Suasana ruang kelas mendadak tegang sore itu. Telinga para murid dikejutkan dengan pengumuman yang disampaikan guru BK lewat speaker sekolah ihwal kasus hilangnya dompet sang kepala sekolah. "Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh. Selamat Pagi Bapak/Ibu guru dan murid-murid yang sedang ada jam pelajaran. Mohon maaf mengganggu waktunya sebentar karena ada pengumuman yang amat penting. Saya mendapat laporan dari kepala sekolah bahwa beliau telah kehilangan dompetnya tadi siang. Kronologinya ketika hendak membeli makan siang setelah mengajar sejarah di kelas 12B, dompet beliau tidak ada di tas. Kemudian beliau kembali ke kelas 12B untuk bertanya dan mencari dompetnya, tetapi tidak ada. Beliau juga sudah mencari di ruang kerjanya, hasilnya juga nihil. Jadi, melalui pengumuman ini, saya menghimbau kepada siapapun yang barangkali menemukan dompet kepala sekolah agar segera melapor ke ruang BK. Apabila sampai besok siang tidak ada yang melapor, maka dengan terpaksa kasus ini akan diserahkan ke pihak berwajib. Sekian, pengumuman dari saya, atas perhatiannya saya ucapkan terima kasih. Wassalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh." Sontak, murid-murid di kelas 12B terkejut. Suasana tegang berubah menjadi gaduh, ada yang berteriak tidak percaya, ada yang prihatin, ada yang berbisik-bisik barangkali menebak siapa pelakunya, dan ada pula yang bodo amat lah bukan dompet saya yang hilang!
Keesokan harinya, tepatnya pagi hari tanggal 1 Juni, suasana kelas 12B kembali riuh. Sebuah rumor semakin santer beredar di antara murid-murid ihwal siapa sosok yang diduga mencuri dompet kepala sekolah. Kabar itu pun menyebar cepat, menolak terbendung tebalnya tembok ruang kelas dan melesat sampai akhirnya sampailah ke telinga guru BK.
Seorang siswa bernama Cipung baru saja datang ke ruang kelas dan langsung berjalan menuju bangku favoritnya. Seperti biasanya, ia datang membawa satu buku di tangannya. Cipung duduk di kursi pojok kanan depan dan tanpa nengok kanan-kiri langsung asyik membaca buku yang dibawanya. Kali ini ia membaca buku kumpulan puisi karya Sapardi Djoko Damono yang sangat melegenda: Hujan Bulan Juni. Dilihat dari sampul bukunya yang sudah buluk, sepertinya buku itu sudah berkali-kali ia baca. Lalu apa yang membuat Cipung membaca buku itu lagi pagi ini? Barangkali ia ingin 'memaknai' awal bulan Juni dengan puisi-puisi romantis karya Sapardi.
"Pung, baca Hujan Bulan Juni lagi?" tanya Fathur, teman dekatnya sejak TK.
"Iya, hehe. Pas banget sekarang, kan, awal bulan Juni!" jawab Cipung dengan senyum ceria di wajahnya.
Namun, siapa sangka hari itu menjadi awal dari ujian terberat yang harus dihadapi Cipung semasa SMA. Cipung yang tengah asyik membaca Hujan Bulan Juni, dikagetkan dengan sosok guru BK yang tiba-tiba sudah berdiri di depannya. Dengan ekspresi yang bingung dan bertanya-tanya, ia berjalan manut mengikuti langkah sang guru menuju ke ruang BK.
"Cipung, saya mendapat laporan dari beberapa orang kalau kamu yang mencuri dompet kepala sekolah. Bisa kamu jelaskan ini?" tanya guru BK dengan nada penasaran.
Cipung jelas terkejut dan segera membantah kabar itu, "Tidak, Bu! Saya tidak mungkin melakukan hal sejahat itu. Saya kira ini hanya fitnah yang disebarkan oleh orang tidak bertanggungjawab."
"Bagaimana saya bisa percaya dengan pernyataanmu itu?" tanya guru BK lagi.
Cipung mengusap keringat yang tanpa ia sadari telah membasahi dahinya, kemudian menjawab, "Begini, Bu. Waktu itu selama bapak kepala sekolah mengisi jam mata pelajaran sejarah di kelas saya, beliau sama sekali tidak mengeluarkan dompetnya. Tas yang dibawa beliau pun ditaruh di sebelah kanan meja guru, sedangkan tempat duduk saya ada di sebelah kiri meja guru dan itu jauh. Kalaupun dompet beliau ada di tas itu, tidak mungkin saya bisa mengambilnya, pastilah ada teman yang melihat saya. Dan..."
"Tapi, masalahnya, yang melapor ke saya bukan satu dua orang, ada lebih!" bantah sang guru BK.
"Wah, berarti percuma saja saya menjelaskan panjang lebar ke Ibu. Begini saja bu, memangnya mereka yang melapor ke Ibu punya bukti kalau saya yang mencuri dompet itu?" tanya Cipung yang hampir putus ada.
"Tidak ada, hanya kesaksian dari mereka," jawab guru BK.
"Beberapa waktu lalu ada video tiktok yang cukup viral, Bu. Video itu melihatkan seorang menteri yang menjawab tuduhan dari anggota dewan dengan kalimat kurang lebih seperti ini, 'Lho, ngapain saya harus membuktikan? Kan, yang nuduh mereka, silahkan mereka yang buktikan. Dalam hukum itu, kan, ada prinsip, beban pembuktian ada di pihak yang menuduh, bukan yang tertuduh,' jadi, Bu, saya setuju sama menteri itu, harusnya yang Ibu kejar adalah bukti dari mereka yang menuduh saya," ujar Cipung yang berusaha membela dirinya.
Perasaan cemas tidak bisa ditutupi Cipung. Namun, ia tetap berusaha tabah menghadapi fitnah yang mengarah padanya. Begitulah kiranya puisi Hujan Bulan Juni related dengan Cipung. "Tidak ada yang lebih tabah dari hujan bulan Juni." Tetapi, bukan soal tabah menahan rasa rindu pada sang kekasih, melainkan tabah menghadapi fitnah yang sedang menimpanya.
Cipung kembali ke kelas dengan ekspresi datar. Kedatangan Cipung ternyata sudah ditunggu teman satu kelasnya. Sang ketua kelas, Nanda, berdiri di depan kelas dan memberi pengumuman, "Harusnya sekarang jam pelajaran matematika, tapi semua guru sedang rapat, jadi buat mengisi kekosongan, bagaimana kalau kita adakan forum membahas rumor yang sedang beredar baru-baru ini?" Tak perlu panjang lebar, satu kelas kompak menjawab, "Setuju!"
Forum pun dimulai oleh ketua kelas yang meminta klarifikasi langsung dari Cipung. Cipung pun memberi klarifikasi sebagaimana ia menjelaskan kepada guru BK. Mendengar jawaban yang dirasa agak masuk akal tersebut, kelas pun hening sejenak. Tak lama berselang, muncul suara lantang dari bangku belakang, "Teman-teman! Siapa yang masih ingat kemarin pak kepsek waktu ngasih kita tugas, ada seseorang yang maju ke depan?"
"Ya, benar! Aku ingat betul, itu si Cipung yang maju," sahut si A.
"Tadi waktu di parkiran, aku juga gak sengaja lihat ada dompet di dashboard sepedanya Cipung. Kalau nggak percaya, lihat saja!" tantang si B.
Nanda sang ketua kelas pun bergegas ke parkiran dan berlari ke motor Cipung. Ternyata benar, ada dompet warna cokelat di dashboard-nya. Nanda pun membawa dompet itu ke kelas dan menunjukkannya ke murid-murid lainnya, "Lihat ya teman-teman, ini jelas KTP-nya kepala sekolah!"
"Hahaha... Sudah jelas Cipung pelakunya!" sahut si C.
Suasana kelas berubah gaduh. Murid-murid saling bersahutan yang pada intinya berusaha memojokkan Cipung dengan kesaksian dan teorinya masing-masing. Nanda pun menyuruh semua diam dan kembali bertanya ke Cipung, "Apa penjelasanmu, Cipung?"
Merasa terpojokkan, rasa sedih dan putus asa mulai menyelimuti hati Cipung. Namun, seketika ia teringat penggalan puisi Hujan Bulan Juni, "Dirahasiakannya rintik rindunya kepada pohon berbunga itu." Bukan, bukan, ini bukan tentang merahasiakan rindu, tapi soal merahasiakan rasa sedihnya dan "Tak ada yang lebih bijak dari hujan bulan Juni." Ya! Cipung merasa dalam keadaan terpojok dan tidak mengenakkan, tapi ia tidak boleh gegabah, ia harus tetap bijak menghadapinya. Akhirnya, dengan tegas dan berani ia berbicara, "Oke teman-teman, nampaknya rumor ini sudah begitu membius banyak orang, padahal tidak ada bukti validnya. Aku bukan pencuri sebagaimana yang kalian tuduhkan. Aku juga tidak tahu bagaimana bisa dompet itu ada di sepedaku. Tapi, aku tidak mau bertele-tele. Mari kita sama-sama ke ruang satpam, bila perlu kita ajak kepala sekolah. Kita minta diputarkan video CCTV parkiran. Siapa tahu ada fakta lain yang kita dapatkan? BIARKAN BUKTI YANG BERBICARA! Berani, tidak?"
Lantas semua murid kelas 12B pun menuju ke pos satpam. Nanda mengundang kepala sekolah dan beberapa guru juga ingin ikut menemani. Tak pakai lama, bapak satpam menampilkan video CCTV parkiran pagi hari itu dan Cipung pun terkejut, "Loh! Bapak kepala sekolah? Kenapa bapak dengan sengaja meletakkan dompet bapak di sepeda saya?"
Bukannya menjawab, sang kepala sekolah justru bertepuk tangan, bernyanyi, dan diikuti murid-murid lainnya "Selamat ulang tahun kami ucapkan. Selamat sejahtera sehat sentosa. Selamat panjang umur dan bahagia."
"Selamat ulang tahun, Cipung!" ucap guru BK sambil membawa kue ulang tahun buat Cipung.
"Selamat ulang tahun, jagoan 12B!" sahut Nanda.
Suasana pun dipenuhi dengan kebahagiaan dan kehangatan. Rasa terharu begitu kuat menyelimuti hati Cipung, membuatnya terlupa sesaat dengan kejadian sebelum ini yang membuatnya hampir putus asa. Cipung merasa beruntung dan bersyukur memiliki orang-orang yang begitu istimewa di sekolahnya. Momen itu benar-benar menjadi salah satu momen terindah dalam hidup Cipung yang akan selalu ia kenang dengan penuh keharuan dan rasa syukur yang mendalam.
Sang kepala sekolah kemudian meminta semuanya diam. Setelah semua diam, beliau berbicara, "Pertama, selamat ulang tahun, Cipung! Jagoan SMA kita! Kedua, saya ingin berterima kasih yang sebesar-besarnya kepada Cipung. Berkat kamu, nak, nama SMA kita jadi terkenal se-Indonesia. Puisi tentang Pendidikan yang kamu bacakan waktu jadi juara 1 nasional di lomba puisi yang diadakan oleh Mendikbud itu benar-benar menyentuh saya sebagai seorang guru. Ketika mendengar bahwa kamu mau ulang tahun, saya punya ide untuk membuat drama seperti ini dan ternyata berhasil. Saya tentu yakin kamu punya mental yang kuat, mental juara, namun setelah kejadian ini, saya berharap mental kamu semakin kuat dan siap buat mengikuti lomba puisi internasional di Inggris, dua minggu yang akan datang."
Setelah itu, bapak kepala sekolah juga menjelaskan alasan lain dibalik 'ide' liarnya ini. Sebagai guru sejarah, ia berharap peristiwa ini bakal diingat oleh murid-muridnya. Bahwa ia bermaksud memberi contoh nyata kepada muridnya tentang pentingnya bukti valid sebelum vonis bersalah dijatuhkan kepada seseorang. Bahwa dalam menghadapi fitnah dan tuduhan yang tidak benar, penting untuk tetap berpegang pada kebenaran dan mencari bukti yang dapat membuktikan bahwa kita tidak bersalah. Dan sebaliknya, kita harus berhati-hati sebelum menuduh orang lain, karena beban pembuktian itu ada di pihak yang menuduh. Apabila sebuah tuduhan tidak memiliki bukti, maka itu adalah sebuah fitnah. Fitnah itu lebih kejam daripada pembunuhan, sebab dengan fitnah seseorang akan terbunuh harga dirinya. Seseorang akan tercemar aib kesalahannya, yang padahal belum tentu faktanya benar demikian.
"Semoga kita semua senantiasa dijauhkan dari fitnah," pungkas bapak kepala sekolah.
Madiun, 13 Juni 2023
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H