Sejauh manusia menghamba pada sesuatu, ia telah 'membakar' dirinya sendiri (kehilangan dirinya sendiri), lalu kita menyadari bahwa Tuhan hanya proyek antropomorfistik belaka, kita membawa diri kita (mengatasi diri kita) ke atas 'gunung-gemunung' di mana kita melampaui Tuhan, maka hantu (bekas diri kita yang dahulu menghamba) lari dari kita.
Penghambaan manusia terhadap sesuatu umumnya didasari oleh pemberian nilai-nilai yang lebih terhadap Tuhan tersebut. Penghambaan terhadap agama, negara, ideologi, sains, dan lain sebagainya tentu saja merupakan bentuk antropomorfistik manusia.Â
Sejauh tuhan-tuhan tersebut diberi nilai seperti "maha kuasa", "baik", "benar", "salah", "empiris", "benar-benar tidak ada" dan lain sebagainya, maka tuhan tersebut tidak lebih dari sekedar proyek antropomorfistik; bahwa ada sesuatu yang lebih berkuasa, lebih baik, lebih benar, lebih salah, lebih empiris, daripada manusia.Â
Bukankah manusia yang memberi nilai bahwa sesuatu tersebut lebih daripada dirinya? Ya! Karena binatang maupun tumbuhan tidak mampu melakukan demikian! Kalau begitu, bukankah berarti manusia lebih daripada apa yang mereka beri nilai karena jika tanpa manusia maka tuhan-tuhan tersebut tidak berarti apa-apa? Namun kita tidak menyadarinya, kita menghamba pada sesuatu yang bahkan kita beri nilai!
Ini merupakan salah satu bentuk ateisme, namun jika demikian bagaimana dengan hal-hal di luar sana banyak sesuatu yang memiliki kekuatan lebih dan memengaruhi diri kita? yang belum bisa dicapai oleh nalar manusia? Ini merupakan titik di mana manusia, yang belum memiliki segala pengalaman, masih terus belajar, mulai mengafirmasi isi kitab suci -- setidaknya sejauh ini, inilah yang dapat kurasakan dari mereka.Â
Manusia-manusia ini takut, mereka butuh percaya terhadap proyek antropomorfistik mereka, maka mereka menggunakan ketidaktahuan ini untuk mengafirmasi segala nilai "maha-" yang mereka berikan. Tentu saja hal ini tidak berlaku pada agama saja, namun pada hal lain yang disebutkan di atas, pada segala jenis tuhan yang manusia sembah. Â
Dari sini ateisme bisa mengatakan bahwa tidak ada Tuhan, yang ada hanyalah tuhan, namun dari mana kita bisa tau bahwa di sini atau di sana ada atau tidak ada Tuhan? Ini tentu merupakan perdebatan yang melelahkan namun terus berlanjut dan berulang bagi kita semua.
Namun menganggap bahwa Ubermensch merupakan tujuan manusia -- atau bahkan merujuk pada satu jenis manusia tertentu nampaknya bukan itulah tujuan Zarathustra turun. Zarathustra berkata:
"Manusia adalah tali, diikat di antara binatang dan Ubermensch -- seutas tali di atas jurang maha dalam. Bahaya pergi menyeberang, bahaya mengembara, bahaya menoleh belakang, bahaya gemetaran dan diam berhenti.
Apa yang megah dalam diri manusia bahwa ia adalah jembatan bukan tujuan; apa yang patut dicintai dalam diri manusia bahwa ia adalah perjalanan naik-keatas dan turun- kebawah. Aku cinta mereka yang tidak tahu bagaimana untuk hidup kecuali hidup mereka adalah turun-kebawah karena ada mereka yang naik-keatas."
Manusia merupakan jembatan, manusia tidak akan mencapai Ubermensch. Ubermensch bukanlah suatu jenis ras manusia, pun suatu sosok penyelamat umat manusia karena jika ditafsir demikian maka hanya utopia belaka yang kita dapatkan, karena sejak 2 abad kematian Nietzsche berlalu, Ubermensch sama sekali belum ada hingga saat ini.Â