Mohon Tunggu... Lainnya - Personal Blogger

part-time dreamer, full-time achiever | demen cerita lewat tulisan | email: zawritethustra@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Homo Religiosus Neolitikum

15 April 2020   08:24 Diperbarui: 15 April 2020   17:08 320
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tanggapan

Setelah membaca kurang lebih sedikit pemaparan mengenai religiusitas Era Neolitikum, kita dapat melihat bahwa nampaknya masyrakat di era ini mengenal apa yang dalam filsafat Heidegger disebut sebagai Ada. 

Ada ini adalah sebuah energi mendasar yang mendukung dan menggerakan segala sesuatu yang hadir, bersifat transendental, melampaui segala 'keumuman cakupan', menopang Mengada-mengada dan memungkinkan Mengada-mengada ada. Mengenai hal ini, Karen Armstrong mengatakan, dalam bukunya yang berjudul Masa Depan Tuhan: "Dari dokumen-dokumen Neolitik dan peternak terkemudian, kita tahu bahwa ada Wujud yang bukannya satu wujud dihormati sebagai daya tertinggi yang paling sakral. 

Mustahil untuk mendefinisikan atau menjelaskannya, karena Wujud tersebut mencakup-semua daan pikiran kita hanya mampu berurusan dengan wujud-wujud partikular, yang hanya dapat berpartisipasi di dalamnya secara terbatas. Tetapi, objek-objek tertentu menjadi simbol yang pas bagi kekuatan Wujud, yang berkelanjutan dan bersinar menembusnya dengan kejelasan yang khusus". Lantas apa maksudnya?

Maksudnya adalah sebuah batu atau cadas, yang dalam era ini, sering melambangkan yang suci sekaligus mengungkapkan stabilitas dan ketahanan Wujud; bulan dengan daya pembaharuannya yang tiada habis; langit dengan transendensinya yang menjulang, ada di mana-mana dan keuniversalannya, tidak lah satu pun dari simbol-simbol ini disembah untuk dan dalam dirinya sendiri; orang tidak menyembah batu karena batu tersebut, tetapi batu tersebut menjadi fokus mereka untuk merasakan atau menyerap inti kehidupan, dan di sinilah biasanya seseorang akan mengalami ekstasis -- suatu keadaan di mana seseorang merasakan keluar dari dirinya yang biasa, suatu keterangkatan yang terasa lebih dekat dengan Ada, dengan energi transenden.

Tradisi dan ritus Era Neolitikum menganggap bahwa benda yang disakralkan menampung kosmos Ada. Kendati demikian, penghayatan tak hanya pada benda yang disakralkan, hal yang sama juga terjadi di mana orang akan merasa dan menganggap bahwa suatu benda dan/atau makhluk hidup menampung kosmos Ada sehingga keberadaannya akan dihargai -- tidak disakiti maupun dibunuh, pun jikalau seseorang mengharuskan membunuh suatu makhluk hidup hal tersebut dalam rangka mempertahankan diri atau untuk memenuhi kebutuhan kodrati seperti makan, sehingga pada kondisi pemenuhan kebutuhan kodrati ini dibutuhkan ritus sebaga bentuk penghormatan terhadap hewan buruannya.

Religiusitas Neolitik nampaknya di kemudian hari akan menemukan tempatnya dalam religisuitas yang memiliki model emanasi; di mana seluruh makhluk hidup maupun benda adalah perpanjangan atau 'keluaran' dari Ada sehingga sangat pantas untuk dihormati, tidak dirusak, maupun dibunuh, yang pada gilirannya emanasi ini akan menemukan tempatnya dalam agama yang hingga kini memiliki pengikutnya.

SUMBER

Armstrong, Karen. 2011. Masa Depan Tuhan. Bandung: PT. Mizan Pustaka

Hardiman, F. Budi. 2016. Heidegger dan Mistik Keseharian. Jakarta: KPG (Kepustakaan Populer Gramedia)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun