Mohon tunggu...
Rizky Arya Kusuma
Rizky Arya Kusuma Mohon Tunggu... Mahasiswa - Belajar nulis.

Butiran debu dari jagad buana, sekadar berusaha bermanfaat bagi sesama.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Golput, Sebuah Pilihan yang Kurang Strategis

22 Juni 2023   11:55 Diperbarui: 22 Juni 2023   12:02 170
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Suatu hari saya pernah mendapat komentar "GOLPUT aja udah!!!" Komentar itu adalah respon salah seorang pengikut Instagram saya atas pertanyaan instastory iseng saya, "Apa pendapat anak muda tentang politik?" Sontak saya agak terkejut, meskipun ini bukan pertama kalinya telinga saya mendengar ungkapan serupa.

Golput atau golongan putih ini biasanya ramai menjelang pesta demokrasi alias pemilu / pilpres. Golput adalah istilah yang diidentikkan kepada seseorang atau kelompok yang menolak menggunakan hak pilihnya dalam pemilu. 

Golput biasanya digunakan sebagai salah satu bentuk perlawanan terhadap praktik-praktik politik penyelenggara negara yang dianggap gagal atau setidak-tidaknya mengecewakan.

Istilah golput di Indonesia pertama kali muncul dari kalangan pemuda dan mahasiswa yang protes terhadap perhelatan pemilu tahun 1971. Pada waktu itu, golput merujuk pada gerakan menusuk bagian putih di kertas suara agar hasilnya tidak sah dan tidak dihitung. 

Namun, saat ini definisi dari golput lebih lentur lagi, tidak spesifik seperti ketika pertama kali muncul. Terkadang, orang-orang yang tidak menggunakan hak pilihnya karena alasan-alasan apolitis, seperti memilih berlibur, disamakan dengan mereka yang dengan kesadaran politis tertentu memilih tidak datang ke TPS atau datang ke TPS tapi "merusak" kertas suara.

Orang-orang yang golput ini biasanya dicap aneh-aneh. Dianggap apatis dan tidak dmeokratis. Namun, saya kurang setuju dengan stigma-stigma itu. Terlepas apapun alasan seseorang memilih untuk tidak menggunakan hak pilihnya, itu adalah bagian dari pilihan bebas warga negara. 

Justru ini seharusnya dilindungi dalam sistem politik demokrasi, sebab, dalam regulasi pun disebutkan bahwa memilih itu HAK, bukan kewajiban. Tetapi, ketika pilihan golput itu bergeser menjadi mengajak orang lain untuk golput tentu ini soal lain yang memang bisa diancam hukuman pidana.

Jadi, kepada orang-orang yang memiliki pandangan bahwa golput adalah pilihan terbaik, saya tentu menghormati pilihan itu. Saya tidak mau mengutuk orang-orang yang golput, apalagi sampai ikut-ikutan menuduh mereka anti politik. Namun, di sini saya hanya ingin berargumentasi bahwa menurut saya golput itu pilihan yang kurang strategis.

Momen pemilu kerap disebut sebagai pesta demokrasi rakyat. Sebab, lewat pemilu, rakyat diberikan hak memilih calon pemimpin, dari tingkat daerah hingga pusat. 

Adapun fungsi dari pemilu seminimalnya yaitu sebagai bentuk perwakilan politik rakyat, sirkulasi kepemimpinan, dan membentuk legitimasi pemimpin yang terpilih. Oleh karena itu, pemilu lekat dengan suatu proses pemilihan pemimpin dan di setiap pemilu akan selalu ada yang menang dan kalah.

Lalu, apa sih alasan dari orang-orang yang memilih golput? Idealisme? Kecewa dengan pilihan-pilihan yang ada? Putus asa karena siapapun yang menang tidak benar-benar berdampak bagi mereka? 

Tidak mau tangan mereka ikut kotor karena terlibat memasukkan penjahat/koruptor/penghianat ke dalam kekuasaan? Merasa bahwa peserta pemilu, caleg, atau pasangan capres-cawapres yang ada tidak sesuai dengan keyakinan/prinsip/ideologi/keinginan mereka? Sikap-sikap ideal seperti itu memang kelihatannya teguh berprinsip, memiliki pendirian yang kuat, tapi menurut saya kurang strategis.

Memang, memilih untuk golput, di satu sisi bisa dilihat sebagai sebuah idealisme mulia. Kenapa? karena setidak-tidaknya mereka telah "tidak terlibat" memasukkan "penjahat" untuk memegang otoritas atas kehidupan masyarakat. Namun, di sisi lain bisa juga dilihat sebagai pembiaran pada sesuatu yang lebih "jahat" (dari alternatif pilihan yang ada) untuk berkuasa. 

Mungkin diksi "jahat" sepertinya agak kasar maka bisa juga diganti dengan "kurang layak", kurang kompeten", "meragukan", dan lain-lain. Apapun itu, saya hanya mencoba memosisikan diri di pihak yang golput, memandang semua pilihan yang tersedia tidak sesuai dengan kriteria "ideal" mereka. Lantas, apa pilihan yang lebih strategis jika kita menganggap semua "calon" yang tersedia tidak sesuai dengan kriteria "ideal" kita?

Menurut saya, prinsip "pilih calon yang lebih sedikit tingkat kejahatannya/tidak layaknya/tidak kompetennya" bisa lebih strategis dan bermanfaat bagi kehidupan bangsa, walaupun memang harus mengorbankan "idealisme" kita.

Tentu saja mengalah pada idealisme itu berat dan tidak mudah. Tapi, ada saatnya kalau tidak dilakukan justru bisa tambah gawat. Kita bisa menengok kembali fenomena terpilihnya Trump di Amerika pada 2016 silam. 

Pilpres 2016 dianggap sebagai pilpres paling brutal dalam sejarah AS. Sebab, Trump berhasil menundukkan lawannya, Clinton, dengan mobilisasi politik identitas dan kebencian rasial yang masif. Padahal berbagai lembaga survei lebih memprediksi Clinton sebagai pemenang. 

Selain itu, kemenangan Trump juga akibat dari besarnya angka golput yang mencapai 38,6%. Berdasar data Pew Research Center, hampir separo golput berasal dari penduduk kulit berwarna. "Kebanyakan golput berusia muda, kurang berpendidikan, kurang sejahtera, dan memiliki kulit berwarna. 

Golput lebih banyak dari Demokrat," pernyataan Pew Research Center dilansir dari Washington Post. Artinya, ada sumbangsih dari para golput-ers Demokrat yang tidak mau memilih hanya karena menganggap Hillary Clinton TIDAK IDEAL. 

Akibatnya, terpilihlah Trump yang dikenal sebagai seorang populis, yang acapkali mengeluarkan retorika yang provokatif untuk memancing emosi para pendukungnya. Trump kemudian menjelma tidak hanya seorang Presiden, tetapi sekaligus simbol kebangkitan golongan kulit putih konservatif dan fundamentalis kristen di AS.

Nah, wahai para golput-ers, cobalah dipikirkan ulang, ketika golput justru berdampak buruk seperti yang pernah terjadi di AS, apakah iya masih relevan buat diterapkan di Indonesia? 

Apakah iya dari semua calon yang tersedia tidak ada yang sudah jelas-jelas lebih tinggi potensi kejahatannya/korupsinya/meragukannya/inkompetensinya? Kalau sudah ketemu, eliminasi, kasih suara anda ke lawannya, sesimpel itu. 

Tapi, darimana kita menilai potensi-potensi itu? Jika anda ingin melihat masa depan, maka lihatlah apa yang anda lakukan sekarang. Apabila konteksnya adalah calon-calon pemimpin, maka lihatlah track record, rekam jejak yang pernah mereka buat. Di era yang serba digital ini, tentu bukan hal sulit untuk mencarinya di media sosial, berita-berita, dan saluran lainnya.

Jadi, daripada golput yang kurang strategis atau justru bisa berdampak lebih buruk bagi masa depan bangsa, akan lebih strategis kalau pakai strategi "MENGHINDARI YANG TERBURUK." 

Daripada mencari dan memilih yang sesuai segala-galanya dengan ideologi/nilai/kriteria/sikap politik kita (yang agak mustahil bakalan ada hehe) akan lebih strategis kalau memilih calon-calon yang "PALING MENDEKATI IDEAL" kita.

Kita tentu bisa setuju ihwal bangsa Indonesia punya banyak musuh di ruang publik: ketimpangan, kebodohan, kekerasan, radikalisme, ketidakadilan, korupsi, kolusi, nepotisme, abuse of power, dan masih banyak lagi. Yang pada calon-calon pemimpin pilihan kita berharap mereka bisa mengatasinya. Tapi, diantara segudang masalah itu, tentu tidak mungkin ada kandidat yang bisa menyelesaikan semuanya sekaligus. 

Di sinilah perlunya kejelian dari kita, menentukan mana "musuh prioritas" yang perlu segera diselesaikan. Lalu kita tentukan kandidat mana yang TIDAK BERPOTENSI MENYUBURKAN keberadaan "musuh" itu. Atau akan lebih strategis lagi, kalau ada kandidat yang memiliki "senjata" ampuh untuk menaklukkannya. 

Sekali lagi, saya sangat menghormati keputusan politis dari warga negara untuk golput, jika memang sudah mantap bersikap demikian. Melalui tulisan ini, saya hanya mencoba memberikan sudut pandang lain yang barangkali bisa menjadi pertimbangan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun