Mohon tunggu...
Rizky Arya Kusuma
Rizky Arya Kusuma Mohon Tunggu... Mahasiswa - Belajar nulis.

Butiran debu dari jagad buana, sekadar berusaha bermanfaat bagi sesama.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Golput, Sebuah Pilihan yang Kurang Strategis

22 Juni 2023   11:55 Diperbarui: 22 Juni 2023   12:02 170
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Lalu, apa sih alasan dari orang-orang yang memilih golput? Idealisme? Kecewa dengan pilihan-pilihan yang ada? Putus asa karena siapapun yang menang tidak benar-benar berdampak bagi mereka? 

Tidak mau tangan mereka ikut kotor karena terlibat memasukkan penjahat/koruptor/penghianat ke dalam kekuasaan? Merasa bahwa peserta pemilu, caleg, atau pasangan capres-cawapres yang ada tidak sesuai dengan keyakinan/prinsip/ideologi/keinginan mereka? Sikap-sikap ideal seperti itu memang kelihatannya teguh berprinsip, memiliki pendirian yang kuat, tapi menurut saya kurang strategis.

Memang, memilih untuk golput, di satu sisi bisa dilihat sebagai sebuah idealisme mulia. Kenapa? karena setidak-tidaknya mereka telah "tidak terlibat" memasukkan "penjahat" untuk memegang otoritas atas kehidupan masyarakat. Namun, di sisi lain bisa juga dilihat sebagai pembiaran pada sesuatu yang lebih "jahat" (dari alternatif pilihan yang ada) untuk berkuasa. 

Mungkin diksi "jahat" sepertinya agak kasar maka bisa juga diganti dengan "kurang layak", kurang kompeten", "meragukan", dan lain-lain. Apapun itu, saya hanya mencoba memosisikan diri di pihak yang golput, memandang semua pilihan yang tersedia tidak sesuai dengan kriteria "ideal" mereka. Lantas, apa pilihan yang lebih strategis jika kita menganggap semua "calon" yang tersedia tidak sesuai dengan kriteria "ideal" kita?

Menurut saya, prinsip "pilih calon yang lebih sedikit tingkat kejahatannya/tidak layaknya/tidak kompetennya" bisa lebih strategis dan bermanfaat bagi kehidupan bangsa, walaupun memang harus mengorbankan "idealisme" kita.

Tentu saja mengalah pada idealisme itu berat dan tidak mudah. Tapi, ada saatnya kalau tidak dilakukan justru bisa tambah gawat. Kita bisa menengok kembali fenomena terpilihnya Trump di Amerika pada 2016 silam. 

Pilpres 2016 dianggap sebagai pilpres paling brutal dalam sejarah AS. Sebab, Trump berhasil menundukkan lawannya, Clinton, dengan mobilisasi politik identitas dan kebencian rasial yang masif. Padahal berbagai lembaga survei lebih memprediksi Clinton sebagai pemenang. 

Selain itu, kemenangan Trump juga akibat dari besarnya angka golput yang mencapai 38,6%. Berdasar data Pew Research Center, hampir separo golput berasal dari penduduk kulit berwarna. "Kebanyakan golput berusia muda, kurang berpendidikan, kurang sejahtera, dan memiliki kulit berwarna. 

Golput lebih banyak dari Demokrat," pernyataan Pew Research Center dilansir dari Washington Post. Artinya, ada sumbangsih dari para golput-ers Demokrat yang tidak mau memilih hanya karena menganggap Hillary Clinton TIDAK IDEAL. 

Akibatnya, terpilihlah Trump yang dikenal sebagai seorang populis, yang acapkali mengeluarkan retorika yang provokatif untuk memancing emosi para pendukungnya. Trump kemudian menjelma tidak hanya seorang Presiden, tetapi sekaligus simbol kebangkitan golongan kulit putih konservatif dan fundamentalis kristen di AS.

Nah, wahai para golput-ers, cobalah dipikirkan ulang, ketika golput justru berdampak buruk seperti yang pernah terjadi di AS, apakah iya masih relevan buat diterapkan di Indonesia? 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun