Mohon tunggu...
Muhammad Rizky Fajar Utomo
Muhammad Rizky Fajar Utomo Mohon Tunggu... Lainnya - Personal Blogger

part-time dreamer, full-time achiever | demen cerita lewat tulisan | email: zawritethustra@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Homo Religiosus Neolitikum

15 April 2020   08:24 Diperbarui: 15 April 2020   17:08 320
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
www.ancient-origins.net

Seiring dengan perkembangan zaman, terdapat pergeseran dalam agama kuno Paleolitik ini. Pada 9000 SM, terdapat pergeseran tradisi yang dialami oleh masyarakat purba dari berburu menjadi bertani, yang kemudian juga memengaruhi ritus-ritus yang ada. 

Jika sebelumnya pada tradisi berburu masyarakat purba tinggal di goa, melakukan inisiasi-inisiasi yang mampu merubah psikis dan memberikan pengalaman tertentu pada orang yang melakukan inisiasi, melakukan ritus-ritus 'pengembalian' ke dunia bawah pada Penguasa Hewan dengan empati dan partisipasi simbolis, maka pada tradisi yang berkembang selanjutnya yakni bertani terdapat pergeseran. 

Orang-orang sudah tidak lagi mengunjungi goa, berburu kehilangan daya tariknya dan beternak serta membajak ladang menjadi ritual yang menggantikan berburu; bumi yang subur mengambil alih kedudukan Penguasa Hewan dan disertai dengan berkembangnya mitos-mitos serta ritual baru berdasarkan pada kesuburan tanah yang memenuhi perasaan kaum laki-laki dan perempuan Zaman Neolitikum ini dengan kekaguman religius. 

Kesadaran mereka terhadap adanya sosok yang lebih tinggi di banding manusia-manusia merupakan kesadaran mereka akan adanya Wujud atau Being yang menyelimuti kehidupan mereka, yang menciptakan serta menyeimbangkan alam.

Sebagaimana seni, agama memerlukan upaya penumbuhan modus kesadaran yang berbeda. Manusia hidup dengan begitu banyak aturan sehingga secara berkala mereka mencari ekstasis, sebuah 'langkah keluar' dari norma; kita berusaha mencari pengalaman-pengalaman yang menyentuh secara mendalam dan di saat itu juga mengangkat kita untuk sementara 'keluar' dari dalam diri kita. 

Pada tulisan sebelumnya, apa yang ditampilkan di Lascaux  dapat dikatakan mungkin berbeda terlalu jauh dari praktik agama modern, namun kita tidak dapat mengerti hakikat pencarian religius ataupun keadaan keberagamaan kita saat ini jika tidak mengaresiasi spiritualitas yang muncul cukup awal dalam sejarah Homo Religiosus -- bagaimanapun juga esensi spiritualitas yang sekarang terdapat dalam agama-agama telah dan sempat mendapatkan tempatnya pada kehidupan masa ini.

Pada masa ini pula, selain terdapat peralihan ritus dari perburuan ke pertanian, manusia telah mulai mengamati fase bulan untuk tujuan praktis. 

Pada beberapa bagian dunia, bulan secara simbolis dihubungkan dengan sejumlah fenomena yang ternyata tidak terkait; perempuan, air, vegetasi, ular dan kesuburan. 

Kendati demikian, bulan dihayati memiliki makna dan energi yang sama dengan itu semua, yaitu daya hidup regeneratif, yang dapat terus-menerus memperbarui diri sendiri -- Karen Armstrong mendeskripsikan pemaknaan energi tersebut seperti ini: "segala sesuatu dapat dengan mudahnya tergelincir ke dalam ketiadaan, namun setiap tahun setelah kematian musim dingin, pohon-pohon menumbuhkan tunas baru, bulan mengecil tapi kemudian selalu membesar kembali dengan cemerlang, dan ular, simbol inisiasi universal, lepas dari kulitnya yang lama dan keluar dengan kulit baru yang mengkilap dan segar". 

Sama seperti halnya Era Paleolitikum, pada era ini perempuan menjelmakan daya hidup yang tak ada habisnya sebagaimana di era sebelumnya; digambarkan dengan  meski manusia dan hewan mati dalam perjuangannya mempertahankan kelangsungan hidup, perempuan tanpa hentinya menghasilkan kehidupan baru.

Tak banyak perubahan spiritualitas yang terjadi di era ini. Era Paleolitik maupun Neolitik sama-sama memaknai Ada yang menopang hidup mereka, namun nampaknya esensi dari yang Ada itu mengalami perubahan dalam pemaknaan; jika di Era Paleolitikum kegiatan berburu menjadi ritus yang menggantungkan dirinya pada Penguasa Hewan, maka di era ini kegiatan beternak dan berladang menjadi ritus yang menggantungkan dirinya pada The Great Mother yang menjaga keteraturan hidup -- atau dalam kata lain, menjaga keteraturan kosmos. Transformasi pemaknaan yang esensial ini mengubah Ada yang semula wujud menjadi Wujud.

Tanggapan

Setelah membaca kurang lebih sedikit pemaparan mengenai religiusitas Era Neolitikum, kita dapat melihat bahwa nampaknya masyrakat di era ini mengenal apa yang dalam filsafat Heidegger disebut sebagai Ada. 

Ada ini adalah sebuah energi mendasar yang mendukung dan menggerakan segala sesuatu yang hadir, bersifat transendental, melampaui segala 'keumuman cakupan', menopang Mengada-mengada dan memungkinkan Mengada-mengada ada. Mengenai hal ini, Karen Armstrong mengatakan, dalam bukunya yang berjudul Masa Depan Tuhan: "Dari dokumen-dokumen Neolitik dan peternak terkemudian, kita tahu bahwa ada Wujud yang bukannya satu wujud dihormati sebagai daya tertinggi yang paling sakral. 

Mustahil untuk mendefinisikan atau menjelaskannya, karena Wujud tersebut mencakup-semua daan pikiran kita hanya mampu berurusan dengan wujud-wujud partikular, yang hanya dapat berpartisipasi di dalamnya secara terbatas. Tetapi, objek-objek tertentu menjadi simbol yang pas bagi kekuatan Wujud, yang berkelanjutan dan bersinar menembusnya dengan kejelasan yang khusus". Lantas apa maksudnya?

Maksudnya adalah sebuah batu atau cadas, yang dalam era ini, sering melambangkan yang suci sekaligus mengungkapkan stabilitas dan ketahanan Wujud; bulan dengan daya pembaharuannya yang tiada habis; langit dengan transendensinya yang menjulang, ada di mana-mana dan keuniversalannya, tidak lah satu pun dari simbol-simbol ini disembah untuk dan dalam dirinya sendiri; orang tidak menyembah batu karena batu tersebut, tetapi batu tersebut menjadi fokus mereka untuk merasakan atau menyerap inti kehidupan, dan di sinilah biasanya seseorang akan mengalami ekstasis -- suatu keadaan di mana seseorang merasakan keluar dari dirinya yang biasa, suatu keterangkatan yang terasa lebih dekat dengan Ada, dengan energi transenden.

Tradisi dan ritus Era Neolitikum menganggap bahwa benda yang disakralkan menampung kosmos Ada. Kendati demikian, penghayatan tak hanya pada benda yang disakralkan, hal yang sama juga terjadi di mana orang akan merasa dan menganggap bahwa suatu benda dan/atau makhluk hidup menampung kosmos Ada sehingga keberadaannya akan dihargai -- tidak disakiti maupun dibunuh, pun jikalau seseorang mengharuskan membunuh suatu makhluk hidup hal tersebut dalam rangka mempertahankan diri atau untuk memenuhi kebutuhan kodrati seperti makan, sehingga pada kondisi pemenuhan kebutuhan kodrati ini dibutuhkan ritus sebaga bentuk penghormatan terhadap hewan buruannya.

Religiusitas Neolitik nampaknya di kemudian hari akan menemukan tempatnya dalam religisuitas yang memiliki model emanasi; di mana seluruh makhluk hidup maupun benda adalah perpanjangan atau 'keluaran' dari Ada sehingga sangat pantas untuk dihormati, tidak dirusak, maupun dibunuh, yang pada gilirannya emanasi ini akan menemukan tempatnya dalam agama yang hingga kini memiliki pengikutnya.

SUMBER

Armstrong, Karen. 2011. Masa Depan Tuhan. Bandung: PT. Mizan Pustaka

Hardiman, F. Budi. 2016. Heidegger dan Mistik Keseharian. Jakarta: KPG (Kepustakaan Populer Gramedia)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun