Aku menangkap bahwa Zarathustra, melalui perkataannya tersebut, menginginkan manusia untuk selalu menjembatani dirinya sendiri, selalu menyebrangi dirinya sendiri, selalu mengatasi dirinya sendiri, untuk melampaui dirinya sendiri. Namun jembatan manusia ini tidaklah menjadikan manusia beranggapan bahwa dirinya hanya sekedar jembatan, manusia harus beranggapan bahwa manusia merupakan proses pelintasan itu, proses pelampauan itu.Â
Itu yang terpenting dari Ubermensch bagiku; proses untuk selalu melampaui kebaikan-keburukan dunia, menampung mereka, bukan lari dari mereka, tentu saja hal ini juga berarti untuk melepaskan serta melampaui kepercayaan mereka -- tidak terpaku pada kepercayaan tersebut. Ubermensch merupakan kehendak berkuasa yang lepas dari manifestasi kebutuhan akan percaya. Perumpaaan Zarathustra bahwa manusia adalah jembatan, manusia tidak seharusnya berhenti di suatu tempat; bahwa manusia harus terus melangkah melampaui dirinya, berproses sebagai Ubermensch.
Kepercayaan manusia terhadap tuhan-tuhan ternyata memengaruhi kehendak berkuasanya. Setyo A. Wibowo, dalam kuliah filsafat Nietzsche mengenai Kehendak Berkuasa dan Kebutuhan untuk Percaya berkata:
"bagi Nietzsche soal fanatisme atau relativisme di depan isi kepercayaan merupakan mekanisme internal kebutuhan untuk percaya yang ada di dalam individu itu sendiri, bukan oleh kuantitas atau isi kepercayaan yang diketahui. Investasi psikologis seseorang atas apa yang ia percayai itulah yang menentukan apakah dia menjadi fanatis atau relativis.Â
Soalnya bukan pada jumlah atau kuantitas isi kepercayaan yang bersifat bisa saling dipertukarkan serta diluar subjek, soal yang pokok adalah pada kualitas dari sesuatu yang membutuhkan kepercayaan tersebut, yaitu kualitas kehendak seseorang, dalam bahasanya Nietzsche.Â
Pekat-cairnya intensitas kebutuhan untuk percaya inilah yang mencerminkan kualitas kehendak -- apakah suatu kehendak itu utuh, kuat atau sebaliknya terserak-serak, cacat. Semakin kualitas kehendak seseorang cacat, kebutuhannya untuk pegangan atau percaya akan besar.."
Dari sini, aku mendapatkan bahwa kepercayaan itu tidak bermasalah, kepada agama, kepada sains, kepada ateisme, dan lain sebagainya, melainkan manusia itu sendiri yang bermasalah. Mengapa manusia ingin selalu benar dan tidak ingin sedikitpun salah? Karena kita ingin kebenaran (versi kita) berkuasa di atas segala macam kebenaran lain!Â
Tentu saja kehendak serta usaha dalam menegakan kebenaran dapat memicu seseorang untuk menjadi fanatis atau relativis. Kehendak akan kebenaran merupakan manifestasi kebutuhan akan percaya. Manusia memanifestasikan kebutuhan akan percaya-nya dalam serangkaian kehendaknya untuk berkuasa (membuat kebenarannya berkuasa).Â
Sebenarnya, melalui Maka Bersabdalah, Zarathustra! dan didukung oleh buku lainnya, kita dapat menarik bahwa untuk mendapatkan kehendak berkuasa yang kuat dan utuh kita harus menanyai kehendak kita sendiri.
Pada saat kita memiliki dan akan melaksanakan kehendak, Nietzsche menekankan pada semacam introspeksi diri yang mendalam bahwa pada saat manusia menghendaki sesuatu ia haruslah bertanya apakah ia benar memaui kehendak tersebut dan bertanya apakah kemauan terhadap kehendak tersebut benar-benar ia maui dan bertanya lagi apakah ia memaui kemauan terhadap kemauan kehendak tersebut dan bertanya lagi seterusnya seterusnya, apa yang terdalam dari diri manusia.Â
Lalu apakah ini berarti manusia  akan selalu melakukan suatu penundaan terhadap suatu kehendak? Belum tentu! Manusia dapat selalu memperbarui kehendaknya selagi melakukan kehendaknya, mencari tahu apa yang sebenarnya dimaui selama melakukan kehendak karena kehendak merupakan diri; pemikiran, insting, dan nafsu.Â